Langsung ke konten utama

TABUR OMBAK

Tabur Ombak

oleh Mahfudz Dwipatra

Aku tak pernah melewatkan satu senja pun tanpa melihat matahari terbenam. Aku selalu terpesona saat lingkaran kemerahan itu amblas di horison laut yang tenang. Membiaskan warna senja yang mendamaikan ke langit. Dan seperti biasa, di sinilah aku menunggu saat keindahan itu tiba. Duduk di ujung dermaga kayu kecil yang letaknya tak jauh dari rumah para penduduk desa pesisir kecil ini. Dermaga ini tidak terlalu tinggi, sehingga dengan mudah kakiku yang tergantung mampu mempermainkan air laut.
Tiba-tiba, dibalik suara kecipak air yang aku ciptakan, samar-samar indera pendengaranku menangkap suara langkah kaki jauh di belakang. Semakin lama langkah kaki itu semakin terdengar jelas, dengan tempo yang terdengar familier. Aku tak perlu menengok ke belakang untuk mengetahui siapa yang datang, karena ritual menunggu matahari terbenam bukanlah ritualku seorang diri.
 “Kukira kau tidak akan datang,” kataku setelah orang itu duduk di sampingku. Mataku masih memandang ke titik terjauh di tengah laut.
 “Bagaimana mungkin aku tidak datang di saat terakhir aku bisa melihatmu sebagai orang yang sama,” katanya dingin. “Sebagai orang yang kucintai tanpa pembatas apa pun.”
Aku tak bisa mengabaikan keinginanku untuk memandang wajahnya. Mendapati raut sedih di wajah pria bermata kehijauan itu membuat hatiku nyeri. “Kenapa kau begitu yakin bahwa aku tak akan melihatmu nanti malam?”
“Jika mampu, aku tak ingin meyakini hal itu,” katanya mengakui. “Tapi kemungkinan kau akan melihatku sangat kecil. Ada ratusan pria di desa ini, dan pria mana pun bisa muncul dalam Upacara Tabur Ombakmu.”
Tabur Ombak. Yah, sebenarnya aku tak ingin membahas upacara itu, tapi tampaknya sudah terlambat untuk tak membahasnya, karena sejak awal perbincangan kami memang mengarah ke upacara menyebalkan itu.
Bagi kalian yang penasaran, aku bisa menjelaskan sedikit tentang upacara itu. Upacara Tabur Ombak adalah sebuah ritual kuno di desa pesisir ini. Upacara ini adalah upacara yang harus dilakukan oleh semua gadis yang akan menginjak usia 20 tahun. Dalam upacara itu, Sang Ratu –sebutan untuk gadis yang sedang menjalankan upacara− akan ditunjukkan siapa jodohnya. Dan Sang Ratu harus menikah dengan pria yang ditunjukkan. Konon, jika Sang Ratu akhirnya tidak menikah dengan pria yang ditunjukkan, maka Sang Ratu akan menerima kemalangan sepanjang hidupnya.
Dan hari ini adalah hari terakhir aku berusia 19 tahun. Itu artinya nanti malam, tepat tengah malam, aku akan menjadi Ratu dan akan mengetahu siapa jodohku sebenarnya. Aku paham, jika pria yang akan aku lihat nanti malam bukan pria yang kini sedang duduk di sampingku, maka sudah pasti akan ada dua hati yang menjadi korban upacara ini.
 “Memang,” jawabku. “Kemungkinanmu memang sangat kecil. Tapi bukan tidak mungkin, kan? Kesempatanmu akan sama besarnya dengan kesempatan pria-pria lain di desa ini.”
Ia tak menjawab. Seketika itu, keheningan langsung menguasai kami. Cukup lama hingga aku memecah keheningan itu.
“Sion,” panggilku padanya. Entah kenapa menyebut namanya menjadi begitu menyakitkan. “Aku hanya ingin kau tahu.” Aku berhenti, mengambil jeda untuk bernafas. “Siapa pun pria yang akan aku lihat nanti malam, kaulah yang sebenarnya aku inginkan.”
       “Kita berdua sama-sama paham hal itu,” jawabnya pendek. Ada jeda yang lama sekali sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri pertemuan ini. “Sebaiknya kau pulang dan segera bersiap-siap untuk upacaramu.” Ia bangkit. “Tak perlu kau tunggu sampai matahari terbenam.” Lalu ia pergi meninggalkanku seorang diri.
