PAN
by Dwipatra
![]() |
Sumber Ilustrasi: Klik di sini |
Tak perlu seorang
penyair handal untuk menentukan mana kisah yang layak dan tak layak untuk
diceritakan. Dan kisah ini adalah kisah yang bahkan menurutku, seorang―atau
seekor? terserahlah―satyr sebenarnya tak layak untuk aku kisahkan pada kalian.
Tapi berhubung aku kesal setengah mati dengan tokoh utama kisah ini, maka akan
aku kisahkan pada kalian.
Kuperkenalkan pada
kalian tokoh utama kisah kita, Pan si Dewa Hutan konyol yang setiap tahun
selalu membuat kekacauan karena kejelekan wajahnya. Sungguh, aku tak tengah
menjelekannya. Itu memang kenyataan. Kalau kalian tak percaya lihat saja pria
kekar yang kini tengah duduk muram di singgasana itu. Kalian bakal tahu persis
kenapa aku mengatainya jelek setelah benar-benar memperhatikannya.
Kalian lihat tanduk
kambing jantan itu? Tentu saja itu bagian yang tak akan terlewatkan dari
penampilannya. Cambang keriting dan berantakan membalut sisi wajahnya yang tak
sekali pun kulihat mengulas senyum. Itu baru wajahnya. Coba lihat tubuhnya.
Kekar dan berotot? Memang. Tapi coba lihat tubuh bagian bawahnya yang merupakan
tubuh seekor kambing. Perpaduan yang cukup buruk bukan? Ya, ya, ya aku akui aku
juga seperti itu, tapi setidaknya wajahku cukup ramah untuk disukai. Juga,
setidaknya aku tak sekuno Pan.
Stop. Jangan protes.
Aku di sini bukan untuk membahas anggota tubuhku yang unik, tapi aku ingin
menceritakan pada kalian tentang apa yang kami, para penghuni hutan sebut
sebagai Pola Pan.
Kalian tahu apa itu Pola
Pan? Haha, tentu saja tidak jika kalian bukan warga hutan.
Begini, Pola Pan itu
adalah sebuah kejadian konyol yang selalu menimpa Pan setiap tahunnya.
Penolakan cinta. Ya, itulah kejadian yang selalu menimpa Pan. Memang bukan
peristiwa penting―setidaknya bagi penghuni hutan yang lain, tapi cukup untuk
membuat kesal seluruh warga hutan. Bagaimana tidak, jika itu terjadi maka semua
penghuni hutan akan terkena imbasnya. Hutan menjadi tak terurus saat Pan patah
hati, bahkan ia selalu membiarkan Aeolus― sang Dewa Angin―dan para anemoi mengacak-acak hutan dengan
seenaknya. Dan di samping itu semua, selalu ada seorang yang akan mendapat
imbas paling besar di antara para penduduk hutan yang lain. Tentu saja, itu aku.
“Hai kambing jelek!”
Lihat bagaimana Pan memanggilku. Kambing jelek? Kuharap ada cermin di hutan ini
sehingga ia bisa melihat bagaimana wujud kambing jelek yang sesungguhnya. “Kau
tak mendengarkan keluhanku?”
“Ya, Pan, aku
mendengarkanmu,” jawabku malas. “Sayangnya aku sudah ratusan kali mendengar
keluhan itu, sehingga aku nyaris menghapal setiap katanya.”
Pan hendak mengatakan
sesuatu, tapi aku mendahuluinya. “Biar kuulangi apa yang tadi kau katakan
sebagai bukti bahwa aku benar-benar mendengarkanmu. Kau ditolak lagi oleh peri
pohon, kali ini bernama Raiona. Kau telah mengincarnya sekian bulan. Memberikan
berbagai hadiah untuknya, dan saat kau menyatakan cinta padanya ia menolakmu.
Dan aku yakin setelah ini kau menyuruhku untuk menemui peri pohon itu untuk
memaksanya menerimamu. Apa ada yang terlewatkan?”
Lihat, ia mendengus. Tampaknya
cukup kesal. “Ya, kau tak melewatkan apa pun, bahkan kau sudah bisa menebak apa
yang akan kuminta.”
