Langsung ke konten utama

SELENDANG NAWANGSIH


Selendang Nawangsih
 Oleh: Mahfudz Dwipatra


Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku.
Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya.
Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu karena dia seorang dewi.
“Ibu?” tanyaku kaget. Ini aneh. Tak biasanya ibu yang mengantar makanan.
Ibu diam. Ia memandang nampan yang ia bawa. Di atas nampan itu hanya ada piring yang ditutup dengan penutup makanan. Ia berjalan ke ranjangku, lalu duduk di sana.
“Kenapa ibu ke sini?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.
“Ibu ingin berbicara denganmu, Nawangsih,” katanya masih belum sepenuhnya memandangku.
“Tentang apa?”
“Pembebasan dirimu.”
Kekagetan yang langsung berubah menjadi kebahagiaan menghantamku. “Apa kakek berubah pikiran?”
“Tidak,” jawabnya ragu. Kebahagiaanku luntur. “Ayahanda masih bersikeras pada pendapatnya.”
“Jadi?”
“Ibu akan membebaskanmu tanpa sepengetahuan siapa pun,” jawab ibu, ia tampak yakin.
Tidak bisa aku pungkiri bahwa hatiku berbunga mendengar itu, tapi perasaan ragu dan hawatir juga turut tubuh. Bagaimana cara keluar dari sini? Walau ibu salah satu dewi kahyangan, tapi menghadapi penjaga istana tak akan mudah.
“Bagaimana caranya kita keluar dari sini?” tanyaku mengungkapkan kehawatiranku.
Tidak menjawab, ibu malah membuka tutup makanan di nampan. Betapa terkejutnya aku begitu melihat benda di piring. Tak ada makanan. Selembar kain berwarna merah menggantikannya.
“Ibu membawakan selendangmu.” Ia meletakkan nampan di ranjang, mengambil selendang merah itu, dan memberikannya padaku.
Aku menerima selendang yang telah membawaku ke sini. Kebahagiaan semakin tumbuh subur, tapi kehawatiranku belum sepenuhnya sirna. “Tapi bagaimana kita akan keluar dari sini, bukankah selendang ini hanya akan membawa kita terbang ke bumi?”
“Coba perhatikan selendangmu baik-baik!” perintah ibu. Seketika aku langsung mengamati setiap jengkal kain merah itu.
Aku yakin ini selendang yang sama dengan yang aku gunakan untuk datang kemari, tapi ada yang berbeda. Di sepanjang sisi selendang kini terdapat rangkaian huruf aneh. Seperti huruf jawa, tapi dalam bentuk yang agak asing bagiku.
“Apa ini?” tanyaku menunjuk huruf-huruf aneh itu.
“Itu adalah rajah. Rajah untuk membuatmu tak terlihat.”
“Apa maksudnya?”
“Kau akan menjadi tak kasat mata jika mengenakan selendang ini. Tapi perlu kamu ketahui, rajah itu hanya berfungsi di kahyangan. Begitu kau menapakkan kaki di luar kahyangan, termasuk di batu titian, maka rajah itu akan menjadi tak berguna. Kau akan terlihat kembali.”
“Apakah selendang ibu juga berrajah?”
“Ya, tapi tidak seperti rajah di selendangmu.”
“Rajah seperti apa?”
“Sudahlah,” katanya menolak menjawab pertanyaanku. “Cepat kenakan selendangmu, kita akan menyelinap sekarang.”
***
 Karena ibu kini sama butanya dengan yang lain terhadap diriku, maka kami membuat perjanjian agar kami tidak terpisah. Apa pun yang terjadi aku harus mengikuti ibu.
“Kita hampir sampai di gerbang kahyangan,” katanya berbisik. “Ada dua penjaga. Bersiap-siaplah di dekat batu titian, selagi ibu melumpuhkan mereka. Begitu kuberi tanda, tapaki batu titian dan terjunlah. Jangan pedulikan apa yang terjadi di belakangmu. Secepat mungkin ibu akan menyusulmu.”
“Aku mengerti,” jawabku dalam bisikan.
Ibu berjalan, masih mengekornya. Begitu cukup dekat dengan para penjaga ibu berhenti, memberiku tanda agar aku terus berjalan.
Melewati dua penjaga bermuka garang yang dipersenjatai dengan tombak dan tameng, lalu aku melewati gerbang. Dan kini aku sudah berada tepat di depan batu titian.
“Dewi? Ada apa malam-malam datang kemari?” tanya salah satu penjaga.
