Langsung ke konten utama

LITTLE LIAM

Little Liam
By: Mahfud Dwipatra


Ternyata kehilangan ibu dan saudara bukanlah akhir dari hari burukku. Masih ada bencana lain. Mulai hari ini aku harus tinggal serumah dengan penghuni baru, kucing baru yang sepertinya pemarah.
Pagi tadi, tak lama setelah mahluk bernama manusia membawa pergi ibu dan kakakku, kucing baru itu dilempar ke rumah ini oleh manusia. Berkali-kali ia meneriakkan kata-kata kasar kepada manusia yang membawanya, sambil terus menggedor-gedor pintu. Baru beberapa saat yang lalu ia berhenti bertingkah gila. Sekarang ia memilih diam di dekat batu hitam legam di sudut rumah.
Sembunyi-sembunyi, aku mengamati kucing itu. Tampilan fisiknya persis seperti aku, yang menandakan bahwa ia satu spesies denganku. Kulit berbulu putih kebiruan dengan belang-belang hitam yang hanya ada di kaki, telinga tinggi dan runcing, dua ekor berujung hitam bergerak gelisah menyapu lantai. Dan matanya, aku tak sempat melihat karena takut. Seharusnya persis denganku yang berwarna kuning jernih. Hanya saja ukuran tubuhnya lebih besar dari tubuhku.
“Sepertinya selama hidupmu kau terkurung dalam kandang ini?” kata kucing baru itu tiba-tiba. Masih bergelung dengan malas, tanpa sedikit pun melihat ke arahku. Seandainya ada mahluk lain di sini, mungkin aku menyangka ia tak berbicara padaku.
“Tempat ini adalah rumah,” jawabku tak setuju dengan kata kandang yang ia gunakan. Padahal aku sendiri tidak tahu definisi kandang itu apa. Hanya saja aku merasa artinya lebih untuk mengejek.
“Kau berkata seperti itu karena kau tak tahu seluas apa dunia di luar,” katanya lagi. Kali ini ia mulai memandangku. Yah, aku bisa melihat matanya. Kuning juga, tapi agak gelap.
Aku memang tak suka dengan ejekannya, tapi ia benar. Aku tak pernah ke manapun. Rumah inilah dunia terjauh yang aku jelajahi. Sejak aku mampu mengenali dunia, aku sudah berada di tempat ini.
“Kau terlalu sombong,” kataku. “Memangnya kau pernah ke mana?”
“Kuceritakan pun kau tak akan tahu.” Ia tersenyum sombong. “Yang pasti, aku pernah menjelajahi tempat dengan luas seribu kali luas kandang ini.” Diam sejenak. “Juga pernah memanjat ratusan pohon hidup. Bukan ranting-ranting awetan seperti itu.” Ia menunjuk ke pohon di sampingku.
Sebenarnya aku ingin bertanya tentang duania luar padanya, tapi kuurungkan niatku. Aku masih enggan dan agak takut padanya. Lagi pula ia sudah kembali mempernyaman diri, memejamkan mata dan tidur.
Kini aku terjebak dalam kesunyian. Terjebak dalam kesedihan karena ibu dan kakakku belum juga kembali. Akhirnya aku mencoba tidur, sekedar untuk melupakan kesedihan itu. Tapi belum juga aku tertidur, tiba-tiba pintu terbuka.
Memandang pintu, berharap itu ibu dan kakakku, tapi hanya manusia yang mengantar makanan. Dua wadah penuh daging di letakkan di dekat pintu. Aku menghampirinya. Tangan manusia itu menjangkauku, dan mengelus kepalaku dengan lembut.
“Makan yang banyak ya Little Liam,” kata manusia itu lembut. Kami bisa memahami bahasa manusia, walau menurut ibuku manusia tak bisa memahami bahasa kita.
Berhenti mengelus, menutup pintu, dan manusia itu pergi.
Perlahan aku menjilati daging di salah satu wadah. Maksud hati hendak berlama-lama melakukan hal ini, tapi ini malah semakin mengingatkanku pada ibu dan kakakku. Biasanya kami melakukan ini sambil bercanda dan tertawa tanpa beban. Sekarang ini menjadi beban bagiku, sehingga aku mempercepat proses ini dan mulai menggigiti daging itu.