Setelah suara langkah kakinya menghilang, akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Ia benar, percuma saja terus di sini. Keindahan matahari terbenam sore ini tak akan pernah mampu mendamaikan hatiku saat ini.
***

“Kau terlihat sangat cantik, Atala,” kata ibuku memuji.
Untuk pertama kalinya setelah berjam-jam duduk di depan cermin, aku benar-benar memperhatikan pantulan wajahku di cermin. Tampaknya ibu hanya melebih-lebihkan. Aku tak melihat perubahan yang signifikan pada diriku, selain tebaran kuntum-kuntum bunga warna-warni di rambutku yang hitam panjang. Juga pakaian adat yang terasa tak nyaman di tubuh. Pakaian ini berupa gaun terusan berwarna biru laut yang terasa berlebihan hamper di semua bagian. Mulai dari panjang lengannya yang sukses menyembunyikan seluruh jemariku, sampai panjang gaunnya yang bisa digunakan untuk menyapu lantai sembari pemakainya berjalan.
“Apakah ibu dulu melihat ayah saat menjadi Ratu?” tanyaku tak menanggapi pujian ibuku yang sedang membetulkan letak beberapa bunga di rambutku. Aku sadar ini pertanyaan konyol yang seharusnya tak keluar dari mulutku.
 “Tentu saja,” jawabnya ringan. “Bagaimana mungkin ibu bisa menikah dengan ayahmu jika ibu tak melihatnya?”
“Apakah ibu sudah mengenal ayah saat itu?”
“Ibu rasa ibu pernah beberapa kali berbicara dengan ayahmu sebelumnya,” jawabnya tampak mengingat-ingat. “Tapi ibu tidak terlalu kenal dengan ayahmu.”
“Bagaimana ibu…”
“Sudahlah,” potongnya. “Tenang saja. Semua akan lebih mudah setelah upacara ini selesai.”
Aku mengangguk. Dalam hati aku mengamini kata-kata ibuku. Semoga memang lebih mudah. Sekalipun pria itu bukanlah Sion.
“Ayo!” ajak ibuku. Ia membantuku bangkit. “Para pengantar sudah menunggu kita di luar.”
Aku bangkit. Dan ibuku langsung menggandeng tanganku. Kami berjalan keluar dalam diam, tapi tampaknya ia langsung menyadari kerisauanku. Karena sebelum kami membuka pintu, ibu memberikan kata-kata penenangnya lagi padaku. “Semuanya akan baik-baik saja. Tak ada yang perlu kau takutkan.”
Pintu dibuka, dan kami melangkan ke beranda. Di sana sudah berkumpul puluhan warga desa yang akan mengantarku ke dermaga Ratu, tempat aku akan menjalani upacaraku. Dermaga Ratu sebenarnya tak berbeda jauh dengan dermaga-dermaga lain di desa ini. Bedanya, dermaga ini lebih besar dari dermaga lain. Juga satu-satunya dermaga yang  diberi penerangan lampu yang di sepanjang dermaga. Selain itu, tiang batu yang merupakan tempat upacara akan berlangsung adalah pembeda utama dermaga ini, yang akan menjadi tempatku bermalam nanti.
Melihat para pengantar, otomatis mataku langsung mencari keberadaan Sion. Tapi seperti yang aku duga. Ia tidak datang. Mungkin mengantarku dalam upacara ini terasa sangat menyakitkan baginya. Mungkin sama menyakitkannya seperti mengantarkan orang yang kau cintai untuk menemui calon suaminya.
“Kau sudah siap, Atala?” Ayahku tiba-tiba sudah berada di sampingku. Menggandeng tanganku yang masih bebas, mengapitku bersama ibu. Menyadari hal itu, aku mencoba berpikir positif. Setidaknya untuk saat ini aku sedang dikelilingi oleh orang-orang yang juga mencintaiku.
Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya. Takut menjawab dengan kata-kata, karena aku yakin suaraku akan terdengar bergetar ketakutan.
