Langsung ke konten utama

Ular-Tangga


Ular-Tangga
by Dwipatrra

Sumber ilustrasi klik di sini

Aku turun dari mobil dan berjalan sedikit menuju tempat tujuanku, kasino termegah yang berdiri di daerah ini. Lampu-lampunya tersusun rapi membentuk tulisan besar-besar: KING'S CASINO.
Aku berjalan ke pintu masuknya, membiarkan petugas keamanan yang berpakaian necis memeriksaku, memastikan aku tak membawa senjata atau pun benda berbahaya lainnya, sekaligus memastikan bahwa aku adalah anggota resmi kasino ini. Setelah puas, para petugas mempersilakanku masuk dengan senyum sopan yang membuat wajah mereka menyerupai topeng (atau saking seringnya mereka tersenyum seperti itu sampai wajahnya tercetak demikian?).
Hingar bingar elegan menyambut kedatanganku. Tapi bukan kebisingan itu yang aku cari di sini. Kedatanganku kemari bukan untuk bergabung dengan para penjudi murahan itu, aku kemari untuk perjudian yang lebih spektakuler.


Kusapukan pandangan ke sepenjuru ruangan, mencari seseorang yang akan mengantarkanku ke tempat khusus di mana perjudianku akan berlangsung. Setelah pandangan mataku dipenuhi hal-hal khas sebuah kasino -meja-meja judi oval dengan orang-orang berpakaian mewah mengelilinginya, rulet-rulet yang berputar berisik, juga deretan mesin slot yang berbaris rapi seperti tentara robot, juga pelayan-pelayan yang hilir mudik membawa nampan berisi gelas-gelas berisi minuman- akhirnya aku menemukannya berdiri di dekat rulet yang tengah kosong.
Pria itu memakai setelan rapi berwarna hitam, yang tampak tak berbeda dari pria-pria kaya lain di tempat ini. Satu hal yang memberitahuku bahwa pria itulah orang yang aku cari adalah pin emas berbentuk bintang yang tertempel di kelepak jasnya.
Aku langsung mendekati pria itu, yang langsung sadar akan keberadaanku begitu aku berjalan beberapa langkah mendekatinya.
“Oh, selamat malam, Tuan,” sapa pria itu, setelah mengenali pin bintang di jasku.
“Antarkan aku ke tempat pertemuannya,” perintahku, tak menjawab sapaannya.
“Silakan ikuti saya.”
***
Aroma emas langsung menguar begitu pintu megah ruang pertemuan khusus itu dibuka. Aroma paling nikmat yang bisa dihirup oleh bangsaku.
“Silakan, Tuan.” Pria itu membungkuk, mempersilakan.
“Kau boleh pergi,” perintahku, memberikan beberapa keping koin emas padanya.
Menerima koin dariku, pria itu pergi. Pintu menutup di belakangku.
“Kau terlambat, Yag,” tegur seorang pria bertubuh besar padaku. Pria itu tengah duduk di kursi mewah yang terletak di ujung meja judi persegi. Di tegah meja terdapat sebuah kotak kayu dan beberapa tumpukan koin emas.
Di kedua sisi meja, duduk dua wanita yang dari eksperinya juga menganggap keterlambatanku sebagai sebuah kejahatan. Salah seorang bertubuh kecil, dan yang lain berpostur seperti laki-laki. Bertubuh besar dan gagah.
“Maafkan aku, Onyx,” jawabku pada pria itu. “Aku baru mendapat kartu anggotaku tadi pagi, jadi aku belum sempat melakukan observasi,” tambahku beralasan, sambil berjalan ke kursi kosong di ujung lain meja.
“Sudahlah,” lerai Amber, si wanita bertubuh mungil. “Kau sudah membuang banyak waktu.”
“Kita mulai saja permainan kita,” kata si wanita gagah yang akan kami panggil Jade. Sebenarnya itu bukanlah namanya, tapi nama klannya, seperti halnya nama kami semua. Yag, Onyx, Amber, dan Jade adalah nama klan yang kami wakili.
