Langsung ke konten utama

Rumah Hantu



Rumah Hantu
By: Mahfudz Dwipatrra

Aku terus mengamati orang-orang yang baru keluar dari bangunan semi permanen itu. Mereka tampak aneh, setidaknya menurutku. Tak ada satu pun dari mereka yang tampak ketakutan, sebaliknya senyum lebar menghiasi wajah mereka. Atau bukan mereka yang aneh, tapi aku yang aneh. Aku terlalu penakut, bahkan untuk masuk ke rumah hantu buatan di pasar malam ini.
            Aku memandang dua wajah yang aku kenal, Erria dan Rema dari deretan orang-orang yang baru keluar itu. Meninggalkan barisan, mereka berjalan ke arahku yang tengah berdiri dengan perasaan tak tentu. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang lucu. Ledakan tawa mereka memberitahuku.
“Kau harus mencobanya,” kata Erria begitu mereka sampai di depanku.
“Ya, kau harus mencobanya,” Rema mendukung.
“Sepertinya tak terlalu buruk,” jawabku sambil melirik ngeri pada bangunan semi permanen bercat hitam itu. “Kalian tidak tampak ketakutan.”


Mereka bertukar pandang, lalu tertawa. Aku merasa mereka sedang mengerjaiku. Mereka tahu dengan pasti bahwa aku adalah pria penakut. Dan aku harap acara tukar pandang mereka bukan dalam rangka membuatku terkencing-kencing di celana.
“Apa kalian sedang merencanakan suatu kejailan?” tanyaku tak setuju.
“Adham, kami tahu kau paling takut dengan hal-hal berbau hantu,” jawab Erria mulai mengguruiku. “Jadi kami tidak akan mungkin merekomendasikan hiburan ini, jika kami anggap tempat ini terlalu menakutkan buatmu.”
“Coba lihat kami,” perintah Rema. Aku memandang mereka. “Apa ada raut ketakutan di wajah kami?”
Aku menggeleng. “Kalian tertawa seperti orang gila.”
“Jadi?” tanya Erria sambil memandang penuh harap padaku.
“Atau kami bisa masuk lagi menemanimu,” Rema menawarkan, jelas ini ejekan.
“Tidak perlu. Lagi pula itu percuma. Bukannya di dalam kita akan tetap berjalan sendiri-sendiri? Jadi biarkan aku ketakutan sendiri. Aku tak mau kalian memergokiku sedang gemetar ketakutan.”
“Jadi?”
“Baiklah. Aku masuk,” aku menyetujui.
Mereka tersenyum puas.
***

Dengan perasaan ngeri, akhirnya aku melangkahkan kaki ke antrian. Di depanku sudah ada tiga orang. Mereka saling mengenal satu sama lain. Mereka saling berbicara, sedikit bercanda. Tampaknya mereka sama sekali tak memperdulikan apa yang akan mereka temui di dalam. Di sini hanya aku yang ketakutan. Dasar.
Aku kembali memandang rumah hantu itu. Disain luar dibuat seperti kastil tua dengan atap-atap runcing. Gambar kelelawar, sarang laba-laba, dan batu-batu retak menempel di beberapa bagian. Lampu warna merah di sorotkan tepat ke arah gambar jendela yang dari dalamnya mengintip sesosok wanita berambut panjang. Sorot lampunya memberikan efek nyata pada gambar itu.
“Silakan masuk,” kata seorang penjaga, mengalihkan perhatianku. Ia menyerahkan selembar kertas kecil padaku.
“O..ya..ya,” jawabku sedikit tergagap sambil menerima kertas itu. Memandang kertas itu dan kudapati angka 3 tertera di atas kertas itu. Aku tahu apa artinya ini. Rute nomor tiga adalah jalur yang harus aku tempuh.
Memandang ke depan, ternyata tiga orang yang tadi berada di depanku sudah menghilang. Mereka sudah masuk ke rumah hantu itu. Aku melangkah. Sekilas memandang teman-temanku yang tampak menyemangatiku.
