Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

Mata Rantai Yang Hilang

MATA RANTAI YANG HILANG by Dwipatra “Pak, apakah bapak sendiri percaya dengan Teori Evolusi Darwin?” Pertanyaan itulah yang sering diajukan oleh murid-muridku ketika aku mengajarkan Bab Evolusi pada mata pelajaran yang kuampu, Biologi. Tidak persis seperti itu memang pertanyaannya, tapi kurang-lebih seperti itu. Pertanyaan itu sebenarnya sederhana. Aku tinggal menjawab percaya atau tidak, semudah itu. Tapi lebih dari yang aku harapkan, aku selalu merasakan perasaan aneh setiap kali pertanyaan itu terlontar dari murid-muridku. “Bapak tidak percaya,” jawabku akhirnya. Lalu aku akan beralasan seperti biasa. Walau bukan itu alasan utama ketidakpercayaanku. “Jika kalian pelajari lebih lanjut buku teks kalian, maka kalian akan menemukan istilah Missing Link . Missing Link adalah mata rantai yang hilang dalam proses evolusi manusia, yang digunakan untuk menjelaskan loncatan evolusi tak wajar dari makhluk sejenis kera ke manusia. Ketidakwajaran itulah yang menjadikan te

PAN

PAN by Dwipatra Sumber Ilustrasi: Klik di sini Tak perlu seorang penyair handal untuk menentukan mana kisah yang layak dan tak layak untuk diceritakan. Dan kisah ini adalah kisah yang bahkan menurutku, seorang―atau seekor? terserahlah―satyr sebenarnya tak layak untuk aku kisahkan pada kalian. Tapi berhubung aku kesal setengah mati dengan tokoh utama kisah ini, maka akan aku kisahkan pada kalian. Kuperkenalkan pada kalian tokoh utama kisah kita, Pan si Dewa Hutan konyol yang setiap tahun selalu membuat kekacauan karena kejelekan wajahnya. Sungguh, aku tak tengah menjelekannya. Itu memang kenyataan. Kalau kalian tak percaya lihat saja pria kekar yang kini tengah duduk muram di singgasana itu. Kalian bakal tahu persis kenapa aku mengatainya jelek setelah benar-benar memperhatikannya.

Kroma

KROMA by Dwipatra Ilustrasi: Dwipatra Sebuah ketukan di kaleng tempatku tinggal memaksaku untuk bangun dari kubangan Sari Warna—oh manusia sering menyebutnya cat. Tampaknya aku juga akan memakai istilah itu untuk alasan kepraktisan—yang menyenangkan ini. Sebenarnya aku malas untuk keluar dari kaleng ini, tapi tak ada pilihan lain. Jika aku tak segera keluar, ketukan demi ketukan akan terus terdengar, bahkan intensitasnya akan semakin sering. Dan itu sangat mengganggu. Akhirnya, sedikit kuangkat tutup kaleng. Mengintip, satu-satunya manusia yang bisa melihat bangsaku tengah menatap ke arahku: Pictor, seorang pelukis amatiran yang kadang menyebalkan. Sampai sekarang aku belum tahu ilmu apa yang dimiliki pria berambut berantakan itu sehingga ia memiliki keistimewaan dapat melihat kami. Kami adalah bangsa Kroma. Sebuah makhluk yang sering tinggal di sanggar-sanggar lukis manusia. Kami adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan warna dari cat, sehingga

Ular-Tangga

Ular-Tangga by Dwipatrra Sumber ilustrasi  klik di sini Aku turun dari mobil dan berjalan sedikit menuju tempat tujuanku, kasino termegah yang berdiri di daerah ini. Lampu-lampunya tersusun rapi membentuk tulisan besar-besar: KING'S CASINO. Aku berjalan ke pintu masuknya, membiarkan petugas keamanan yang berpakaian necis memeriksaku, memastikan aku tak membawa senjata atau pun benda berbahaya lainnya, sekaligus memastikan bahwa aku adalah anggota resmi kasino ini. Setelah puas, para petugas mempersilakanku masuk dengan senyum sopan yang membuat wajah mereka menyerupai topeng (atau saking seringnya mereka tersenyum seperti itu sampai wajahnya tercetak demikian?). Hingar bingar elegan menyambut kedatanganku. Tapi bukan kebisingan itu yang aku cari di sini. Kedatanganku kemari bukan untuk bergabung dengan para penjudi murahan itu, aku kemari untuk perjudian yang lebih spektakuler.