“Oh, tapi sebelumnya bagaimana kalau kita tanggalkan penyamaran ini?” usul Onyx. “Menyaru sebagai manusia, juga menggunakan tempat mereka, tidak akan pernah kulakukan jika kita tak butuh tempat netral untuk permainan ini.”
“Baiklah,” jawabku. Aku langsung menanggalkan penyamaranku.
Dalam sekejap, tubuh tinggi manusiaku menyusut, telinga meruncing, kulit berubah menjadi kelabu kehijauan, menampilkan sosokku yang sebenarnya: Goblin.
Yah, itulah kami sebenarnya.
Perubahan selesai. Onyx, untuk pertaruhan kali ini berperan sebagai ketua, segera meraih kotak kayu di tengah meja dan membongkar isinya. Menyingkirkan tumpukan-tumpukan koin emas ke sudut meja, ia membentangkan kain putih selebar hampir setengah meja yang ia ambil dari dalam kotak. Setelah itu ia mengeluarkan empat butir telur seukuran jempol kaki dan sebuah dadu.
“Saatnya menetaskan telur kalian dan mewarnai kain,” kata Onyx mengambil satu telur, yang langsung kami ikuti.
Walau ini adalah penugasan klanku yang pertama, aku sudah mendapat sedikit pembekalan mengenai hal-hal seperti ini. Tinggal keluarkan beberapa tetes darah dan teteskan ke salah satu telur, juga ke kain, maka semuanya beres.
Kugigit ibu jari tangan kananku hingga berdarah. Setetes darah kuteteskan ke kain dan ke salah satu telur.
Tetesan darah dengan cepat meresapi kulit telur, dan dengan cepat retakan-retakan mulai terbentuk. Beberapa detik kemudian telur pecah, menampakkan miniatur kami masing-masing. Goblin-goblin kecil seukuran jempol tangan.
Sementara itu, darah yang kami teteskan ke kain mulai membuat pola kotak-kotak di kain. Dari angka-angka yang keluar pada setiap kotak, kuketahui jumlah kotaknya ada 25, yang terbagi dalam lima baris dan lima kolom simetris. Lalu muncul gambar ular-ular dan tangga-tangga yang menghubungkan beberapa kotak.
Akhirnya, medan ular-tangga dan bidak-bidaknya telah siap. Juga kami yang telah bersiap untuk merebutkan taruhannya, sebuah kekayaan bagi klan yang menang.
Setiap 40 hari sekali, kami melakukan permainan Ular-Tangga ini. Jenis ‘permainan’ tertua dalam kehidupan bangsa kami. Aku ketahui manusia juga memainkan permainan ini. Nama dan peraturannya pun tampaknya sama. Tapi tentu saja permainan kami akan lebih bisa ‘dinikmati’ dibanding permainan mereka.
Melalui permaian ini, kami akan mencari klan pemenang yang berhak menguasai Bukit Gull yang saat ini sedang dikuasai oleh Klan Jade, selama 40 hari kedepan. Di kalangan kaum kami, Bukit Gull terkenal dengan logam dan batu mineralnya yang berharga. Dulu, sebelum sistem penentuan klan penguasa seperti sekarang, Bukit Gull selalu menjadi alasan pecahnya perang antar klan. Dengan munculnya sistem penentuan ini, maka kedamaian antar klan mulai tercipta. Walau tidak bisa dipungkiri, kadang ketegangan antar klan masih sering muncul, tapi jelas lebih baik daripada perang antar klan.
“Baiklah,” kata Onyx memulai. “Sekarang ucapkan mantra kalian, dan kita mulai permainan ini.”
Aku memejamkan mata, dan mulai membisikkan mantra pada diriku sendiri. “Ta átoma pou metakinoúntai só̱ma.”
Dan terjadilah hal yang paling tak masuk akal yang pernah aku alami. Secara ajaib jiwaku tiba-tiba berpindah tempat ke miniaturku. Kini aku merasakan segalanya dari tubuh mungil ini.
***
“Kau akan merasa sangat lemah setelah perpindahan jiwa,” kata ketua klanku beberapa hari yang lalu.