“Manusia-manusia itu benar-benar berusaha membuatmu kehilangan sifat aslimu,” kata kucing baru itu tiba-tiba sudah berada di dekat wadah daging yang lain.
Aku berhenti menggigit. “Apa maksudmu?”
“Pertama, mereka menamaimu dengan nama manusia,” jawabnya. “Nama itu sangat tidak cocok untuk spesies kita yang liar. Seharusnya liar.” Ia melirikku. “Kedua, coba lihat makanan ini. Mereka menyediakannya, mengulitinya, bahkan sampai menghilangkan tulang-tulangnya. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk membunuh insting berburumu.”
Aku memelototinya. Selama hidupku tak pernah ada yang menghinaku. Tidak pernah ada yang menghina namaku, juga bagaimana aku mendapatkan makanan. “Memangnya kau bisa mendapatkan makanan yang lebih lezat dari ini?” tantangku. “Dan untuk masalah nama, aku jadi curiga. Jangan-jangan kau malah tak mempunyai nama.”
“Oke, sepertinya kesalahan besar aku lupa memperkenalkan namaku padamu,” katanya angkuh. “Namaku Rozarc. Bagaimana? Terdengar liar, bukan?”
Aku ingin tertawa mendengarnya. Bisa-bisanya ia begitu bangga menyandang nama aneh macam itu. “Sangat liar,” jawabku mengejek.
“Dan mengenai makanan, aku bahkan mampu memperoleh yang jauh lebih lezat dan lebih segar dari tumpukan daging ini,” tambahnya tak menghiraukan ejekanku. “Kau pernah dengar makanan bernama tikus?”
Aku menggeleng.
“Kau yakin?”
“Apakah seperti ikan?” Aku mencoba menebak.
“Demi penguasa hutan,” umpatnya. “Manusia benar-benar telah memanusiakanmu terlalu lama. Bahkan sampai makanan alamimu pun kau tak kenal.”
“Memangnya seperti apa tikus itu?” tanyaku kesal. “Mungkin cuma masalah nama saja yang berbeda. Bisa saja aku punya nama lain untuk makanan itu.”
Rozarc tidak menjawab. Ia malah menggores-goreskan cakarnya ke lantai, yang akhirnya aku sadari ternyata ia sedang menggambar sesuatu.
Gambar itu sederhana. Satu bulatan kecil menempel pada satu bulatan besar yang agak lonjong. Empat garis kecil mencuat dari bawah bulatan besar, dan satu garis panjang meliuk-liuk keluar dari ujung bulatan besar. Berlawanan tempat dengan posisi bulatan kecil. Titik-titik dan garis-garis kecil, juga dua segitiga kecil menempel pada bulatan kecil. Kupandangi, dan aku mengenali bulatan kecil itu sebagi kepala. Lalu bagian lain terungkap dengan sendirinya, badan, kaki, dan ekor.
“Beginilah bentuk makanan bernama tikus itu,” katanya setelah selesai menggambar. “Kau harus mengejarnya untuk bisa memakannya. Semakin keras kau berusaha mendapatkannya, maka akan terasa semakin lezat. Kenikmatan hasil selalu berbanding lurus dengan usaha.” Ia tersenyum bangga, seakan baru saja memberitahuku sebuah rahasia besar yang hanya diketahuinya.
“Apakah tikus itu hidup?” tanyaku ragu. Aku mulai mual membayangkan memakan mahluk yang masih bisa berlari. Padahal gambaran tentang tikus masih cukup abstrak di kepalaku.
“Tentu saja,” jawabnya. “Bahkan kalau kau menunggu hingga mati dulu baru memakannya, maka kau akan kehilangan beberapa derajat kenikmatannya.”
Aku semakin mual.
“Membayangkan kenikmatannya, aku sebenarnya jadi tak berselera memakan tumpukan daging ini,” katanya lagi. “Tapi bagaimanapun aku harus makan. Aku kelaparan. Perutku belum terisi apapun sejak mereka menangkapku beberapa hari yang lalu.”
Aku menyingkir dari tumpukan dagingku. Aku kehilangan selera makanku. “Jika perutmu mampu menampung banyak makanan, habiskan sekalian makananku. Aku sudah tidak lapar lagi.”