TABUR OMBAK

Tabur Ombak oleh Mahfudz Dwipatra Aku tak pernah melewatkan satu senja pun tanpa melihat matahari terbenam. Aku selalu terpesona saat lingkaran kemerahan itu amblas di horison laut yang tenang. Membiaskan warna senja yang mendamaikan ke langit. Dan seperti biasa, di sinilah aku menunggu saat keindahan itu tiba. Duduk di ujung dermaga kayu kecil yang letaknya tak jauh dari rumah para penduduk desa pesisir kecil ini. Dermaga ini tidak terlalu tinggi, sehingga dengan mudah kakiku yang tergantung mampu mempermainkan air laut. Tiba-tiba, dibalik suara kecipak air yang aku ciptakan, samar-samar indera pendengaranku menangkap suara langkah kaki jauh di belakang. Semakin lama langkah kaki itu semakin terdengar jelas, dengan tempo yang terdengar familier. Aku tak perlu menengok ke belakang untuk mengetahui siapa yang datang, karena ritual menunggu matahari terbenam bukanlah ritualku seorang diri.  “Kukira kau tidak akan datang,” kataku setelah orang itu duduk di sampingku. Mataku

LITTLE LIAM

Little Liam By: Mahfud Dwipatra Ternyata kehilangan ibu dan saudara bukanlah akhir dari hari burukku. Masih ada bencana lain. Mulai hari ini aku harus tinggal serumah dengan penghuni baru, kucing baru yang sepertinya pemarah. Pagi tadi, tak lama setelah mahluk bernama manusia membawa pergi ibu dan kakakku, kucing baru itu dilempar ke rumah ini oleh manusia. Berkali-kali ia meneriakkan kata-kata kasar kepada manusia yang membawanya, sambil terus menggedor-gedor pintu. Baru beberapa saat yang lalu ia berhenti bertingkah gila. Sekarang ia memilih diam di dekat batu hitam legam di sudut rumah. Sembunyi-sembunyi, aku mengamati kucing itu. Tampilan fisiknya persis seperti aku, yang menandakan bahwa ia satu spesies denganku. Kulit berbulu putih kebiruan dengan belang-belang hitam yang hanya ada di kaki, telinga tinggi dan runcing, dua ekor berujung hitam bergerak gelisah menyapu lantai. Dan matanya, aku tak sempat melihat karena takut. Seharusnya persis denganku yang berwarna

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k

Gramedia Pustaka Utama

Suka baca Novel? Tentu tak asing lagi dengan penerbit yang satu ini. Penerbit yang terkenal menerbitkan buku-buku berkualitas. Banyak sekali penulis yang ingin bukunya bisa diterbitkan oleh GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA . Anda ingin menjadi salah satunya? langsung saja kenali kriterianya dibawah ini... Caranya Menerbitkan Naskah di Gramedia Pustaka Utama Kami selalu menerima naskah dari penulis untuk kami terbitkan, bila naskah tersebut kami nilai memenuhi standar penerbitan kami. Namun, maaf sekali, kami tidak bisa menerima naskah yang dikirimkan melalui e-mail, karena akan menyulitkan tim editor dalam melakukan penilaian naskah. Apabila Anda ingin menerbitkan naskah Anda, silakan kirimkan naskah tersebut ke: PT Gramedia Pustaka Utama Gedung Kompas Gramedia Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 Caranya….