Dan aku baru menyadari ternyata yang ia maksudkan berbeda dengan apa yang sempat aku perkirakan. Aku pikir ‘lemah’ yang ia maksud berhubungan dengan stamina, tapi ternyata bukan. Kondisi ‘lemah’ yang ia maksud ternyata berkaitan dengan bagaimana kau memandang lingkunganmu. Kau akan merasa sangat lemah saat kau lihat makhluk yang berukuran puluhan kali dari tubuhmu, walau ia tak akan menyakitimu. Dan itulah yang aku rasakan saat melihat raga asli kami yang, lagi-lagi tak masuk akal, masih bisa bergerak dengan cukup baik untuk sekedar menggulirkan dadu.
Jadi sekarang jelas, tugas tubuh asli kami akan menggulirkan dadu dan kami akan menjadi bidaknya.
“Kita mulai sekarang,” kata Onyx dengan tubuh mininya. Setelah berkata demikian, tubuh aslinya tiba-tiba mengambil dadu dan menggulirkannya.  Berguling-guling, dan akhirnya dadu berhenti dengan sisi tiga di atas. Pengguliran dadu pertama dilanjutkan oleh tubuh asli Jade yang mendapat sisi lima, kemudian aku yang mendapat sisi empat, dan terakhir Amber mendapat sisi satu. Jadi urutan pemainnya sudah ditentukan: Jade, aku, Onyx, lalu Amber.
***
Permainan sudah berjalan hampir setengah jam. Selama itu tak terjadi satu pun hal menarik. Perjalanan kami melintasi medan lancar-lancar saja. Kini aku tengah berdiri di kotak nomor 7, di posisi paling belakang dari semua bidak. Angka-angka kecil yang selalu muncul di daduku membuatku terpuruk di posisi terakhir. Tapi posisi ini juga ada untungnya. Aku tak perlu terlalu was-was akan ‘tertabrak’ peserta lain, sehingga terpaksa terlempar dari arena.
O iya. Bagi kalian yang tidak tahu, tabrakan adalah salah satu peraturan dari permainan ini. Dalam satu kotak tidak boleh ada lebih dari satu bidak, sehingga bidak yang lebih dulu berada di petak itu harus ‘ditabrak’ oleh bidak yang datang berikutnya. Dan bidak ‘tertabrak’ harus keluar dari arena. Tentu dengan cara yang cukup menyakitkan.
Kuamati posisi para pesaingku. Amber berdiri dengan sombong di kotak nomor 20 berkat keberuntungannya mendapat tangga terpanjang di arena. Onyx dan Jade masih saling menyusul dalam jarak yang cukup dekat, kotak 12 dan kotak 15. Dalam hati aku berharap Onyx akan menabrak Jade, sehingga paling tidak jumlah pesaing akan berkurang. Berharap sedikit keberuntungan bukan pelanggaran, kan?
Kini giliranku melempar dadu. Tiga kotak di depanku, kotak nomor 10 ada ujung tangga yang bisa menjadi jalan pintas ke kotak nomor 18. Tapi jika daduku bergulir dan menunjukkan angka dua, maka itu artinya bencana lagi bagiku, karena ada zona bahaya di kotak nomor 9. Jadi hanya satu hal yang aku harapkan sekarang, daduku tidak menunjukkan angka 2.
Dadu bergulir, dan tampaknya nasib sial memang sedang mencumbuiku.
Angka dua di dadu, dan dengan berat hati aku berjalan ke kotak nomor 9. Menemui entah bahaya apa yang harus aku hadapi agar aku bisa melanjutkan permainan ini.
Kedua kakiku akhirnya berdiri di kotak nomor 9. Untuk sekitar dua detik tidak terjadi apa-apa, tapi detik berikutnya aku dibuat pusing oleh perubahan citra sekelilingku. Hanya dalam hitungan detik, pemandangan di sekelilingku telah berubah menjadi salah satu padang rumput di Bukit Gull. Tak jauh di depanku tertancap sebuah pedang sederhana berbilah kecil. Tak ada apa pun lagi. Selain bersama pedang itu, aku benar-benar sendiri.
Tanpa ragu, karena aku yakin memang itulah yang harus aku lakukan, aku berjalan ke arah pedang itu dan mencabutnya. Setelah pedang tercabut, tiba-tiba asap mengepul dari lubang bekas cabutan. Asap semakin menebal, dan menampilkan sesosok Kerion jantan. Kerion adalah makhluk mirip singa, tapi memiliki tanduk banteng di kepalanya.