“Baiklah kalau begitu,” katanya tak yakin. Ayahku juga pasti menyadari keraguan di wajahku. Kemudian ia memalingkan wajah ke dua gadis kecil yang memakai gaun yang mirip denganku. Gadis-gadis penebar bunga. Gadis-gadis kecil itu membawa masing-masing sekeranjang kecil penuh bunga warna-warni seperti yang bertebaran di kepalaku. “Anak-anak, ayo bersiap-siap.”
Kedua gadis kecil itu langsung merespon perkataan ayah dengan beringsut ke arah kami. Berdiri tepat di depan ayah dan ibuku.
“Ayo jalan, anak-anak,” perintah ayahku. Mereka langsung berjalan sambil menebarkan bunga-bunga di keranjang mereka ke jalan yang akan kami lewati. Aku, ayah, dan ibuku berjalan tepat di belakang para gadis penebar bunga. Dan puluhan orang berjalan di belakang kami sebagai pengantar.
Tidak butuh waktu lama untuk mencapai dermaga Ratu. Letaknya memang tidak jauh dari rumah para penduduk. Saat kami sampai di sana, seorang lelaki tua sudah menunggu kedatangan kami. Lelaki tua itulah yang akan memimpin upacara ini. Aku tak tahu siapa namanya, tapi kami biasanya menyebutnya dengan panggilan Sang Tetua.
Kami berhenti di depan Sang Tetua. Gadis-gadis penebar bunga menyerahkan keranjang bunga mereka pada ibu dan ayahku sebelum mereka pergi ke belakang. Menghilang dari pandanganku.
“Selamat datang, anakku,” sapa Sang Tetua padaku. Wajahnya tampak tenang dalam balutan cambang dan janggut putih tebal. Ia mengulurkan tangan kanannya padaku. Ibu dan ayah melepaskan tanganku, dan memberikan tangan kananku padanya. “Silakan ucapkan salam pelepasan untuk putrimu,” tambahnya memerintah ayahku.
Salam ini adalah salah satu dari rangkaian upacara, sehingga kata-katanya sudah disiapkan sejak upacara ini pertama kali diadakan. Ayah tinggal mengatakan kata-kata yang sudah diucapkan ratusan orang sebelumnya.
Ayah mengangguk, lalu mengucapkan salam pelepasan untukku. “Aku lepaskan putriku pada pria yang akan dipertemukan ombak untuknya.” Ada sedikit getaran dalam suaranya. Ternyata bukan hanya aku yang merasa takut.
Ayah dan ibu menaburkan sisa-sisa bunga di keranjang kepadaku, sementara Sang Tetua mulai membimbingku ke tempat upacara. Tempat itu berupa sebuah tiang batu yang berada sekitar 10 meter dari ujung dermaga.
Aku sudah menapaki anak tangga pertama, saat Sang Tetua membisikkan kata-kata penenang padaku. Sepertinya aku mulai muak mendengar kata-kata penenang itu. Ini terdengar bodoh. Mereka pasti tahu bahwa kata-kata itu tak terlalu berguna. Semenenangkan apa pun kata-kata itu tak akan pernah berpengaruh padaku selama aku belum keluar dari tempat ini, dan mengetahui siapa jodohku sebenarnya.
Dinginnya air laut tengah malam menjalari kakiku ketika aku menjejak anak tangga kelima yang sudah terrendam air. Kami terus meniti anak tangga, hingga akhirnya kami sampai di anak tangga terakhir. Kakiku sudah terrendam sampai lutut sekarang. Kemudian kami mulai menyusuri lantai batu ke arah tiang batu.
Tiba di tiang, Sang Tetua langsung memposisikan tubuhku menghadap hamparan laut yang luas dan memunggungi tiang. Sang Tetua langsung mengikatku ke tiang dengan tali. Dulu, upacara ini tidak menggunakan tali. Sang Ratu hanya berpegangan pada tiang. Tapi semenjak terjadi kejadian beberapa tahun lalu di mana seorang Ratu hilang terbawa ombak, mulai digunakan tali untuk menahan Sang Ratu tetap di tiang.
Selesai mengikatku, Sang Tetua mengambil beberapa kuntum bunga dari kepalaku, lalu menghadap laut dan meneriakkan kata-kata yang semakin membuatku ketakutan. “Wahai ombak,” teriaknya pada laut yang tenang, sambil menebar bunga yang ia ambil dari kepalaku. “Tunjukkan pada anakku siapa yang pantas untuk menjadi pendamping hidupnya.”