“Tentu saja aku bisa
menebaknya,” jawabku malas. “Kau selalu meminta hal itu setelah mengeluh karena
ditolak oleh perempuan. Tapi sayangnya aku tak akan melakukan perintahmu.
Tunggu, jangan marah dulu. Aku baru akan mengusulkan hal yang mungkin lebih
berguna untukmu daripada menyuruhku menemui peri pohon itu. Selain kujamin itu
tak akan berhasil seperti biasanya, hal itu juga akan memperburuk citraku.”
“Lalu apa yang ingin
kau usulkan?” tanyanya Nampak tak sabar.
Aku tersenyum bangga. “Kau
harus merubah kebiasaanmu. Dari jaman manusia masih sangat percaya dengan
kekuatan para dewa sampai sekarang―era di mana sesuatu yang disebut internet
bahkan jauh lebih berkuasa dibanding kalian, kau tak pernah ada perubahan.
Masih dengan cara kuno yang sama. Bagaimana mau berhasil kalau hal yang jelas
gagal terus saja diulang?”
“Intinya?” Tampaknya
Pan sudah mulai kesal padaku.
“Sesekali kau harus
mengikuti perkembangan jaman.”
***
Seandainya ada audisi
dewa paling tidak keren sedunia, mungkin aku akan mendaftarkan Pan untuk
mengikuti audisi itu. Seorang dewa bertanduk, bertubuh setengah kambing,
bermuka masam, ditambah lagi kini ia tengah memakai pakaian manusia dengan
perpaduan warna-warni yang melelahkan mata. Coba kalian lihat kemeja hijau
bunga-bunga yang ia pakai, dipadukan dengan celana kuning ketat dan sepatu
merah. Penutup kepala rajutan yang ia gunakan untuk menutupi tanduknya adalah
satu-satunya benda yang tidak membuatku ingin tertawa. Itu sama sekali tidak
bisa dibilang keren.
“Kau pasti sedang
menertawakanku,” ujar Pan tiba-tiba. “Ini kan usulmu?”
“Ya, memang usulku,
tapi bukan aku yang memilihkan pakaian-pakaian itu untukmu,” sangkalku. Aku tak
ingin disalahkan karena penampilannya. “Aku punya selera fashion yang lebih baik dari itu.”
“Terserah,” jawabnya
marah. “Yang penting sekarang, sudahkah aku perlu mengetahui ke mana kita akan
pergi? Atau setidaknya berapa lama lagi. Aku sudah tak tahan ingin keluar dari
benda berisik ini.”
“Ini disebut taksi,
tuan,” koreksi pria yang duduk di kursi kemudi. Kemudian ia melirikku dengan
prihatin.
“Apa pun itu,” jawab
Pan semakin kesal.
“Oke, Pan sebaiknya kau
diam,” ujarku akhirnya, mencoba membuatnya diam. “Sebentar lagi kita akan
sampai. Bahkan mungkin tak lebih dari lima puluh meter.”
Dan beberapa detik
kemudian, taksi berhenti di depan sebuah gedung berlantai dua yang didominasi
oleh warna-warna muda, merah muda dan biru muda. Di depan gedung itu tertulis
sebuah nama yang akan membuat semua orang mengernyitkan dahi: GODDESS BEAUTY
CENTRE.
“Tempat apa ini?” tanya
Pan melongo memandangi gedung itu.
Aku hendak menjawab,
tapi sang sopir tampaknya sudah tak sabar ingin kami enyah dari pandangannya. “Silakan,
tuan-tuan.”
Aku menarik Pan yang
kini tengah sibuk dengan sepatunya. Mungkin kuku belahnya belum bisa bersahabat
dengan sepatu. Kami keluar, dan setelah membayar ongkos taksi, aku mengajak Pan
masuk ke salon itu. Kami langsung menuju lanatai dua yang merupakan tempat
perlakuan khusus dengan bayaran mahal.
Setibanya di lantai
dua, kami langsung digiring ke sebuah ruangan. Di sana sudah menunggu seorang
wanita cantik berambut hitam bergelombang. Wanita itu langsung memandang kami begitu kami
masuk.