“Sudah kuduga aku akan menghadapi makhluk-makhluk macam ini,” ujarku pada diri sendiri.
Kerion itu mulai berjalan pelan ke arahku. Melenggak-lenggok dengan keanggunan khas binatang buas. Aku mundur beberapa langkah menjaga jarak, sambil bersiap-siap untuk menyerang. Tapi baru tiga langkah mundur, Kerion itu sudah mulai menyerang. Si Kerion melompat dan menerjangku. Aku berusaha menghindar, tapi tidak terlalu berhasil. Cakar-cakar tajamnya berhasil menggores lenganku, membuatku sedikit kehilangan keseimbangan.
Merasa di atas angin, Kerion itu semakin buas menyerangku. Tapi jangan kira aku akan terus menghindar. Aku dikirim mewakili klanku bukan untuk dipermainkan oleh seekor Kerion. Jadi, aku mulai memainkan pedangku. Menebas, menghunus, menyayat, tapi semuanya tak menemui sasarannya. Kerion ini ternyata lihai menghindar.
Sekali lagi aku bersiap menyerang, tapi kali ini bukan dengan serangan asal-asalan. Sedikit sihir kugunakan dalam serangan ini. Oh, perlu kalian ketahui. Dalam permainan ini ada satu peraturan lagi, yaitu dalam pertarungan kau boleh menggunakan sihir asalkan bukan digunakan untuk menyerang lawanmu secara langsung. Jadi, gunakanlah sihir dengan sedikit berpikir.
Pengalihan perhatian. Yah itulah yang ingin aku lakukan. Dengan sihir, aku menciptakan hal yang jelas akan sangat mengganggu si Kerion.
Kerion itu sudah hendak menerjangku lagi saat tiba-tiba di depannya mewujud seekor Kerion betina. Yap, Kerion betina, sang pengalih perhatian. Kemunculan Kerion betina itu membuat Kerion jantan menghentikan terjangannya.
Kerion betina mulai melenggang malas ke arah Kerion jantan, sambil menguarkan aroma tubuh yang akan menarik perhatian sang Kerion jantan. Mula-mula, si Kerion jantan hanya diam, tapi kemudian mulai berjalan pelan ke arah Kerion betina. Sepertinya Kerion jantan sudah terjebak dalam jebakan ‘musim kawin’.
Aku tersenyum. Inilah kesempatanku.
Dengan pedang tergenggam mantap di tangan, aku berlari secepat yang aku bisa ke sang Kerion jantan. Begitu jarak dengan Kerion jantan kurasa cukup dekat, aku menebaskan pedangku ke arahnya. Sang Kerion masih terbuai jebakan, saat bilah pedangku menyayat lehernya. Darah segar mengalir lancar dari bekas sayatan. Tapi ternyata itu justru membuatnya tersadar dari jebakan.
Dengan sisa tenaganya, Kerion jantan itu kembali menyerangku. Bahkan lebih buas dari sebelumnya. Ia sempat menggigit lengan kiriku, sebelum aku menusukkan pedangku ke tubuh Kerion. Sang Kerion tersungkur ke tanah, dan dalam waktu singkat langsung tak bergerak. Sementara rasa sakit yang luar biasa sedang menyerbu lenganku, pemandangan padang rumput di sekitarku lenyap digantikan oleh ruang pertemuan.
***
Setelah melewati zona bahaya di nomor 9, perjalananku bisa dibilang lebih beruntung. Dalam dua guliran dadu kini aku sudah sampai di kotak nomor 17, hanya berjarak dua kotak dari Onyx yang berada di nomor 19 dan Jade yang berada di nomor 20. Sementara Amber masih memimpin di kotak nomor 24. Ia sudah mulai frustasi karena berkali-kali melewati nomor 25, tapi selalu saja harus berbalik karena dadu yang digulirkan selalu menunjukkan angka yang lebih besar dari yang diperlukan. Di antara semua keberuntungan yang dibutuhkan dalam permainan ini, penyelesaian inilah yang paling membutuhkan keberuntungan. Karena jika dadumu tak menuntunmu tepat ke kotak nomor 25, maka tak ada gunanya. Kau hanya akan berbalik ke arah yang berlawanan, menjauhi nomor 25.
