Selendang Nawangsih
Harus
aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah
dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang
kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun
kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku.
Aku
tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang
menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang
terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung.
Aku rindu semuanya.
Sebuah
ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku
yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan
masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia
ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih
tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu karena dia seorang dewi.
“Ibu?”
tanyaku kaget. Ini aneh. Tak biasanya ibu yang mengantar makanan.
Ibu
diam. Ia memandang nampan yang ia bawa. Di atas nampan itu hanya ada piring yang
ditutup dengan penutup makanan. Ia berjalan ke ranjangku, lalu duduk di sana.
“Kenapa
ibu ke sini?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.
“Ibu
ingin berbicara denganmu, Nawangsih,” katanya masih belum sepenuhnya
memandangku.
“Tentang
apa?”
“Pembebasan
dirimu.”
Kekagetan
yang langsung berubah menjadi kebahagiaan menghantamku. “Apa kakek berubah
pikiran?”
“Tidak,”
jawabnya ragu. Kebahagiaanku luntur. “Ayahanda masih bersikeras pada pendapatnya.”
“Jadi?”
“Ibu
akan membebaskanmu tanpa sepengetahuan siapa pun,” jawab ibu, ia tampak yakin.
Tidak
bisa aku pungkiri bahwa hatiku berbunga mendengar itu, tapi perasaan ragu dan
hawatir juga turut tubuh. Bagaimana cara keluar dari sini? Walau ibu salah satu
dewi kahyangan, tapi menghadapi penjaga istana tak akan mudah.
“Bagaimana
caranya kita keluar dari sini?” tanyaku mengungkapkan kehawatiranku.
Tidak
menjawab, ibu malah membuka tutup makanan di nampan. Betapa terkejutnya aku
begitu melihat benda di piring. Tak ada makanan. Selembar kain berwarna merah menggantikannya.
“Ibu
membawakan selendangmu.” Ia meletakkan nampan di ranjang, mengambil selendang
merah itu, dan memberikannya padaku.
Aku
menerima selendang yang telah membawaku ke sini. Kebahagiaan semakin tumbuh
subur, tapi kehawatiranku belum sepenuhnya sirna. “Tapi bagaimana kita akan
keluar dari sini, bukankah selendang ini hanya akan membawa kita terbang ke
bumi?”
“Coba
perhatikan selendangmu baik-baik!” perintah ibu. Seketika aku langsung
mengamati setiap jengkal kain merah itu.
Aku
yakin ini selendang yang sama dengan yang aku gunakan untuk datang kemari, tapi
ada yang berbeda. Di sepanjang sisi selendang kini terdapat rangkaian huruf aneh.
Seperti huruf jawa, tapi dalam bentuk yang agak asing bagiku.
“Apa
ini?” tanyaku menunjuk huruf-huruf aneh itu.
“Itu
adalah rajah. Rajah untuk membuatmu tak terlihat.”
“Apa
maksudnya?”
“Kau
akan menjadi tak kasat mata jika mengenakan selendang ini. Tapi perlu kamu
ketahui, rajah itu hanya berfungsi di kahyangan. Begitu kau menapakkan kaki di
luar kahyangan, termasuk di batu titian, maka rajah itu akan menjadi tak
berguna. Kau akan terlihat kembali.”
“Apakah
selendang ibu juga berrajah?”
“Ya,
tapi tidak seperti rajah di selendangmu.”
“Rajah
seperti apa?”
“Sudahlah,”
katanya menolak menjawab pertanyaanku. “Cepat kenakan selendangmu, kita akan
menyelinap sekarang.”
***
Karena ibu kini sama butanya dengan yang lain
terhadap diriku, maka kami membuat perjanjian agar kami tidak terpisah. Apa pun
yang terjadi aku harus mengikuti ibu.
“Kita
hampir sampai di gerbang kahyangan,” katanya berbisik. “Ada dua penjaga. Bersiap-siaplah
di dekat batu titian, selagi ibu melumpuhkan mereka. Begitu kuberi tanda, tapaki
batu titian dan terjunlah. Jangan pedulikan apa yang terjadi di belakangmu.
Secepat mungkin ibu akan menyusulmu.”
“Aku
mengerti,” jawabku dalam bisikan.
Ibu
berjalan, masih mengekornya. Begitu cukup dekat dengan para penjaga ibu
berhenti, memberiku tanda agar aku terus berjalan.
Melewati
dua penjaga bermuka garang yang dipersenjatai dengan tombak dan tameng, lalu aku
melewati gerbang. Dan kini aku sudah berada tepat di depan batu titian.
“Dewi?
Ada apa malam-malam datang kemari?” tanya salah satu penjaga.
“Aku
hanya ingin-” ibu tak melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba
selendang biru lautnya melesat ke para penjaga. Para penjaga hanya sempat
terbelalak kaget. Mereka tak mampu menahan serangan. Karena begitu mereka
mengangkat tombak, selendang ibu sudah melilit mereka mulai dari hidung sampai
pinggang. Mata terbelalak mereka hanya bertahan sesaat. Tak lama setelah itu
mata mereka tertutup seperti terbius, dan tersungkur ke lantai.