“Kenapa? Jangan bilang kau kehilangan selera makanmu karena cerita tentang tikus itu?”
Aku tak menggubrisnya. Aku sudah sampai di bawah pohon awetan. Bergelung dan mencoba untuk tidur, sambil mengenyahkan gambaran menjijikan tentang tikus di kepalaku. Tapi suara kunyahan Rozarc yang terdengar rakus membuatku sulit menjernihkan pikiran.
“Melihat kadar kemanusiaanmu yang begitu parah, aku jadi ingin menanyakan apa sebutanmu terhadap spesies kita. Apakah manusia mengajarimu menyebut kami dengan sebutan-sebutan aneh?”
“Kucing bulan,” jawabku malas. Ibu yang memberitahuku dulu tentang nama spesies kami.
“Oh, syukurlah,” desahnya lega. “Setidaknya kau tahu nama spesies kita. Kau tahu kenapa kita disebut seperti itu?”
Aku diam. Cukup lama hingga ia bicara lagi.
“Karena bulu kita bisa bersinar jika tertimpa cahaya bulan,” ia menjawab pertanyaannya sendiri.
Aku tak tertarik karena aku pernah mendengarnya. Lalu aku mencoba kembali untuk tidur.
***
 “…Liam! Liam!”
Samar-samar aku mendengar suara yang sangat familier memanggilku. Membuka mata, aku menemukan seekor kucing yang persis seperti aku tengah mengguncang-guncangkan tubuhku.
“Neil!” teriakku melihat kakakku kembali. Bangkit, mengedarkan pandangan, aku mencari ibu. Tapi kekecewaan langsung melandaku. Aku tak menemukannya. “Ibu mana?”
“Mereka membawanya pergi,” kata Neil sedih. Lalu ia memalingkan wajah ke Rozarc yang tengah tertidur pulas di dekat batu. “Siapa dia?”
“Oh…dia Rozarc,” jawabku, lalu aku menceritakan semua yang aku ketahui tentang Rozarc pada Neil, termasuk tentang makanan bernama tikus itu. Aku juga menunjukkan gambar yang dibuat Rozarc.
“Itu menjijikkan,” komentar Neil tentang tikus.
“Memang,” setujuku. Aku terdiam sejenak. “Apa kau tahu kenapa ibu belum juga kembali?”
Neil menggeleng. “Aku hanya merasa ada yang tidak beres.”
“Apa maksudmu?”
“Sepertinya manusia-manusia itu menginginkan sesuatu dari kita,” jawab Neil.
“Itu sudah pasti.” Ternyata Rozarc sudah terbangun. Aku dan Neil menatap ke arahnya. Ia menggeliat malas di tempatnya tadi tertidur pulas. “Tak ada satu manusia pun yang akan berbuat baik jika mereka tak menginginkan sesuatu.”
“Jadi apa kau tahu apa yang mereka inginkan?” tanya Neil.
“Semua spesies kita harusnya tahu apa yang paling diinginkan manusia dari kita,” jawabnya.
“Apa?” tanya Neil.
“Apa lagi kalau bukan sihir.”
“Sihir?” tanyaku dan Neil hampir bersamaan. Kami bertukar pandang bingung.
“Oke.” Rozarc berjalan mendekati kami. “Sepertinya aku harus mulai menjelaskan semua hal tentang spesies kita pada kalian.” Ia berhenti dan duduk. “Kita adalah salah satu dari sekian spesies binatang yang memiliki keajaiban, atau sering disebut sihir. Selain spesies kita, ada banyak spesies binatang sihir lain di dunia ini. Aku tidak terlalu berharap kalian pernah mendengar spesies bernama Naga, Unicorn, atau Phoenix, karena aku yakin kalian belum pernah mendengar nama-nama itu.”
“Kau benar,” aku mengakui.
“Spesies-spesies itu adalah beberapa spesies binatang sihir yang paling dikenal oleh manusia. Tapi spesies-spesies itu sudah punah ribuan tahun yang lalu, tentu saja itu karena ketenaran mereka. Manusia banyak memburu mereka. Kita beruntung. Kita tak banyak diketahui manusia, jadi sampai sekarang spesies kita masih ada. Walau aku tak tahu pasti akan bertahan sampai kapan. Sekarang manusia sudah cukup mengenal kita dan mulai melakukan perburuan terhadap kita.”