Saat ini giliran Onyx untuk menggulirkan dadu. Aku tahu apa yang dia inginkan. Yah, semua peserta pasti ingin cara termudah menyingkirkan peserta lain, menabrak peserta lain. Jadi kau tahu sendiri berapa angka yang diinginkannya muncul di dadunya, 1 atau 5. Yah, aku pun cukup berharap ia akan mendapatkan apa yang dia inginkan.
Dadu bergulir. Onyx kecewa. Bukan 1 juga bukan 5, tapi cuma 3. Sehingga dengan kecewa Onyx melangkah ke nomor 22.
Onyx gagal dengan misinya, kini giliran Amber yang berharap berhenti di nomor 25. Artinya ia butuh angka satu muncul di dadunya. Tubuh asli Amber tampak menimang-nimang dadu. Bergaya, seolah ia bisa menentukan gerakan dadu dengan cara itu. Cukup lama ia melakukan hal itu, cukup membuatku ingin memprotes tindakannya seandainya tubuh mini ini dilengkapi kemampuan bicara. Aku sudah mulai hendak memprotes dengan cara lain, saat dadu itu bergulir di meja. Bergulung-gulung dan berhenti, menunjukkan sisi dengan empat titik.
Amber berjalan. Aku mengamati langkahnya sambil menghitung. Pada langkah ke dua kaki Amber, tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Aku bersorak dalam hati. Inilah yang kuinginkan sedari tadi.
Karena tak berhasil mendapat satu angka saja, akhirnya Amber harus puas dengan berbalik tiga kotak. Tiga kotak mundur. Itu artinya ia akan berhenti di kotak nomor 22, kotak tempat Onyx berada.
Semua sadar. Amber tersenyum girang, Onyx mematung tak percaya, dan aku hanya bisa mengamini kegirangan Amber.
Amber dan Onyx saling berhadapan. Inilah proses tabrakan yang aku beritahukan tadi. Dalam kasus seperti ini, si korban –oh, maafkan aku Onyx telah menggunakan kata itu. Walau sebenarnya aku senang menggunakan kata itu- akan pasrah terhadap perlakuan dari penabrak. Apa pun yang akan dilakukan oleh sang penabrak harus diterima oleh si korban tanpa perlawanan. Kita tunggu saja apa yang akan dilakukan Amber terhadap Onyx. Aku sih berharap akan ada pertunjukan yang hebat.
Oh, harapanku ternyata terlalu berlebihan. Amber hanya meninju wajah tiga kali, menendang perut sekali, lalu mengangkat tubuh Onyx dan melemparkannya keluar arena. Tubuh mini Onyx terkulai di luar arena, yang berarti jiwa Onyx sudah kembali ke tubuh aslinya. Sunguh pertunjukan singkat yang mengecewakan. Tapi tak apalah, paling tidak peluang untuk menang kini semakin besar.
Oke, kini giliran Jade. Lagi-lagi aku berharap ia akan menubruk Amber. Tapi tampaknya nasib tidak menginginkan dua peserta keluar hanya dalam dua lemparan dadu, karena Jade berhenti di kotak lain, yaitu kotak nomor 23.
Nampaknya peruntunganku tengah membaik saat ini. Kotak nomor 23 adalah bencana, karena ekor ular yang kepalanya berada di kotak nomor 11 berada di sana. Sehingga walau tampak sekali kemarahan dari pancaran matanya, ia tetap menyusuri ular itu hingga ke kotak nomor 11.
Sekarang giliranku. Daduku bergulir menunjukkan sisi empat, sehingga tanpa hal menarik aku berjalan ke kotak nomor 21. Tepat di sisiku, Amber tengah bersiap mencoba peruntungannya lagi untuk mencapai nomor 25. Tentu saja aku berharap ia tak akan mendapat angka yang tepat. Aku berharap ia akan berhenti di nomor 23, sehingga akan mengikuti jejak Jade sekaligus menabraknya.