“Sekarang!”
teriak ibu. Aku tahu itu tandanya.
Dengan
gugup aku menginjak batu titian dan menerjunkan diri. Ini adalah penerbanganku
yang pertama. Walau demikian aku langsung bisa mengendalikan penerbanganku,
karena ibu telah memberitahukan caranya padaku. Aku terus melaju menjauhi
kahyangan. Tapi aku langsung berhenti begitu menyadari aku buta arah. Aku sama
sekali tak tahu di mana letak Desa Tarub, desa tempat ayahku berada.
“Bergegaslah
Nawangsih!” teriak ibu belakangku.
“Aku
tak tahu harus ke mana.”
“Ikuti
ibu!” perintahnya.
Aku
mengikuti ke mana ibu terbang. Mengepakkan selendang, aku berusaha mengimbangi
kecepatannya. Aku terus mengikuti, sehingga tak lama kemudian kami sampai di
tempat yang aku rindukan. Rumahku.
“Cepat
masuk dan temui ayahmu!” perintah ibu agak gugup.
Tiba-tiba
pintu rumah terkuak. Seorang pria paruh baya muncul dari balik pintu. Ia
membawa busur panah dan menggendong satu selonsong anak panah.
“Ayah!”
teriakku, berlari menghampirinya, memeluknya. Aku tak kuasa menahan air mata
bahagia. “Aku rindu dengan ayah.”
“Ayah
juga,” jawabnya sedih.
Aku
melepaskan pelukanku dan memandang busur yang ia bawa. “Untuk apa busur itu.”
“Untuk
mempertahankanmu di sini?”
“Ayah
tahu kalau aku melarikan diri?”
“Beberapa
hari yang lalu salah seorang utusan kahyangan memberitahukan perihal
penahananmu.”
“Maafkan
aku.” Tiba-tiba ibu sudah ada di belakangku. Ia tampak sedih. “Seharusnya aku
tak mengajak Nawangsih ke Kahyangan. Aku tak tahu ternyata ayahanda punya
rencana seperti itu.”
“Ini
bukan salahmu, Wulan,” jawab ayah menenangkan.
“Sebenarnya
kenapa aku harus ditawan?” tanyaku pada mereka. Pertanyaan ini sudah terpikir
sejak lama, tapi tak pernah ada kesempatan untuk mengungkapkannya.
“Pembalasan.”
Ibu mengalihkan pandangan. Kesedihan lekat dalam suaranya. “Kau sudah tahu
bagaimana ayahmu sampai menikahi ibu?”
Aku
mengangguk. “Ayah sudah menceritakan semuanya padaku. Ayah mencuri selendang
ibu sehingga ibu tidak bisa pulang ke kahyangan. Dan pada akhirnya ayah
menikahi ibu.”
“Dari
sudut pandang ayahanda, hal itu adalah penculikan. Ayahanda menganggap ayahmu
telah menawan ibu. Kehilangan dibalas kehilangan. Begitulah prinsip ayahanda.”
“Dan
prinsip itu tetap akan aku jalankan.” Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar
dari balik kegelapan. Sepertinya aku kenal suara itu.
“Ayahanda?”
teriak ibu terkejut.
Kakek
muncul dari kegelapan, temaram sinar rembulan menampakkan rupa berjenggotnya. “Pelarian
dari istana tak akan pernah bertahan lama. Prajurit bawa Nawangsih kembali ke
kahyangan!”
“Sepertinya
anda melupakan keberadaanku.” Ayah telah membidikkan panahnya ke arah kakek.
“Aku tak akan membiarkan anda menyentuh Nawangsih.”
“Seorang
manusia bukanlah tandingan sekelompok prajurit kahyangan,” cemooh kakek.
“Seorang
manusia dan dewi kahyangan,” kata ibu menawarkan bantuan. “Nawangsih adalah
putriku. Aku ingin dia bahagia.”
“Prajurit!
Tangkap Nawang Wulan dan Nawangsih dan bunuh Jaka Tarub.”
Tanpa
kalimat persetujuan enam prajurit bersenjata langsung menyerbu kami. Tiga prajurit
menyerbu ayahku, sisanya menyerbu aku dan ibu. Ibu melindungiku saat para
prajurit menerjang. Ia mulai melemparkan ujung-ujung selendangnya yang
memanjang untuk membelit para prajurit, tapi gagal. Selendang itu berkali-kali
putus oleh tebasan pedang para prajurit.
“Tetap
di belakangku,” perintah ibuku. “Ibu akan melindungimu.”
Aku
beringsut mendekati ibu. Ketakutan membuatku gemetar. Aku memalingkan wajah ke
ayahku. Melihatnya semakin membuatku kalut.
Secepat
para prajurit melesat, secepat itu pula ayah meluncurkan anak panah-anak panahnya.