“Aku memang tak pernah
bertemu denganmu, Pan,” ujar wanita itu. “Tapi aku tak menyangka selera
berpakaianmu buruk sekali.”
Pan memandang bingung
padaku. “Siapa dia?”
“Oh dia belum
memberitahumu, ya?” kata wanita itu menyerobot apa yang akan keluar dari mulutku.
“Aku Aphrodite, dewi kecantikan.”
“Aphrodite?” tanya Pan
benar-benar terkejut. “Kukira….”
“Kukira aku masih
berleha-leha di Olympus?” ujarnya memotong kata-kata Pan. “Tidak Pan, beberapa
dewa sudah tak lagi menetap di Olympus. Mereka kini lebih senang berbaur dengan
manusia.”
“Tapi….” Entah apa
sangkalan yang akan keluar dari mulut Pan. Yang jelas sangkalan kembali
terpotong oleh kata-kata Aphrodite.
“Sudahlah Pan, kau ke
sini bukan untuk membahas kebiasaan baru para dewa, kan?” tanya Aphrodite. “Jika
kau ingin berhasil menaklukan hati gadis-gadis hutan, ikuti aku.”
***
Aku hanya bisa tertawa
saat Aphrodite menggarap Pan. Sesekali Pan meneriakkan makian padaku disela
deru alat cukur yang tengah membabat cambang dan rambut keritingnya. Tapi aku
tak peduli, karena ini adalah satu dari sedikit waktu menyenangkan selama
kebersamaanku dengan Pan. Melihatnya Pan dirombak habis-habisan oleh Aphrodite
sambil menikmati manisnya buah-buahan ranum yang dihidangkan oleh pelayan
Aphrodite adalah sesuatu yang sangat langka.
“Kambing jelek!” Dengar
Pan meneriakiku lagi.
“Kau juga kambing,
bodoh,” balas Aphrodite kesal. Hahaha…sekarang aku tak perlu menjawab
makiannya, karena Aphrodite sudah menggantikan tugasku. “Diam atau kau akan
kehilangan telingamu. Menurutlah, aku sedang memperbaiki penampilanmu.”
Berikutnya debat antara
Pan dan Aphrodite terus berlanjut di sela-sela perombakan penampilan Pan.
Sampai sekitar satu jam berikutnya, Aphrodite telah berhasil menampilkan Pan
dalam tampilan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Cambang di wajahnya telah
terpangkas rapi. Harus kuakui tanpa cambang berantakan itu, Pan terlihat lebih
tampan. Sayangnya wajah masamnya sepertinya tak bisa diubah. Rambutnya juga
telah terpangkas rapi, sehingga tidak terlihat terlalu keriting.
“Sekarang hanya tinggal
memperbaiki selera berpakaiannya,” ujarku pada mereka. Lalu aku berpaling pada
Aphrodite. “Kau bisa membantunya?”
“Serahkan saja hal itu
padaku,” jawab Aphrodite bangga. “Walau namanya Goddess Beauty Centre, tapi di
sini kami juga memberikan pelayanan kepada dewa yang ingin tampil menawan. Asal
kalian tahu saja, Apollo adalah pelanggan terbaikku. Ia selalu mampir ke sini
sebelum tampil.”
“Apollo?” tanya Pan.
“Tampil apa?”
Aphrodite mendengus,
tampak tak berselera meladeni kekuperan Pan. “Ia sekarang menjadi musisi
terkenal.” Aphrodite kemudian beralih memandangku. “Ingatkan aku untuk
menunjukkan Album CD Apollo.”
“Apakah semua dewa-dewi
beralih profesi seperti kau dan Apollo?” tanya Pan bingung.
“Tentu saja tidak,”
jawab Aphrodite. “Zeus masih di Olympus, walau sesekali ia turun ke bumi untuk
mencari mangsa. Yah, kau tahu lah apa yang kusebut mangsa. Poseidon masih di
laut. Hades masih di dunia bawah, hanya beberapa dewa saja yang melakukan alih
profesi. Biasanya mereka adalah dewa-dewi yang bisa melakukan tugasnya sebagai
dewa sambil melakukan hal yang lain seperti bisnis.”