Dadunya bergulir, berhenti, dan tiga titik terlihat di sisi bagian atas dadu.
Tiga.
Tiga?!
Tunggu!
Tiga artinya tepat di kotak nomor 25.
Ah sial! Giliran aku sudah begitu dekat dengan kotak kemenangan, keberuntungan malah berpihak padanya. Ini lebih menyakitkan, jauh lebih menyakitkan daripada saat kemungkinan menangku sangat kecil.
Amber berjalan ke kotak kemenangan. Tapi saat ia baru berada di kotak nomor 24, tiba-tiba sebuah ledakan menghantam tubuhnya. Ia terpental keluar arena. Jiwanya pasti langsung terlempar ke tubuh aslinya.
Aku terkesiap, mencari sumber ledakan, dan menemukan Onyx tengah melemparkan batu-batu kuning berkilau ke arahku. Dengan gerakan canggung, aku melompat keluar arena agar bisa kembali ke tubuh asliku, lalu Jade mengikutiku melompat keluar arena.
Kembali ke tubuh asliku, aku melompat dari kursi dan mencoba berlindung di balik kursi. Aku tak begitu paham, tapi sedikit banyak aku tahu apa yang terjadi.
Penghianatan. Ya, pasti terjadi penghianatan di sini. Tapi…?
Sebuah ledakan lagi menghancurkan bagian atas sandaran kursi tempatku berlindung.
“Apa yang kau lakukan?!” teriakku, entah kepada siapa.
Tak ada jawaban. Aku mengintip dan menemukan pemandangan yang sangat tidak menyenangkan. Amber terkulai di lantai, sementara itu Jade berdiri siaga di depannya. Tapi yang lebih mengejutkan adalah Onyx yang tengah berdiri tepat di sebelah kursiku, tersenyum culas padaku. Di tangannya berkobar api yang aku yakin disiapkan untuk memanggang tubuhku.
Merasa terancam, aku mengangkat kursi dan melemparkannya ke Onyx. Kursi itu langsung terbakar, tapi cukup untuk mengalihkan perhatiannya agar aku bisa bersiap untuk menyerang atau paling tidak bertahan.
Kulirik sekilas Amber dan Jade. Melihat mereka, tampaknya aku mulai sedikit paham. Penghianatan ini tidak dilakukan oleh satu klan, tapi dua klan. Jade dan Onyx. Walau aku masih belum tahu alasan penghianatan mereka.
Pandanganku kembali terfokus pada Onyx. Aku mulai menyiapkan serangan. Sebuah bola api muncul di tangan kiriku, siap untuk kulemparkan kapan pun. Sementara itu, tangan kananku mulai menggapai koin-koin emas di meja. Dengan sihir, kuubah menjadi pedang dan beberapa pisau.
Onyx menyemburkan api padaku. Dengan terburu, kuhindari sambil melempar bola api. Serangan balasan itu sedikit memberiku waktu untuk mengambil pedang dan pisau-pisauku di meja. Dengan benda-benda fisik inilah aku akan melawannya. Pertarungan dengan sihir cukup menguras tenaga.
Onyx mulai menyerangku dengan bola-bola api, yang kubalas dengan lemparan dua pisau sekaligus. Serangan kami sama-sama mengenai sasaran. Api onyx menjilat pundak kiriku, dan satu pisauku menyayat pinggangnya.
Aku mengabaikan rasa terbakar di pundakku. Sambil melempar pisau lagi, aku berlari menghampirinya. Pisauku bisa ia hindari, tapi tidak dengan pedangku. Dengan satu tebasan aku berhasil memotong pergelangan tangan kirinya. Membuatnya meraung kesakitan.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku. Aku menghunuskan pedangku ke lehernya, mengancamnya.
Ia tak menjawab. Dari bibirnya masih keluar erangan-erangan kecil.
“Jika kau tak menjawab, aku bisa memotong pergelangan tanganmu yang lain agar kau tak bisa menggunakan sihir,” ancamku lagi. “Atau bahkan lehermu.”
Ia tetap diam, dan baru mau bicara setelah kugores sedikit lehernya.