Ufuk Publishing House

Punya novel Fiksi Fantasi, tapi bingung mau dikirim ke mana?  Atau pengen novel fantasimu berjajar dengan novel “Hush Hush”?  Ha ha jangan bingung. UFUK PUBLISHING HOUSE adalah yang kamu cari. Ini dia kata mereka… Salam pecinta buku, Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kepercayaan Anda menyerahkan naskah kepada kami.  Syarat pengiriman naskah ke Ufuk Publishing House : 1.       Ditulis dalam font times new roman, ukuran 12 spasi rangkap 2.       Menuliskan sinopsis karya yang berisi kelebihan karya ini serta diferensiasi dengan karya lain yang sudah berada di pasaran. 3.       Naskah dapat Anda kirimkan via pos ke : Redaksi Ufuk Publishing House. Jl. Kebagusan III, Komplek Nuansa Kebagusan 99, Kebagusan, Ps.Minggu Jakarta Selatan Telp.021-78847037 Fax.021-78847012 4.       atau via email ke: redaksi@ufukpress.com Note: di- copy dari website Ufuk Publishing House

Bentang Pustaka

Tentu kenal dong dengan novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata? Tentu tau juga kan penerbit yang menerbitkan novel luar biasa itu? Yup benar sekali, BENTANG PUSTAKA . Ingin novelmu diterbitkan Bentang. Baca dulu ketentuannya di bawah ini: 1.       Bagaimana cara mengirimkan naskah ke Bentang Pustaka? a.        Pengiriman naskah bisa dalam bentuk hard copy (via pos) atau soft copy (via email). b.       Naskah dikirim via pos ke alamat : PT. BENTANG PUSTAKA JL. Pandega Padma No.19 Yogyakarta 55284 Telp. 0274-517373 c.        Atau via E-mail (dalam bentuk lampiran) ke alamat: bentangpustaka@yahoo.com

Mizan Fantasi

Pernah membaca Percy Jackson Series? Atau Fablehaven Series? Atau Lorien Legacy? Inilah penerbit dari novel-novel luar biasa itu. Pengen novelmu diterbitin MIZAN FANTASI ? Kirim aja segera, tapi baca dulu syarat-syaratnya. Mizan Publishing House Kriteria & Prosedur Pengajuan Naskah Novel Fantasi Per 1 Januari 2012 Kriteria naskah: Naskah harus karya asli Belum pernah dipublikasikan penerbit lain. Memiliki cerita yang unik dan tidak klise. Naskah ditulis dengan rapi (logis dan sistematis). Memiliki peluang pasar (marketabilitas) yang bagus. Tulisan utuh/padu (monograf), bukan kumpulan tulisan. Tidak menimbulkan kontroversi, terutama berhubungan dengan moral dan agama. Sertakan Sinopsis

Rumah Hantu

Rumah Hantu By: Mahfudz Dwipatrra Aku terus mengamati orang-orang yang baru keluar dari bangunan semi permanen itu. Mereka tampak aneh, setidaknya menurutku. Tak ada satu pun dari mereka yang tampak ketakutan, sebaliknya senyum lebar menghiasi wajah mereka. Atau bukan mereka yang aneh, tapi aku yang aneh. Aku terlalu penakut, bahkan untuk masuk ke rumah hantu buatan di pasar malam ini.             Aku memandang dua wajah yang aku kenal, Erria dan Rema dari deretan orang-orang yang baru keluar itu. Meninggalkan barisan, mereka berjalan ke arahku yang tengah berdiri dengan perasaan tak tentu. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang lucu. Ledakan tawa mereka memberitahuku. “Kau harus mencobanya,” kata Erria begitu mereka sampai di depanku. “Ya, kau harus mencobanya,” Rema mendukung. “Sepertinya tak terlalu buruk,” jawabku sambil melirik ngeri pada bangunan semi permanen bercat hitam itu. “Kalian tidak tampak ketakutan.”