“Memangnya bagaimana mereka mengambil sihir itu dari kita?” tanya Neil.
“Yang jelas mereka akan membunuh binatang itu.” Aku tiba-tiba gemetar ketakutan mendengar jawaban Rozarc. Apakah ini penjelasan mengapa ibu belum kembali? “Mereka akan mengambil salah satu bagian tubuh kita.”
“Apa yang akan mereka ambil?”
“Aku tidak tahu,” jawabnya. “Dan aku tak kepingin mencari tahu. Karena sebelum mereka akan melakukan hal itu padaku, aku akan sudah berada di rimba tempatku berasal.”
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Kalian pikir aku di sini hanya untuk menunggu mereka membunuhku?” jawabnya agak kasar. “Aku bersikap tak acuh pada mereka agar mereka menyangka aku sudah menyerah.”
“Kau ingin kabur?” tanya Neil menyimpulkan. Rozarc mengangguk sambil tersenyum bangga. “Bagaimana caranya?”
Rozarc memperlebar senyumnya. “Binatang sihir selalu mempunyai kekuatan sihir untuk melawan.”
***
“Apa kau benar-benar ingin kami ikut kabur denganmu?” tanya Neil memastikan sekali lagi.
Kemarin Rozarc telah memberitahu kami tentang niatannya untuk kabur. Dan sekarang, setelah ia yakin manusia-manusia itu telah percaya bahwa ia telah jinak, ia akan kabur dengan rencana yang hanya ia yang tahu. Sejak tadi pagi ia terus memaksa kami agar ikut.
“Apakah masih kurang jelas?” Rozarc agak kesal. “Jika kita bisa kabur, itu sama artinya kita telah membantu menyelamatkan spesies kita dari kepunahan. Tidak ada jaminan keselamatan bagi spesies kita jika manusia-manusia itu berhasil memperoleh kekuatan sihir dari kita, karena manusia tidak akan pernah puas dengan apa yang telah mereka miliki sekarang. Mereka pasti akan mencari anggota spesies kita yang lain.”
“Lalu bagaimana dengan ibu kami?” tanyaku. Sampai sekarang ibu belum juga kembali.
“Jika yang kau maksud adalah keadaannya, maka kemungkinan besar mereka telah mengambil sihirnya,” jawab Rozarc. “Tapi jika yang kau maksud adalah sihir yang telah manusia miliki dari ibu kalian, maka aku hanya bisa berkata sebaiknya kita tidak menambah sihir mereka dengan menyerahkan diri.”
Untuk sesaat kami semua terdiam. Berusaha memutuskan. Lalu Neil mulai menyetujui untuk ikut bergabung. Dan aku, berdasarkan pertimbangan bahwa aku tak mungkin bisa bertemu ibu lagi, aku menyetujui juga. “Baiklah aku ikut.”
“Lalu apa yang harus kami lakukan?” tanya Neil.
“Kalian hanya perlu mengikuti ke mana aku berlari,” jawabnya. “Juga berlari secepat yang kalian bisa.”
Aku dan Neil mengangguk setuju.
“Sekarang istirahatlah,” perintahnya. “Masih cukup lama hingga mereka mengirim jatah makan malam kita.”
Rozarc berjalan ke dekat batu. Sedangkan aku dan Neil kembali bergelung di bawah pohon awetan. Mencoba untuk tidur. Tapi aku tak bisa. Ketakutan dan kekhawatiran membuatku tetap terjaga hingga saat pelarian tiba.
“Bersiaplah.” perintah Rozarc saat suara langkah kaki manusia mulai terdengar. Kami mendekat ke dekat pintu. “Bersikaplah seperti biasa.”
Tidak bisa. Aku tidak bisa bersikap seperti biasa. Jantungku tak pernah berdetak sekencang ini saat menanti makanan datang.
Suara langkah kaki itu berhenti, lalu terdengar suara bergemerincing di pintu. Dan pintu mengayun terbuka.
“Kita perlu buat perjanjian,” kata Rozarc menatap lurus ke depan. Kami memandangnya. “Kita akan meninggalkan siapapun yang tertinggal. Tidak ada kata tunggu setelah aku bilang lari.”