“Klan…klanku dan klan Jade…”
Tiba-tiba sebuah pisau emas meluncur, menghujam dada Onyx, membuat apa pun yang hendak ia katakan terputus. Onyx tersedak, memuntahkan darah ke lantai.
Aku langsung bersiaga, berlindung ke balik tubuh Onyx yang mulai roboh ke lantai. Dari balik bahu Onyx, kuihat Jade dengan dua pisau di tangannya. Di sampingnya, Amber tergeletak dengan sebuah pisau mencuat dari perutnya. Ia masih hidup. Satu-satunya alasan kenapa Jade belum menghabisinya adalah rahasia yang akan dikatakan Onyx tadi.
Satu pisau melayang ke arahku. Aku mengangkat tubuh Onyx, menjadikannya perisai. Sementara itu, aku mencoba melempar pisauku ke arah jade. Pisauku dengan mudah dihindarinya. Tapi serangan itu langsung kususul dengan serangan lain. Lima bola api kulancarkan bersamaan kepadanya. Beberapa bisa ia tangkis dengan seranganya, tapi beberapa mengenai tubuhnya. Ia limbung. Hal ini aku gunakan untuk menyerangnya dengan pedang.
Aku meluncur ke arahnya. Tapi begitu aku sampai di dekatnya, ia menghunuskan pedang padaku. Aku tak tahu sebelumnya ia telah memiliki pedang.
Aku menebaskan pedangku, ia menangkisnya. Pedang kami beradu, mengirimkan getaran ke tanganku.
Serangan demi searangan kami lancarkan, tapi tak ada satu serangan pun yang mengenai sasaran. Tebasanku selalu bisa ia hindari, dan tangkisanku selalu tepat menghalau serangannya. Tak ada sedikit pun celah bagi kami berdua untuk saling melukai. Tampaknya hanya stamina yang akan menentukan siapa pemenangnya.
Aku terengah kehabisan energi. Aku benar-benar butuh istirahat.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan?” tanyaku, mengambil kesempatan beristirahat.
“Tak ada yang perlu kau ketahui,” jawabnya, juga terengah.
“Begitukah?” pancingku. “Kalau begitu, apakah kau ingin membunuh kami tanpa alasan?”
“Itu tak…Ahhhhh….”
Kata-katanya terpotong oleh jeritannya sendiri. Aku tak paham apa yang terjadi, hingga aku melihat api membakar punggungnya. Dengan sisa energinya, ternyata Amber masih mampu memberikan kejutan. Jade lengah oleh kobaran api di punggungnya. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Dengan cepat kuayunkan pedangku, dan kutebaskan ke tubuh Jade. Dadanya terbelah. Ia tersungkur ke lantai. Sekarat.
“Apa kau juga ingin membunuhku?” tanya Amber dalam nafas pendek-pendek saat melihatku mendekatinya.
“Aku hanya ingin berterima kasih padamu,” jawabku tersenyum padanya. “Selain itu, aku juga butuh saksi untuk mempersidangkan masalah ini.”
***
Persidangan dilakukan tujuh hari setelah peristiwa itu. Dengan bukti-bukti yang ditemukan, Klan Jade dan Onyx dinyatakan bersalah karena berusaha menghianati klan Yag dan Klan Amber. Mereka ingin menguasai barang tambang yang baru ditemukan oleh klan Jade di Bukit Gull. Klan Jade bermaksud menyembunyikan temuan mereka dari klan lain, tapi hal itu tak mungkin terjadi jika pemenang permainan itu bukan klan Jade. Sehingga dalam permainan kemarin, klan Jade berusaha memenangkan permainan dengan curang. Klan Jade bersekutu dengan klan Onyx untuk meningkatkan kekuatan.
“Jadi,” kata Rimpa, nama asli wakil klan Amber, saat kami keluar tempat persidangan. Ia berjalan tertatih. Kesehatannya masih belum pulih. “Pertandingan ulangnya akan berlangsung sangat sepi. Hanya aku dan kau. Bukankah begitu, Halk?”
Aku tersenyum padanya. “Yah, tampaknya akan menjadi kurang menyenangkan.”

End~

Note: Top 5 of CerBul KasFan Juli 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah café, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k