Seperti menjawab teriakan Sang Tetua, tiba-tiba di kejauhan, di balik remang malam, samar-samar air laut yang semula tenang mulai bergejolak. Gejolak itu tampak bergerak ke arah kami.
Sang Tetua berbalik. Menatapku sekilas dengan tatapan menguatkan, lalu meninggalkanku sendiri dalam keadaan terikat, kedinginan, dan ketakutan.
Aku kembali menatap laut. Gejolak air yang ternyata adalah gulungan ombak itu sudah semakin dekat. Jaraknya tinggal beberapa meter saja dariku, tak lebih dari 10 meter, membuat ombak itu terlihat begitu tinggi. Entah berapa tingginya, tapi cukup tinggi untuk menelanku bulat-bulat. Ketakutan, aku langsung menutup mata. Tak ingin melihat saat ombak itu melibasku.
Beberapa detik setelah aku menutup mata, gelombang air dingin menyapu tubuhku. Aku berpegangan erat pada tiang. Tidak yakin jika harus menggantungkan hidupku pada tali yang mengikatku. Gelombang pertama selesai. Aku sedang mencoba menghirup udara saat gelombang kedua tiba-tiba menerjangku. Aku merasakan hantaman yang lebih hebat. Rasa asin air laut sempat masuk memenuhi mulutku yang belum tertutup rapat, juga air garam membakar masuk tenggorokanku lewat hidung.
Tapi penderitaan itu hanya berlangsung sesaat. Secara ajaib, penderitaan itu tiba-tiba lenyap. Seperti tidak pernah terjadi sebelumnya. Setelah itu tiba-tiba aku bisa bernafas dengan lancar tanpa menghirup air asin.
Aku penasaran, tak tertahankan rasanya aku ingin mengetahui apa yang terjadi. Perlahan, aku mulai membuka mataku. Mulanya tidak terlihat jelas. Lalu aku membuka mataku lebar-lebar. Dan betapa terkejutnya diriku saat mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Aku tak bisa melepas kata ‘gua’ untuk mendeskripsikan tempatku berada saat ini. Bedanya bukan batu ataupun tanah yang ada disekelilingku, tapi air. Semua pandanganku tertumbuk pada air. Mulai dari dinding, lantai, sampai langit-langit, semuanya berupa air yang terlihat terang entah oleh cahaya yang berasal dari mana.
Kujulurkan tanganku untuk menguji kewarasan mataku, dan ternyata benar. Tanganku menembus dinding dan basah karena air. Dan saat itu aku baru sadar kalau ternyata aku sudah tidak terikat di tiang lagi. Aku langsung menoleh ke belakang. Mencari tiang, mencari dermaga, mencari orangtuaku, mencari para pengantar, tapi tak ada satu pun dari yang aku cari tampak oleh mataku. Lagi-lagi air yang aku temukan.
Hal ini membuat pikiranku langsung diserbu oleh berbagai pertanyaan. Semuanya membutuhkan jawaban, tapi aku sadar tak ada seorang pun yang akan memberikan jawabannya padaku. Jadi sia-sia saja aku terus memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu. Aku mencoba mengenyahkan berbagai pertanyaan itu, tapi ternyata tak mudah. Tetap ada yang harus aku ketahui. Setidaknya satu hal.
Apa yang harus aku lakukan? pikirku panik.
Tiba-tiba sebuah suara, yang mirip sekali dengan suara Sang Tetua, bergema di benakku. Menjawab pertanyaanku. Ikuti bunga-bunga itu.
Bunga? tanyaku lagi sambil melihat ke sekeliling. Tapi belum juga Sang Tetua menjawab, yang sepertinya memang tak akan menjawab, aku sudah mendapat jawabannya. Di lantai air, beberapa kuntum bunga warna-warni mengambang di depanku. Bunga-bunga itu persis dengan bunga yang ada di kepalaku. Jangan-jangan itu bunga yang dilempar Sang Tetua tadi. Kemungkinan memang seperti itu.
Bunga itu mulai bergerak. Gerakannya terayun-ayun seperti hanyut dalam arus air yang lambat. Dengan ragu aku melangkah, menjejakkan kaki ke lantai yang tampak seperti kaca yang terrendam air. Setelah beberapa langkah yang hati-hati, dan yakin bahwa lantai ini sama kuatnya dengan lantai batu, maka aku mempercepat langkahku. Mengejar bunga-bunga itu yang sudah hanyut cukup jauh.