Kami mengangguk.
Pintu terbuka, dan manusia itu menurunkan wajahnya ke depan pintu untuk melihat kami. “Oh…ternyata kalian sudah tak sabar menunggu makan malam ka…”
Manusia itu tak melanjutkan kata-katanya, karena kata-katanya tiba-tiba berubah menjadi jerit kesakitan saat Rozarc tiba-tiba menyemburkan benda aneh dari mulutnya. Benda itu tak padat, berwarna oranye kemerahan, dan meliuk-liuk aneh. Benda aneh itu menyapu wajah si manusia, yang langsung membuatnya menjerit kesakitan dan terhuyung beberapa langkah ke belakang. Membuat pintu rumah terbuka lebar untuk kami.
“Lari!” Rozac berteriak sambil berlari keluar.
Aku dan Neil langsung mengikutinya. Melompat dari rumah, yang ternyata berada di tempat yang agak tinggi. Aku sempat terjungkal saat pendaratan, tapi aku segera bangkit dan mengejar Rozarc dan Neil yang sudah berlari beberapa langkah di depanku.
Aku sempat mendengar manusia itu mengumpatkan kata-kata aneh seperti kata ‘api’ sebelum aku berbelok ke sebuah ruangan luas.
“Cepat!” teriak Rozarc yang berlari paling depan.
Dengan nafas yang seperti mau habis, aku terus memacu lariku mengikuti Rozarc. Kami menyeberangi ruangan-ruangan yang sangat luas, yang aku tidak tahu namanya. Mungkin rumah manusia. Beberapa tikungan lagi, dan kami berhenti secara tiba-tiba.
Kami berhenti bukan karena kami sudah tiba di tempat aman. Sebaliknya, bahaya yang menghadang kami di depan memaksa kami berhenti. Di depan kami, menjulang tinggi dua manusia dengan pakaian seragam, serba hitam. Masing-masing dari mereka membawa sesuatu. Seorang membawa sesuatu yang mirip jalinan tali temali, dan yang lain membawa benda seperti batangan kayu berbentuk aneh berwarna hitam legam. Manusia itu mengarahkan ujung berlubang batangan kayu itu pada kami.
Aku menyadari tubuhku gemetar. Melirik Neil, ia juga tak lebih baik. Aku melihat kakinya bergetar. Hanya Rozarc yang tampak tenang. Ia menggeram galak pada manusia-manusia itu.
“Mau kau bawa ke mana kucing-kucing manisku, hah?” tanya manusia dengan batangan kayu itu pada Rozarc.
Rozarc tak menjawab. Lagi pula memang percuma menjawab. Walau kami paham bahasa yang digunakan manusia, tapi manusia tidak mengetahui bahasa kami.
“Kalian lihat dinding transparan itu?” tanya Rozarc di sela-sela geramannya. “Aku akan menyemburkan apiku. Lalu larilah dan terjang dinding itu sekuat mungkin.”
Tanpa peringatan, tiba-tiba Rozarc kembali menyemburkan benda tak pada itu lagi dari mulutnya. Hanya saja kali ini jauh lebih besar daripada tadi.
“Liam!” teriak Neil, ia sudah memacu dirinya. “Lari!”
Sepersekian detik aku terlambat memahami perintahnya. Setelah sadar, baru aku berlari. Tapi itu terlamabat. Dan keterlambatan itu ternyata berakibat fatal bagiku. Semburan Rozarc ternyata hanya pengalih perhatian yang tak bertahan lama. Bahkan Rozarc pun sudah mengantisipasinya dengan berlari sebelum ia selesai menyembur. Sehingga kini ia sudah hampir sampai di dinding transparan itu. Neil berada beberapa langkah di depannya. Sedangkan aku masih berusaha melewati kaki-kaki manusia-manusia itu.
Tapi belum juga aku berhasil melewati sepasang kaki, tiba-tiba sebuah kaki menghantam tubuhku dan menyebabkan tubuhku terlempar jauh ke belakang. Aku ingin berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Rasa sakit yang luar biasa membungkam mulutku.