Mengabaikan mereka, aku melangkah masuk. Melewati ambang pintu utama, dan sensasi mistis langsung menyergapku. Bulu kudukku tiba-tiba meremang, seperti ada yang sengaja meniup tengkukku. Aku mencoba mengabaikannya dengan melihat sekelilingku. Tak ada apa pun yang mencurigakan, kecuali pendar-pendar lampu yang di sorotkan ke beberapa tempat. Sedikit merasa lega karena tak mendapati sesuatu yang sempat terbersit dalam benakku.
Kembali memandang ke depan, aku mencari angka tiga. Tak terlalu sulit menemukannya. Angka itu tercetak tebal selebar kertas folio. Ditambah lagi sinar lampu bohlam yang  menggantung di atasnya membuatnya makin mudah ditemukan.
Aku menuju ke sana, mendekat, dan aku menyadari kalau tiap jalur dipisahkan oleh dinding dari kayu. Di sepanjang jalur tertata dengan rapi tanaman-tanaman semak dalam pot yang bagian bawahnya diberi sorot lampu remang-remang. Aku tak terlalu memperdulikan itu. Pikiranku hanya tertuju pada pintu keluar yang entah ada di mana.
Menyusuri jalur. Tiba-tiba apa yang aku takutkan mulai kurasakan.
Baru berjalan sekitar dua puluh langkah, tiba-tiba semerbak wangi melati menyerbu hidung. Seandainya keadaanya tidak seperti ini semerbak harum ini sangat menenangkan, tapi dalam keadaan seperti ini justru degup jantung dan bulu kuduk yang merespon dengan cepat. Tanpa aku komando, bulu kuduk di tengkukku kembali meremang. Degub jantungku juga memacu diri lebih keras.
Mencoba berpikir logis. Wangi melati ini pasti ada sumbernya. Mungkin ada beberapa tanaman melati yang diselipkan diantara semak-semak buatan di sekelilingku. Mengamati semak-semak, aku tak menemukan apa yang aku cari.
“Mungkin aroma parfum yang disemprotkan oleh seseorang yang bersembunyi,” bisikku pada diri sendiri. Mencoba menghibur diri.
Kembali berjalan sekitar sepuluhan langkah panjang, wangi melati itu sudah tidak lagi tercium. Aku terus berjalan, sambil merasakan degub jantung yang mulai kembali normal. Aku bernafas pelan-pelan sambil sesekali mencoba mengecek apakah masih ada aroma melati yang tertinggal. Tidak. Aku tak sedikit pun mencium aroma melati.
Sedikit merasakan kelegaan, tapi kelegaan itu tak berlangsung lama. Jantungku kembali harus berpacu keras. Ketika dengan hati-hati melangkah, mataku tiba-tiba menangkap kilatan bayangan putih lewat di depanku. Seperti kain yang berkelebat tertiup angin. Terlalu cepat, sehingga aku tak tahu benda apa itu. Secara otomatis aku berhenti, mundur sepersekian langkah kurasa. Diam. Aku menunggu benda itu muncul dan membuatku gemetar tak berdaya. Tapi tak ada yang terjadi. Akhirnya aku melangkah lagi, walau sedikit ragu-ragu. Terus berjalan sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Masih penasaran dengan benda putih tadi, tapi aku tetap tak menemukan apa pun.
“Mungkin hanya visualisasi ketakutanku saja,” ujarku menghibur diri. “Yah pasti seperti itu.”
Merasa tak menemukan apa yang aku cari, aku kembali berjalan. Terus berjalan, sedikit aku percepat dengan harapan agar segera mencapai pintu keluar. Tapi ternyata aku salah. Tak ada pintu keluar di ujung jalur berdinding kayu ini. Tak ada pintu di ujung. Yang ada hanya kumpulan pepohonan yang jelas aku kenali sebagai hutan.
Hutan? Sejak kapan ada hutan dalam ruangan ini? Atau ini sudah menembus ke bagian belakang bangunan? Tidak, aku tahu tak ada hutan. Pasar malam ini berada di lapangan di tengah kota. Apa yang terjadi?
Aku mulai panik menyadari keanehan ini. Aku benar-benar yakin tak ada hutan di belakang bangunan ini. Mungkinkah ini hanya dekorasi? Aku melangkah ke salah satu pohon untuk membuktikannya, menyentuhnya, dan fakta baru bahwa entah bagaimana aku benar-benar berada di hutan memenuhi pikiranku. Bagaimana aku kembali?