“Aku hanya ingin” ibu tak melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba selendang biru lautnya melesat ke para penjaga. Para penjaga hanya sempat terbelalak kaget. Mereka tak mampu menahan serangan. Karena begitu mereka mengangkat tombak, selendang ibu sudah melilit mereka mulai dari hidung sampai pinggang. Mata terbelalak mereka hanya bertahan sesaat. Tak lama setelah itu mata mereka tertutup seperti terbius, dan tersungkur ke lantai.
“Sekarang!” teriak ibu. Aku tahu itu tandanya.
Dengan gugup aku menginjak batu titian dan menerjunkan diri. Ini adalah penerbanganku yang pertama. Walau demikian aku langsung bisa mengendalikan penerbanganku, karena ibu telah memberitahukan caranya padaku. Aku terus melaju menjauhi kahyangan. Tapi aku langsung berhenti begitu menyadari aku buta arah. Aku sama sekali tak tahu di mana letak Desa Tarub, desa tempat ayahku berada.
“Bergegaslah Nawangsih!” teriak ibu belakangku.
“Aku tak tahu harus ke mana.”
“Ikuti ibu!” perintahnya.
Aku mengikuti ke mana ibu terbang. Mengepakkan selendang, aku berusaha mengimbangi kecepatannya. Aku terus mengikuti, sehingga tak lama kemudian kami sampai di tempat yang aku rindukan. Rumahku.
“Cepat masuk dan temui ayahmu!” perintah ibu agak gugup.
Tiba-tiba pintu rumah terkuak. Seorang pria paruh baya muncul dari balik pintu. Ia membawa busur panah dan menggendong satu selonsong anak panah.
“Ayah!” teriakku, berlari menghampirinya, memeluknya. Aku tak kuasa menahan air mata bahagia. “Aku rindu dengan ayah.”
“Ayah juga,” jawabnya sedih.
Aku melepaskan pelukanku dan memandang busur yang ia bawa. “Untuk apa busur itu.”
“Untuk mempertahankanmu di sini?”
“Ayah tahu kalau aku melarikan diri?”
“Beberapa hari yang lalu salah seorang utusan kahyangan memberitahukan perihal penahananmu.”
“Maafkan aku.” Tiba-tiba ibu sudah ada di belakangku. Ia tampak sedih. “Seharusnya aku tak mengajak Nawangsih ke Kahyangan. Aku tak tahu ternyata ayahanda punya rencana seperti itu.”
“Ini bukan salahmu, Wulan,” jawab ayah menenangkan.
“Sebenarnya kenapa aku harus ditawan?” tanyaku pada mereka. Pertanyaan ini sudah terpikir sejak lama, tapi tak pernah ada kesempatan untuk mengungkapkannya.
“Pembalasan.” Ibu mengalihkan pandangan. Kesedihan lekat dalam suaranya. “Kau sudah tahu bagaimana ayahmu sampai menikahi ibu?”
Aku mengangguk. “Ayah sudah menceritakan semuanya padaku. Ayah mencuri selendang ibu sehingga ibu tidak bisa pulang ke kahyangan. Dan pada akhirnya ayah menikahi ibu.”
“Dari sudut pandang ayahanda, hal itu adalah penculikan. Ayahanda menganggap ayahmu telah menawan ibu. Kehilangan dibalas kehilangan. Begitulah prinsip ayahanda.”
“Dan prinsip itu tetap akan aku jalankan.” Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar dari balik kegelapan. Sepertinya aku kenal suara itu.
“Ayahanda?” teriak ibu terkejut.
Kakek muncul dari kegelapan, temaram sinar rembulan menampakkan rupa berjenggotnya. “Pelarian dari istana tak akan pernah bertahan lama. Prajurit bawa Nawangsih kembali ke kahyangan!”
“Sepertinya anda melupakan keberadaanku.” Ayah telah membidikkan panahnya ke arah kakek. “Aku tak akan membiarkan anda menyentuh Nawangsih.”
“Seorang manusia bukanlah tandingan sekelompok prajurit kahyangan,” cemooh kakek.
“Seorang manusia dan dewi kahyangan,” kata ibu menawarkan bantuan. “Nawangsih adalah putriku. Aku ingin dia bahagia.”
“Prajurit! Tangkap Nawang Wulan dan Nawangsih dan bunuh Jaka Tarub.”
Tanpa kalimat persetujuan enam prajurit bersenjata langsung menyerbu kami. Tiga prajurit menyerbu ayahku, sisanya menyerbu aku dan ibu. Ibu melindungiku saat para prajurit menerjang. Ia mulai melemparkan ujung-ujung selendangnya yang memanjang untuk membelit para prajurit, tapi gagal. Selendang itu berkali-kali putus oleh tebasan pedang para prajurit.
“Tetap di belakangku,” perintah ibuku. “Ibu akan melindungimu.”
Aku beringsut mendekati ibu. Ketakutan membuatku gemetar. Aku memalingkan wajah ke ayahku. Melihatnya semakin membuatku kalut.