“Selain kau dan Apollo,
apa ada dewa-dewi lain yang melakukan alih profesi?” tanya Pan. Sepertinya ia
tertarik untuk melakukan alih profesi. Tapi tak terpikirkan olehku pekerjaan
apa yang pas untuknya terkait tuga kedewaannya. Kalian punya usul? Oh iya,
mungkin jadi polisi hutan cukup memadai untuk tugas kedewaannya.
“Setahuku tak banyak,
terakhir aku tahu hanya sekitar empat atau lima dewa saja. Dionysius membuka
pabrik anggur, Hephaentes memiliki bengkel, Hermes menjadi pemandu wisata di
situs-situs Yunani kuno, Iris bekerja di perusahaan telekomunikasi, dan satu
lagi Hera. Ia bekerja di LSM khusus perempuan korban kekerasan rumah tangga dan
perceraian.” Aphrodite masih mencoba mengingat-ingat, kemudian menyerah.
“Kenapa kita jadi melantur seperti ini? Oke Pan, sebaiknya kau mandi dulu
sementara aku memilihkan pakaian yang mungkin cocok untukmu.”
***
Saat Pan selesai
mandi―sesuatu yang entah masuk dalam kegiatan hariannya atau tidak, aku dan
Aphrodite telah selesai memilih pakaian yang kami rasa tepat untuk Pan.
Pan terlihat
mengernyitkan dahi ketika aku dan Aphrodite menunjuk pakaian yang harus ia
kenakan. Sebuah celana jins sewarna tanah, kaus hijau terang dengan desain
absatrak putih di bagian dada, dan sebuah jaket berwarna sedikit lebih terang
dari celananya. Sebagai penutup kepala, sekaligus penutup tanduk, Aphrodite
memilih tutup kepala seperti yang tadi dipakainya saat datang ke tempat ini.
Dan satu lagi, sepatu tenis warna putih kusam.
“Kalian menyuruhku
memakai semua itu?” tanya Pan tampak sekali tak setuju. “Apa itu tak terlau
berlebihan. Kalian ingatkan aku tinggal di hutan?”
“Dengarkan dulu
penjelasanku,” kata Aphrodite membalas keberatan Pan. “Kau terserah hendak
memakai pakaian-pakaian ini atau tidak, tapi selama berada di lingkungan
manusia kau harus tampak seperti manusia.”
“Terserah kau saja,”
jawab Pan menyerah. Ia mengambil pakaian-pakaian yang telah kami siapkan. “Tapi
aku tak berjanji akan terus memakainya. Benda-benda ini seperti membatasi
gerakku.”
Aku mengarahkannya ke
ruang ganti, dan menyuruhnya berganti pakaian di sana. Cukup lama ia berada di
ruang ganti, mungkin ia salah memakai kaus untuk celana. Siapa tahu? Setelah
cukup kebosanan menunggunya, akhirnya Pan keluar dari ruang ganti. Untuk sesaat
aku hampir tak mengenalinya. Dengan tubuh bersih dan pakaian yang hanya
memiliki sedikit kombinasi warna, ia benar-benar tampak berbeda. Jauh lebih
baik.
“Jangan tertawa lagi,”
cegah Pan begitu ia melihatku memandanginya. “Ini bukan pilihanku.”
“Sebenarnya kalau boleh
aku jujur, kau tampak jauh lebih baik,” jawabku. “Mungkin Raiona akan mulai
melirikmu. Bukan begitu, Aphrodite?”
“Ya, tepat sekali,”
jawab Aphrodite menyetujui. “Garapanku tak pernah gagal.”
“Kalian pasti hanya
sedang membuatku menerima pilihan kalian,” katanya curiga.
“Terserah jika kau tak
percaya,” jawabku. “Kita buktikan saja setelah kita sampai di hutan.”
“Tak masalah,” katanya
menantang. “Aku pastikan akan langsung melepas semua benda ini dari tubuhku.
Dan itu berarti kau telah menandatangani hukuman yang akan kuberikan padamu
karena membuatku tampak konyol.”
“Dan jika aku benar,
maka kau akan memenuhi satu permintaanku,” tantangku balik.