Oh iya, pintu masuk.
Aku berbalik hendak berlari sekencang-kencangnya menyusuri jalan masuk. Berbalik dan lututku lemas menemukan kenyataan baru yang lebih mengerikan. Lorong berdinding kayu telah lenyap. Digantikan oleh kumpulan pepohonan yang tak berbeda dengan pemandangan hutan di belakangku. Sekarang aku benar-benar tersesat di hutan.
Gemetar semakin hebat melandaku. Lututku lemas, sehingga tanpa aku kehendaki aku jatuh ke tanah berumput. Pikiranku kacau memikirkan bagaimana aku keluar.
DINGG……
Aku terkesiap mendengar dentang jam yang entah di mana. Bergaung-gaung, seakan memantul dari pohon satu ke pohon lain. Suara itu semakin mengacaukan pikiran dan detak jantungku.
DINGG……DINGG……DINGG……
Dentang jam itu terdengar lagi. Aku mengedarkan pandangan mencari sumber suara itu, walau aku tak yakin ingin benar-benar melihat sumber suara itu.
Semakin lama suara itu semakin sering terdengar. Bergaung-gaung. Semakin lama terdengar makin melemah, tapi tetap jelas terdengar oleh telingaku. Aku menutup telingaku, tapi dentang jam itu masih bisa menelusup ke gendang telingaku. Semakin lama semakin sering dan semakin beragam bunyinya. Hingga aku sadari apa yang sebenarnya aku dengar.
Bukan dentang jam lagi yang terdengar, tapi suara gamelan. Ya suara gamelan. Suara lembut yang terdengar mistis dan menakutkan. Seakan itu adalah lagu pemanggil arwah-arwah gentayangan. Aku tak bisa lagi menggambarkan ketakutan yang aku alami. Seingatku ini adalah rasa takut terbesar yang pernah aku kecap seumur hidupku.
Dentang-dentingan benda logam itu makin jelas terdengar oleh telingaku, seakan para penabuhnya sedang mendekat ke arahku. Aku ingin berlari. Sangat ingin. Tapi aku tak sanggup. Hanya untuk sekedar berdiri saja aku tak mampu, apa lagi harus berlari.
NINGG…NONGG…NINGG…NONGG…
Kini suara-suara itu seakan hanya berjarak beberapa meter saja dariku. Di sebelah kananku. Aku menoleh, tapi aku tidak melihat apa pun kecuali siluet pepohonan yang besarnya hampir sepelukan orang dewasa. Kembali menunduk, merenungi kebodohanku sendiri. Seharusnya aku tak masuk ke tempat ini. Seharusnya aku tak perlu mendengarkan teman-temanku. Seharusnya aku sadar sifatku. Ah sial.
NINGG…NONGG…NINGG…NONGG…
Suara itu makin keras, dan kini aku yakin jaraknya tak lebih dari dua meter dari tempatku berada. Dengan ekor mataku aku melirik ke sisi kananku. Berharap sekaligus tak menginginkan wujud sumber suara itu muncul. Tapi tetap tak ada. Sumber suara itu masih tidak terlihat.
“Kau mencari kami?”
Aku terkesiap. Memandang ke belakang. Dan jantungku seakan mau meledak menahan detak yang sama sekali tak ada iramanya. Mereka telah menampakkan diri. Bukan di kananku, tapi di belakangku.
Tiga sosok mengerikan berdiri tepat di belakangku. Aku tak tahu hantu jenis apa mereka. Wajah berlumuran darah, mata merah menyala, dengan rambut panjang tergerai sampai menyapu tanah. Jari-jemari kurus dengan kuku hitam panjang menyembul dari lengan pakaiannya yang tampak kebesaran. Jari-jemarinya juga berlumuran darah seperti baru selesai mencabik-cabik binatang yang masih hidup.
Atau manusia? Pikirku ngeri. Jangan-jangan aku…
“Si..si..siapa kalian?” tanyaku tergagap.
Mereka tak menjawab. Hanya tatapan tajam yang aku terima dari mereka bertiga. Tatapan mereka membuatku semakin gemetar hebat. Aku kembali menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan mereka. Menutup mata, tiba-tiba telingaku menyadari bahwa suara-suara gamelan itu sudah menghilang. Entah sejak kapan. Aku tak tahu. Pikiranku terlalu kalut untuk terus memperhatikan suara itu.