Secepat para prajurit melesat, secepat itu pula ayah meluncurkan anak panah-anak panahnya. Tapi hampir tak ada yang tepat mengenai sasaran. Ia tampak mulai kewalahan begitu mereka menyerbu bersamaan.
Walau begitu ia tidak menyerah. Tiga anak panah ia lontarkan sekaligus dan di fokuskan pada satu sasaran. Hasilnya luar biasa. Tiga anak panah itu benar-benar mengenai sasaran. Seorang prajurit terkapar menerima tiga anak panah sekaligus. Membuatnya tidak bisa bangun lagi. Tapi serangan itu membuatnya lengah. Seorang prajurit berhasil menancapkan belati di pinngang kirinya. Ayah berteriak kesakitan dan langsung tersungkur ke tanah. Walau begitu, Ayah masih berusaha bangkit dan terus melawan.
Gemetar melandaku. Lututku lemas. Dengan tersaruk-saruk aku berusaha mencapai ayahku, tapi sebuah tangan tiba-tiba menarikku. Aku terjatuh.
Aku ingin menangis. Marah. Ingin sekali aku melumpuhkan mereka semua. Aku ingin dan sangat ingin. Aku ingin membantu ayah dan ibuku. Aku…Tiba-tiba sesuatu yang mengejutkanku terjadi. Sebuah keajaiban melandaku. Tanpa aku sadari ternyata selendangku telah berreaksi.
Berkelebat-kelebat, tiba-tiba selendangku memecut prajurit yang tadi menarikku. Prajurit itu terkapar di tanah. Selendangku memecutnya lagi saat ia hendak bangun. Entah berapa pecutan yang ia terima sampai ia tak bisa bangun lagi dari tanah.
Entah apa yang membuatnya berreaksi, selendangku semakin menggila. Seperti menggandakan diri, dari pinggangku kini muncul puluhan helai selendang. Semuanya melambai-lambai dengan arah tak tentu, seperti meminta arah untuk dikendalikan.
Walau tak yakin, aku mencoba mengendalikan mereka. Tatapan dan pikiranku mengunci dua prajurit yang tengah menyerang ayahku. Mereka tak memperhatikanku sama sekali. Ini kesempatan. Mereka lengah.
Dengan hentakan tangan, aku melancarkan serangan kepada mereka. Ternyata berhasil. Seperti ular yang mengincar mangsa, selendangku dengan cepat menerjang para prajurit dan dengan ganas melilitnya tanpa ampun. Dua prajurit itu jatuh. Ayah memandang takjup padaku dan langsung meluncurkan anak panah pada prajurit-prajurit itu.
Kini tinggal satu prajurit yang tersisa. Ibu sudah berhasil melumpuhkan satu prajurit, dan ia sedang melawan sisanya. Aku ingin melawannya, tapi ternyata seranganku kalah cepat dengan anak panah ayah. Anak panah itu mengenai prajurit terakhir dengan telak. Membuatnya tak berdaya.
“Kerjasama yang luar biasa,” puji kakek yang entah berada di mana tadi saat pertarungan berlangsung. “Tapi dengan sangat mudah aku bisa memanggil banyak prajurit lain.”
“Sudahlah ayahanda, balas dendam hanya akan menimbulkan dendam baru,” kata ibu. “Kita bisa melakukan perjanjian damai.”
“Perjanjian damai? Apa yang bisa kalian tawarkan?” tantang kakek.
“Ayahanda bebaskan mereka. Dan aku akan menuruti kemauan ayahanda. Aku tidak akan pernah lagi menemui mereka.?”
Aku langsung merasakan seperti ada sesuatu yang menjerat tenggorokanku. Sesak tiba-tiba melandaku. “Apa aku tidak akan pernah melihat ibu lagi?”
“Maafkan ibu Nawangsih. Ini adalah jalan keluar terbaik.” Aku memeluknya, ia balas memelukku. Ayah mendekati kami, memeluk kami. Aku terisak, tak mau memikirkan ini adalah pelukan terakhir dalam keluarga yang utuh.
“Mengenai tawaranmu,” kata kakek tampak menimbang-nimbang tawaran itu. Cukup lama hingga akhirnya ia menyetujui tawaran ibu. “Baiklah, aku terima tawaran itu.”

Selesai

Keyword: Pohon pisangRasi, CerpelaiJelantahRajah


Note: Cerpen ini diikutkan dalam Lomba Fiksi Fantasi 2012 yang diadakan oleh Ninelights Production.
Info: 
http://9lightsproduction.multiply.com/journal/item/12/Lomba_Fiksi_Fantasi_2012

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah café, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.