“Apa itu?” tanyanya
curiga.
“Biarkan aku
mengundurkan diri dari tugasku sebaga asisten pribadimu,” jawabku.
Ia tampak berpikir
sejenak, lalu memberikan kaliamat persetujuannya. “Baiklah, akan kukabulkan
permintaanmu.”
Aku tersenyum,
“Bersiaplah untuk mencari asisten pengganti.”
***
Baru beberapa puluh
meter memasuki hutan, setelah kontak terakhir kami dengan manusia yang memberi
kami tumpangan, Pan sudah mulai melepas sepatunya.
“Ini tidak termasuk
dalam perjanjian Pan,” keluhku. “Kau berjanji tak aka melepas apa pun sebelum
kita sampai di istanamu.”
“Benda ini tak akan
berpengaruh besar pada penampilanku,” jawab Pan sambil menunjukkan mengangkat
sepatunya padaku. “Begini saja, aku lepas sepatu ini dan akan kuperingan
hukumanmu jika kau kalah.”
“Tetap saja itu tak
adil,” debatku.
“Kuberi kau satu petak
lahan khusus untukmu sebagai tambahan hadiah jika kau menang,” tambahnya
menawarkan.
Aku tersenyum, “Itu
baru terdengar adil.”
Setelah itu tak ada
lagi perdebatan. Masing-masing dari kami berjalan dalam diam, tenggelam dalam
pikiran kami masing-masing. Hingga tiba-tiba dari balik pepohonan muncul satyr
gemuk yang tak kuketahui namanya, tapi aku pernah bertemu dengannya dalam
beberapa pertemuan. Satyr itu memandangi Pan, lalu melongo tak percaya.
“Apakah itu anda, Tuan
Pan?” tanya satyr itu ragu. Lalu satyr itu memandangku, meminta penegasan atas
dugaannya.
“Tentu saja ini aku,”
jawab Pan. “Aku tahu aku tampak konyol dengan ini semua.” Pan menunjukku.
“Salahkan dia jika kau ingin menyalahkan penampilanku.”
“Bukan,” kata satyr itu
buru-buru. “Bukan begitu maksud saya.”
“Lalu?” tanya Pan.
“Anda tampak
benar-benar berbeda,” jawab satyr itu. “Maksud saya, anda tampak mengagumkan.”
Raut masam Pan
tiba-tiba berubah cerah. “Benarkah itu?”
“Tentu saja,” jawabku
memotong apa pun yang akan dikatakan oleh satyr itu. Aku menatap Pan dengan
tatapan penuh makna. Kalian tahulah apa maksud tatapanku. “Semua orang tahu
itu. Hanya saja kau tak mau mengakui bahwa kau salah.”
“Kalau begitu,”
kata pan tiba-tiba menjadi semangat.
“Kau…”
“Doran, Tuan,” jawab
satyr itu begitu Pan tampak kebingungan hendak memanggilnya apa.
“Ya, Doran,” lanjut pan
memanggil nama satyr itu. “Kabarkan pada para penghuni hutan untuk segera
berkumpul di depan istanaku.”
“Baik, Tuan,” jawab
Doran patuh. Kemudian ia pergi, dan dengan cepat menghilang di balik pepohonan.
Tiba-tiba aku
tersenyum. Kalian tahu kenapa? Sepertinya Pan telah mendapat penggantiku. Doran
tampaknya tak terlalu buruk untuk menggantikanku.
Kemudian tanpa banyak
cakap lagi, kami langsung melanjutkan perjalanan. Bahkan Pan bersedia memakai
sepatunya kembali, walau dengan begitu jalannya jadi sedikit melambat. Tapi,
yang penting ia tidak lagi banyak mengelukan kostumnya.
Dalam beberapa menit berikutnya,
akhirnya kami sampai di halaman luas istana Pan. Para penghuni hutan sudah
berkumpul di sana. Bisik-bisik bingung menggaung dari kumpulan masa itu.