Aku mencoba menumpulkan indera-indera yang aku punya. Terus memejamkan mata, aku menumpulkan indera penglihatanku. Dan menutup telinga untuk mengurangi ketajaman indera pendengaranku. Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan. Kulitku masih bisa merasakan sensasi-sensasi di sekelilingku.
Hembusan angin yang terasa menggigit hingga ke tulang belulangku menyapuku. Tak lama setelah hembusan angin, tetes hujan mulai terasa menetesi tengkukku. Mula-mula satu tetes. Air itu tidak terlalu dingin. Berikutnya beberapa tetes menetes bersamaan, mengumpul, dan mengalir ke leherku. Air ini terasa sedikit aneh. Tidak sedingin air hujan di malam hari, tapi justru terasa sedikit hangat, kental, dan berbau besi.
Tunggu! Air tak berbau besi. Itu bukan air, itu…
Darah!
Aku membuka mata dan mendapati kemejaku berbercak merah. Lelran cairan berwarna merah masih mengalir di leherku. Kalut, aku memandang sosok-sosok yang kini sudah mengelilingiku. Tetesan-tetesan darah itu berasal dari tangan mereka yang kini terlentang di atas kepalaku. Entah apa yang sedang mereka lakukan, tapi yang jelas aku semakin ketakutan. Juga jijik.
“A..a..apa yang..kalian lakukan?” tanyaku lagi.
Mereka tak menjawab dengan kata-kata, tapi tangan merekalah yang menjawab. Tiba-tiba salah satu sosok itu meraih leherku. Mencekikku dengan kekuatan yang membuatku terperanjat. Dengan gemetar aku melakukan perlawanan, tapi sia-sia. Cekikannya semakin menguat, hingga aku mengalami kesulitan bernafas. Aku melawan lagi, dan itu adalah kesalahan. Tanpa ampun sosok itu mencekikku semakin kencang, hingga aku benar-benar kehabisan nafas. Paru-paruku seakan hendak meledak. Kepalaku pening dan pandanganku berkunang-kunang kehabisan oksigen.
Aku sempat merasakan ia menyeretku sebelum aku benar-benar hilang kesadaran. Atau mati.
***

“…Adham! Adham! Kau kah itu?”
Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang memanggilku. Suara itu seperti sengaja dipelankan. Rasanya aku mengenal suara itu. Suara Erria! Tapi bagaimana bisa? Apakah aku sudah berhasil keluar dari hutan aneh ini? Mungkin sosok-sosok itu hanya pura-pura. Mungkin mereka hanya tokoh pemeran sandiwara. Ya pasti seperti itu, tapi apakah cekikan itu juga termasuk sandiwara?
“Adham! Jika benar itu kau bangunlah,” kata suara itu lagi, masih sepelan suara sebelumnya. Aku makin yakin itu suara Erria. Walau tak masuk akal, tapi aku yakin itu dia.
Aku mencoba membuka mata. Mencoba melawan kelopak mata yang tak mau membuka. Terus berusaha, akhirnya aku bisa membuka mataku.
Begitu berhasil membuka mata, pandanganku langsung tertumbuk pada pemandangan yang sangat tidak aku harapkan muncul. Pepohonan, yang artinya aku masih berada di hutan. Lantas suara siapa tadi?
“Adham.” Suara itu memanggilku lagi.
Menyapukan pandangan, aku menemukan Erria tengah terikat di sebatang pohon bersama dua orang lain yang tidak aku kenal. Tak jauh darinya juga ada beberapa orang yang terikat di pohon. Semakin luas menyapukan pandangan, aku menyadari sesuatu yang membuatku tercekat. Lebih dari dua puluh orang terikat di pohon seperti Erria, termasuk diriku. Aku tak menemukan sesosok mahluk mengerikan pun di sini kecuali orang-orang yang terikat di pohon. Melihat hal ini, perasaanku sedikit lega.
“Apa yang terjadi?” tanyaku melihat diriku juga terikat bersama dua orang yang kepalanya terkulai lemas. “Dan kau Erria, kenapa kau di sini?”
“Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawab Erria. “Aku terjebak di Rumah hantu sialan itu. Beberapa sosok mengerikan menyeretku ke tempat ini dan mengikatku.”
“Terjebak di rumah hantu? Bukannya kau tadi sudah keluar bersama Rema? Apa jangan-jangan kau masuk lagi?”
“Keluar? Dari rumah hantu itu?” katanya balik bertanya. Ia menggeleng. “Aku dan Rema sama sekali belum keluar. Kau kenal dia?” katanya sambil menunjuk menggunakan anggukan dagunya ke arah seseorang yang juga terikat di pohon, tak jauh dari tempatku terikat.
Mataku mengikuti anggukan dagunya. Aku menemukan orang yang Erria maksud. Orang itu adalah Rema. Aku tak mungkin salah mengenalinya.
“Apa kalian punya saudara kembar?” tanyaku tampak bego. Jelas-jelas aku mengenal semua keluarga mereka. Dan mereka tidak memiliki saudara, apalagi kembar.
“Apa maksudmu?” tanyanya tampak curiga.
“Aku tak tahu ini terdengar masuk akal atau tidak dari sudut pandangmu,” kataku masih tak yakin dengan apa yang terjadi. “Sekitar setengah jam setelah kalian masuk ke rumah hantu itu, kalian keluar sambil tertawa-tawa. Lalu memaksaku untuk masuk ke rumah hantu itu.”
Ia menggeleng-gelengkan kepala. “Kau yakin itu kami?”
Aku mengangguk, “kau…”
Sebenarnya aku hendak menanyakan apakah Erria tahu sedikit informasi tentang ini, tapi kata-kataku terpotong oleh ketidakberaturan nafasku sendiri. Tiba-tiba aku tercekat. Melihat sosok seperti yang mencekikku tadi berjalan ke arah kami. Aku melirik Erria yang juga tampak ketakutan melihat sosok itu.
Sosok itu terus mendekat ke arah kami. Satu langkah lemah. Jantungku kembali tak menemukan iramanya. Dua langkah. Seakan oksigen tak lagi tersedia di sekitarku. Langkah ketiga. Pikiranku kacau. Langkah keempat. Dia berhenti. Berhenti berjalan dan berpaling ke pohon terdekat darinya. Aku lega ia tak menghampiriku. Sebaliknya ia menghampiri orang-orang yang terikat di pohon di dekatnya.
Sosok itu mendekati orang-orang yang belum sadarkan diri itu. Mendekat, dan setelah hanya berjarak kurang dari satu raihan tangan, tiba-tiba sosok itu menggores pipi orang yang terikat dengan kuku hitam panjangnya. Luka sayatan tercipta. Darah mulai mengalir. Sosok itu mencondongkan tubuh, lalu tiba-tiba menjilat darah dari luka sayatan.
Aku tak tahu apa yang harus aku rasakan. Sebagian diriku ketakutan, sebagian yang lain merasa mual melihat adegan itu. Tapi akhirnya aku memutuskan rasa takutlah yang lebih menguasaiku ketika jawaban akan segala pertanyaanku terungkap.
Begitu selesai menjilat darah dari orang itu, tiba-tiba sosok itu mengejang dan beriak-riak aneh. Lalu begitu aku berkedip sosok itu sudah berubah menjadi persis seperti orang yang tadi darahnya ia jilat. Ini mengerikan.
Aku memandang Erria. Di pipinya juga ada bekas luka sayatan dengan darah yang sudah mengering. Sekarang aku tahu bahwa orang yang membujukku masuk ke rumah hantu ini bukanlah Rema dan Erria. Tapi mereka sosok-sosok mengerikan yang menyamar sebagai mereka.
“Erria,” panggilku lemah padanya.
“Ya?” ia mengalihkan pandanganya dari sosok itu kepadaku.
“Apakah aku memiliki bekas sayatan di pipiku?”
Erria mengamatiku. Jantungku semakin tak karuan. Tiba-tiba aku menyesali pertanyaanku. Aku takut mendengar jawaban ‘Ya’ dari Erria. Tapi Erria tak langsung memberiku jawaban.
“Bagaimana?” tanyaku akhirnya benar-benar ingin tahu.
“Ya. Ada bekas sayatan di pipi kananmu.”

Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k