Berbekal keyakinan yang tak penuh, aku terus mengikuti ke mana bunga itu hanyut. Setelah melewati beberapa persimpangan yang membingungkan, aku tiba di sebuah –entah kata yang aku gunakan tepat atau tidak, terserahlah– ruangan yang cukup luas.
Aku memandang ke sekeliling, mencoba mencari alasan kenapa aku dibawa ke tempat ini. Tapi tak ada apa pun. Menilik lantai, sama saja. Hanya ada air yang sedikit berombak-ombak. Menilik dinding, hanya ada air yang tampak diam. Dan menilik langit-langit, juga tak ada yang...
“Selamat datang calon istriku,” sebuah suara berat tiba-tiba bergema. Harapanku untuk bertemu dengan Sion langsung musnah. Suara itu suara orang lain. Bukan suara Sion.
Aku terkesiap. Memandang berkeliling, mencari sumber suara itu, tapi aku masih tak bisa menemukan siapa pun. Tempat ini masih kosong.
 “Siapa kau?” tanyaku lemah, yang langsung tak yakin ingin mendengar jawabannya. Aku tak akan pernah siap mendengar jawabannya, karena suara itu tak akan pernah menyebut nama Sion.
Tiba-tiba seorang pria muncul dari dinding air. Tampaknya pria itu hanya sedikit lebih tua dariku. Seluruh tubuh pria itu meneteskan air. Membuat rambut hitamnya kelihatan panjang, juga membuat mata birunya tampak makin cemerlang. Pria itu tersenyum padaku, “Aku Neidr.”
Neidr. Tampaknya nama itu tak asing bagiku, tapi di manakah aku mendengarnya? Apakah dulu aku pernah mengenalnya? Mungkin waktu kecil.
“Sepertinya aku pernah mendengar namamu?” tanyaku mencoba berbasa-basi untuk mengurangi rasa kecewa di hatiku. “Namamu terdengar tidak asing. Apakah aku pernah mengenalmu sebelumnya?”
“Tentu saja kau tak asing dengan namaku,” jawab Neidr, kembali tersenyum padaku. “Setiap orang tua pasti menceritakan kisahku pada anak-anak mereka.”
“Kisah?” tanyaku bingung. Sepopuler itukah dia, sampai-sampai setiap orang tua mesti menceritakan kisah itu pada anak-anak mereka?
“Dewa Buangan,” jawabnya. Lagi-lagi kata-katanya terdengar tak asing.
Tunggu! Neidr? Dewa Buangan?
Tiba-tiba aku teringat pada sebuah kisah. Kisah lama yang hamper tak pernah terdengar lagi. Kisah tentang dewa yang terbuang.
Kisah itu menceritakan tentang seorang dewa yang dibuang ke bumi karena sebuah kesalahan. Dewa itu dibuang ke bumi dengan cara dilahirkan sebagai bayi laki-laki. Tapi sebelum ia dibuang ke bumi, ia sempat bersumpah pada dewa-dewi yang membuangnya. Ia bersumpah akan menghancurkan tempat pembuangannya. Tapi ternyata kemampuan penghancurnya belum pulih. Kemampuan itu hanya akan muncul pada keturunannya nanti. Kesempatan satu-satunya untuk balas dendam adalah melalui anaknya. Tentu saja bukan anak sembarangan. Anak itu harus lahir dari orang yang memang dijodohkan dengan Sang Dewa Terbuang.
Kalian tahu siapa nama dewa itu. Næda. Ya, Næda. Tidak berbeda jauh dengan Neidr, kan? Nama manusianya.
“Tidak!” teriakku ngeri menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Aku mundur beberapa langkah. “Tidak mungkin kau! Aku tak ingin melahirkan anak yang akan menghancurkan desa ini.”
“Terserah,” jawabnya tampak tak peduli. “Sayangnya kau tak punya pilihan yang menguntungkan.”
Setelah senyuman yang tampaknya berarti ejekan, Neidr berbalik dan kembali menembus dinding air, menghilang ditelan air.
Sekarang apa yang harus aku lakukan? Neidr benar. Aku tak punya pilihan yang menguntungkan. Mengingkari dirinya berarti kemalangan seumur hidup bagiku, tapi menyepakatinya berarti aku akan melahirkan monster. Tidak. Aku tak mau.