“Tugas terakhir untukmu
jika kau memenangkan pertaruhan ini,” kata Pan tiba-tiba. “Umumkan pada mereka
tentang kedatanganku dan perubahan yang aku lakukan. Jangan terlalu
membanggakan dirimu.” Aku hendak mengucapkan persetujuan saat tiba-tiba ia
memerintahkan perintah lain. “Juga panggil Raiona ke depan begitu aku muncul di
hadapan semua penghuni hutan. Lakukan sedramatis mungkin.”
Oke aku putuskan ini
adalah tugas terakhir yang tak terlalu sulit. Tapi perintah terakhirnya kurang
begitu aku sukai. Dramatis? Oh tidak. Bisakah kalian bayangkan aku
berdramatisasi untuk urusan Pan? Ah terserahlah. Yang jelas setelah ini
berakhir, itu berarti kebebasan bagiku.
“Oke,” jawabku sambil
menuju kerumunan. Lalu aku meneriakkan pengumuman bahwa Pan telah tiba dengan
suara terkeras yang bisa kubuat.
Mendengar suaraku, para
hadirin langsung menoleh kebelakang. Pertama memandangku, kemudian mata
mereka―hampir serempak―memandang Pan yang berada tepat di belakangku. Aku
benar-benar bisa melihat beberapa satyr melongo bodoh seperti tersihir. Oh,
memalukan sekali.
Semakin kami berjalan
mendekati pintu istana, Pan semakin banyak memakan korban. Mata melotot,
melongo konyol, dan gumaman tak yakin adalah ekspresi hampir semua penghuni
hutan begitu Pan Nampak di mata mereka. Dan setelah semua itu, akhirnya kami
tiba di depan istana. Tempat tunggul-tunggul kayu menjadi panggung beranda
istana Pan.
“Oke semuanya, diamlah!”
teriakku. Semua hadiri langsung terdiam, dan memandang kami. “Aku ingin
mengumumkan sesuatu pada kalian tentang raja kita, Dewa Pan.” Oh iya, aku lupa
memberitahu kalian. Walau aku tak pernah memanggil Pan dengan sebutan Dewa Pan,
tapi aku merasa tak perlu menunjukkan rasa tidak hormatku pada Pan di depan
semua penghuni hutan. Sehingga dengan terpaksa aku menyebutnya dengan Dewa Pan.
Tak apalah, menghormatinya di akhir jabatanku sepertinya cukup baik. “Kalian
pasti bingung melihat penampilan Dewa Pan.” Bisik-bisik persetujuan mulai
terdengar. “Itu hal yang wajar, karena ini adalah kali pertama dalam sejarah
hidupnya ia tampil dengan begitu tertutup. Perubahan ini tidak serta merta
terjadi. Ada seorang gadis yang mengispirasinya untuk tampil seperti ini.
Kalian ingin tahu siapa gadis itu?”
Semua hadirin mulai
menerukan persetujuan. Beberapa orang terlihat mulai menebak-nebak siapa gadis
itu.
“Aku panggilakn saja
gadis itu untuk kalian,” jawabku akhirnya setelah memberikan jeda cukup
panjang. Kuharap itu bisa menambah kadar daramatisasiku. “Raiona, kemarilah.”
Puluhan kepala langsung
menoleh ke sana-kemari mencari gadis yang kumaksud. Kemudian dari kerumunan
muncullah seorang peri pohon. Dia terlihat cantik dengan kulit putih bersih dan
rambut panjang tergerai yang dihiasi tanaman merambat. Ia berjalan―oh, bukan
berjalan. Ia terbang sangat rendah. Hampir menyentuh tanah―ke arah kami. Gaun putihnya
melambai-lambai seperti tertiup angin, padahal aku tak sedikitpun merasakan
adanya angin. Dalam sekejap ia sudah bergabung dengan kami.
“Sekarang kukembalikan
padamu, Dewa Pan,” kataku sambil membungkuk sok hormat pada Pan.
Pan tiba-tiba tampak bingung,
salah tingkah seperti tak yakin hendak mengatakan apa. “Em…baiklah, Raiona.”
Pan masih terlihat sekali bingung mencari kata-kata yang tepat. “Seperti yang
telah kau dengar tadi, aku melakukan ini untukmu.”