Tapi hampir tak ada yang tepat mengenai sasaran. Ia tampak mulai kewalahan
begitu mereka menyerbu bersamaan.
Walau
begitu ia tidak menyerah. Tiga anak panah ia lontarkan sekaligus dan di
fokuskan pada satu sasaran. Hasilnya luar biasa. Tiga anak panah itu benar-benar
mengenai sasaran. Seorang prajurit terkapar menerima tiga anak panah sekaligus.
Membuatnya tidak bisa bangun lagi. Tapi serangan itu membuatnya lengah. Seorang
prajurit berhasil menancapkan belati di pinngang kirinya. Ayah berteriak
kesakitan dan langsung tersungkur ke tanah. Walau begitu, Ayah masih berusaha
bangkit dan terus melawan.
Gemetar
melandaku. Lututku lemas. Dengan tersaruk-saruk aku berusaha mencapai ayahku,
tapi sebuah tangan tiba-tiba menarikku. Aku terjatuh.
Aku
ingin menangis. Marah. Ingin sekali aku melumpuhkan mereka semua. Aku ingin dan
sangat ingin. Aku ingin membantu ayah dan ibuku. Aku…Tiba-tiba sesuatu yang
mengejutkanku terjadi. Sebuah keajaiban melandaku. Tanpa aku sadari ternyata
selendangku telah berreaksi.
Berkelebat-kelebat,
tiba-tiba selendangku memecut prajurit yang tadi menarikku. Prajurit itu
terkapar di tanah. Selendangku memecutnya lagi saat ia hendak bangun. Entah
berapa pecutan yang ia terima sampai ia tak bisa bangun lagi dari tanah.
Entah
apa yang membuatnya berreaksi, selendangku semakin menggila. Seperti
menggandakan diri, dari pinggangku kini muncul puluhan helai selendang.
Semuanya melambai-lambai dengan arah tak tentu, seperti meminta arah untuk
dikendalikan.
Walau
tak yakin, aku mencoba mengendalikan mereka. Tatapan dan pikiranku mengunci dua
prajurit yang tengah menyerang ayahku. Mereka tak memperhatikanku sama sekali. Ini
kesempatan. Mereka lengah.
Dengan
hentakan tangan, aku melancarkan serangan kepada mereka. Ternyata berhasil.
Seperti ular yang mengincar mangsa, selendangku dengan cepat menerjang para
prajurit dan dengan ganas melilitnya tanpa ampun. Dua prajurit itu jatuh. Ayah
memandang takjup padaku dan langsung meluncurkan anak panah pada
prajurit-prajurit itu.
Kini
tinggal satu prajurit yang tersisa. Ibu sudah berhasil melumpuhkan satu
prajurit, dan ia sedang melawan sisanya. Aku ingin melawannya, tapi ternyata
seranganku kalah cepat dengan anak panah ayah. Anak panah itu mengenai prajurit
terakhir dengan telak. Membuatnya tak berdaya.
“Kerjasama
yang luar biasa,” puji kakek yang entah berada di mana tadi saat pertarungan
berlangsung. “Tapi dengan sangat mudah aku bisa memanggil banyak prajurit
lain.”
“Sudahlah
ayahanda, balas dendam hanya akan menimbulkan dendam baru,” kata ibu. “Kita
bisa melakukan perjanjian damai.”
“Perjanjian
damai? Apa yang bisa kalian tawarkan?” tantang kakek.
“Ayahanda
bebaskan mereka. Dan aku akan menuruti kemauan ayahanda. Aku tidak akan pernah
lagi menemui mereka.?”
Aku
langsung merasakan seperti ada sesuatu yang menjerat tenggorokanku. Sesak tiba-tiba
melandaku. “Apa aku tidak akan pernah melihat ibu lagi?”
“Maafkan
ibu Nawangsih. Ini adalah jalan keluar terbaik.” Aku memeluknya, ia balas
memelukku. Ayah mendekati kami, memeluk kami. Aku terisak, tak mau memikirkan
ini adalah pelukan terakhir dalam keluarga yang utuh.
“Mengenai
tawaranmu,” kata kakek tampak menimbang-nimbang tawaran itu. Cukup lama hingga
akhirnya ia menyetujui tawaran ibu. “Baiklah, aku terima tawaran itu.”
Selesai
Keyword: Pohon pisang, Rasi, Cerpelai, Jelantah, Rajah
Keyword: Pohon pisang, Rasi, Cerpelai, Jelantah, Rajah
Note: Cerpen ini diikutkan dalam Lomba Fiksi Fantasi 2012 yang diadakan oleh Ninelights Production.
Info: http://9lightsproduction.multiply.com/journal/item/12/Lomba_Fiksi_Fantasi_2012
Info: http://9lightsproduction.multiply.com/journal/item/12/Lomba_Fiksi_Fantasi_2012
Wow! bagi2 inspirasi dong fudh!
BalasHapushaha, nih mau minta berapa? hahahha...
Hapusoke, terima kasih...
BalasHapus