Tanpa aku kehendaki, tiba-tiba aku luruh ke lantai. Dengan deras, air mataku mengalir. Menangisi nasib burukku. Pikiranku semakin kacau dengan menderasnya air mataku. Aku ingin berteriak, tapi sesak di dada menahan teriakan itu. Sehingga hanya isakan yang keluar.
Aku masih tak tahu apa yang akan aku lakukan saat tiba-tiba dinding dan langit-langit di sekelilingku melibasku. Dalam sekejap aku langsung tak sadarkan diri.
***
Aku tersadar sekitar dua jam yang lalu. Saat aku sadar, hari sudah beranjak siang dan aku sudah berada di ranjang kamarku. Kata ibuku, ayahlah yang menggendong aku dari tiang upacara ke sini. Ternyata yang melakukan perjalanan ke gua air hanya jiwaku. Sementara itu, ragaku masih terikat di tiang sampai pagi hari. Sampai sinar matahari pertama di umurku yang ke-20 muncul. Saat itu ayah melepaskan ragaku dari tiang dan menggendongku ke mari.
Aku hanya terdiam. Memandangi diriku di cermin. Memperhatikan ibuku yang tengah menggelung rambutku. Untungnya ibu tidak banyak bertanya tentang apa yang aku alami tadi malam. Ia hanya bertanya sekali, tapi aku menolak menjawabnya. Setelah itu ia tak lagi bertanya apa-apa.
Dari cermin, aku melihat pintu terbuka. Kepala ayahku menyelinap masuk di lubang pintu yang terbuka. Entah kenapa ia tampak bahagia. Mungkin karena akhirnya aku bisa menemukan pasanganku. Tapi aku yakin jika aku menceritakan siapa yang aku temui, ia tak akan mungkin sebahagia itu.
“Tetua ingin kalian segera keluar,” kata ayah semangat.
Ibu menoleh memandangnya. “Ya, kami akan segera keluar.”
Kemudian kepala ayah menghilang, dan pintu tertutup.
“Ayo Atala,” ajak ibuku.
Aku langsung bangkit tanpa menunggu ia membantuku. Dengan ragu aku melangkah di samping ibuku yang berjalan santai. Setiap langkah yang aku ambil semakin membuatku bingung. Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku mengakui telah melihat Neidr? Atau aku perlu berbohong?
“Ibu.” Akhirnya aku yang memulai perbincangan. Kami sudah hampir membuka pintu.
Ia menoleh padaku. “Ya?”
“Apakah sebelumnya pernah ada yang menolak menikah dengan pria yang ia lihat?”
Ibuku tampak ragu sebelum menjawab. “Memangnya kenapa? Jangan pernah berpikir untuk melakukan hal itu.”
Aku hanya menggeleng. Dan perbincangan kecil ini berakhir tanpa ada jawaban untukku.
Tiba di beranda, Sang Tetua langsung menarikku maju ke hadapan ratusan warga desa yang telah datang untuk mendengar pengumuman dariku. Pengumuman yang tak yakin akan keluar dari mulutku. Kedua orang tuaku berdiri di sampingku. Ibu merangkulku, memberikan dorongan.
“Sekarang sampaikan pada mereka siapa yang kau lihat, Nak” perintah Tetua padaku.
Aku menyapukan pandangan ke ratusan orang di depanku. Kebingunganku semakin menjadi-jadi ketika aku melihat dua wajah yang sangat tidak ingin aku temui sekarang. Wajah Sion dan wajah Neidr.
Melihat wajah sedih Sion semakin menguatkan keinginanku untuk mengingkari apa yang aku lihat tadi malam, tapi itu berarti aku telah mematri kemalangan di sisa umurku. Melihat wajah Neidr yang tampak bosan, pikiran akan melahirkan monster langsung menyerbuku.
Sang Tetua sudah memandangku bingung ketika akhirnya pikiran egois muncul di benakku. Jika memang tak ada pilihan yang menguntungkan bagiku, maka aku harus mengambil keuntungan yang ada. Sesedikit apa pun itu. Dan akhirnya aku memutuskan.
“Aku melihat Sion.”
_End_

Note: Top 5 of CerBul KasFan April 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k