“Saya sangat tersanjung
mendapat perlakuan istimewa seperti ini,” jawab Raiona. “Dan saya harus
mengakui kalau anda tampak mengesankan.”
Tepat sekali. Kalian
dengar Raiona tadi bilang apa? Pan mengesankan. Hahaha… sepertinya aku memang
tak salah rencana. Sebentar lagi aku akan bebas dari perbudakan Pan.
“Tapi,” lanjut Raiona.
Tapi? Tunggu. Kenapa mesti pakai tapi. Jangan bilang itu hanya sanjungan kecil
sebelum kritikan tajam. “Saya pikir itu semua terlalu berlebihan bagi anda.
Terlalu menghilangkan ciri khas anda.” Oh tidak. Raiona baru saja mengencangkan
ikatan perbudakanku yang sudah mulai mengendur. “Kalau boleh jujur, saya
mungkin lebih suka anda tampil seperti biasa dari pada tampil dalam keadaan
seperti ini.”
Oh tidak. Apakah tadi
Pan melirikku? Kalau iya, berarti ia telah memastikan hukuman yang akan aku
terima adalah hukuman paling berat yang pernah ia berikan.
“Coba anda buka penutup
kepala itu,” perintah Raiona lembut. Tanpa banyak tanya Pan menurutinya. “Benda
itu menutupi tanduk agungmu. Sesuatu yang menunjukkan siapa anda. Tapi
ngomong-ngomong, saya suka gaya rambut anda.” Oh angin segar, semoga itu bisa
memperkuat pertaruhanku. Jika pun nanti aku harus menerima hukuman, semoga gaya
rambutnya bisa meringankanku. “Jadi intinya, benda-benda itu benar-benar
menghilangkan jati diri anda. Kecuali mungkin celananya, sepertinya itu bisa
mengurangi pemandangan yang kurang menyenangkan.” Raiona tampak merona saat
mengucapkan kalimat terakhir. “Sekarang bolehkan saya kembali?”
Pan masih mematung
mendengar serentetan kalimat dari Raiona yang cukup mengulitinya. “Oh ya,
kembalilah,” jawabnya akhirnya setelah tersadar. Raiona langsung pergi dan kembali
menghilang di kerumunan. Pan langsung berbalik padaku. Ia menatapku marah,
seperti hendak memakanku hidup-hidup.
“Bubarkan para penghuni
hutan,” perintahnya galak. Ia berbalik hendak masuk ke istananya. “Aku tunggu
kau di dalam.”
***
“Tapi, Pan. Bukankah
ada beberapa hal yang Raiona sukai dari penampilan barumu? Ia suka gaya
rambutmu. Juga celana yang kini kau pakai.”
Aku tengah mendebat Pan
yang telah menjatuhkan hukuman padaku. Seperti dugaanku, hukuman bagiku
sepertinya adalah hukuman terberat yang pernah ia murkakan. Selama kehidupanku,
aku harus setia melayani Pan tanpa boleh membantah apa pun keinginannya.
Bagiku, ini adalah hukuman yang sangat buruk. Jauh lebih buruk dari harus
menyapu dedaunan gugur di sepenjuru hutan.
“Tak ada tawar menawar,”
jawabnya angkuh. “Kau telah gagal, dan kau harus menerima konsekuensinya. Jadi
buang jauh-jauh pikiranmu untuk mengundurkan diri dari masa baktimu, karena
kini kau punya waktu seumur hidup untuk berbakti padaku.”
“Tapi, Pan…”
“Panggil aku Dewa Pan,”
bentaknya. Apakah aku tadi memberinya ide untuk sebutan itu? “Berhenti
mengeluh, dan laksanakan tugas pertamamu sebagai abdi seumur hidupku.”
“Tugas pertama?”
tanyaku curiga. Aku merasa tugas ini bukan tugas biasa.
Dan aku langsung lemas
saat kecurigaanku terkonfirmasi. Aku benar-benar ingin menonjoknya saat ia
menyebutkan tugas aneh itu. “Carikan aku wanita yang mau menikah denganku.”
~Selesai~
Note: Naskah ini diikutsertakan dalam CerBul KasFan September 2012
Komentar
Posting Komentar