Saat tendangan itu, aku mendengar dua suara asing hampir bersamaan. Pertama, suara berderak yang sepertinya berasal dari tulang igaku. Sepertinya beberapa tulang igaku patah, karena aku merasakan rasa sakit di sekitar dadaku.
Yang kedua adalah suara yang sepertinya berasal dari dinding transparan yang kini sudah hancur berantakan. Rozarc dan Neil sudah berhasil kabur. Meninggalkanku sesuai perjanjian. Tapi mereka tak keluar sendiri, karena manusia berbatang kayu itu juga ikut keluar mengejar mereka.
Dan di sinilah aku sekarang. Terkapar, hanya ditemani oleh manusia yang kapanpun biasa membunuhku dengan mudah. Aku tak tahu perasaan apa yang sebenarnya aku rasakan. Takut? Tidak begitu jelas. Sedih? Sudah pasti. Senang? Entahlah. Mungkin aku mulai gila jika perasaan itu ikut muncul.
Manusia itu mulai berjalan, mendekatiku, dan berhenti tepat di depanku. Berjongkok, ia mengangkat tubuhku dengan menjepit kulit di bagian tengkukku. Ini membuat rasa sakit di igaku berlipat ganda. Aku mengerang, kali ini suara erangan itu benar-benar muncul.
Dia berdiri. Mengangkatku lebih tinggi hingga ke depan wajahnya. Ia menyeringai. Ejekan tersirat dari  senyuman itu. “Seharusnya kau tidak mencoba untuk lari.” Senyumnya makin lebar. “Nasib kalian adalah menjadi sumber kekuatan kami.”
Membuang barang yang ia bawa di tangan kirinya, ia merogoh saku bajunya. Mengeluarkan benda seperti tabung panjang berujung runcing, berisi cairan berwarna kuning. Lalu dengan keras menghujamkan benda itu ke leherku. Bila dibandingkan dengan tendangan tadi, rasa sakitnya tidak begitu parah. Tapi akibatnya lebih parah. Dalam sekejap aku langsung kehilangan kesadaran. Atau kehilangan nyawaku.
Tapi aku juga tak yakin aku benar-benar mati, karena sepertinya aku sempat mendengar suara Neil berbicara padaku. Bukan mendengar dengan telinga, tapi seperti terbersit dalam benak.
Maafkan aku Liam, katanya terdengar sedih. Aku tak bisa menyelamatkanmu.
Aku menjawabnya dalam benak juga, mengutip kata-kata Rozarc. Sebaiknya kau tidak menambah sihir mereka dengan menyerahkan diri. Teruslah berlari.
Tapi mungkin itu hanya halusinasi mahluk yang sedang sekarat saja.
***
Aku terbangun di rumahku. Rasa sakit masih mendera bagian dadaku. Aku mengenali batu, pohon, dan semua bagian dari rumah ini. Tapi aku tak mengenali pemandangan di luar. Terlalu terang dan putih. Ditambah lagi tiga manusia berpakaian serba putih yang sedang mengerumuni sesuatu yang entah apa. Hal itu semakin menambah asing pemandangan di luar.
Dari dalam kerumunan itu terdengar denting-denting logam berbenturan, suara robekan aneh, dan suara kecipak air. Manusia-manusia itu tampak sibuk. Sesekali menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Seperti ada sesuatu yang membekap mulut mereka.
Semakin lama, semakin sering terdengar benturan logam-logam itu. Mengalahkan bunyi lain. Semakin lama…dan aku tak mampu berkata-kata ketika mengetahui apa yang manusia-manusia itu lakukan.
“Ibu!” teriakku dalam buraian air mata yang tak sanggup kutahan begitu manusia-manusia itu menyingkir dari kerumunannya. Aku melihat ibuku tergeletak tak berdaya dengan dada terbelah. Kulit putihnya terkotori oleh merahnya darah.
Salah seorang manusia menghampiriku. Memberiku senyum kemenangan yang memuakkan.
“Kau tak perlu menangisinya,” kata manusia itu. “Setelah kau dewasa, kami akan segera mengantarkanmu menemuinya,” tambahnya dengan nada lembut, tapi terdengar memuakkan di telingaku. “Lihat ini.” Ia menunjukkan sesuatu di tangannya. Benda berlumuran darah yang tampak berdenyut-denyut. “Dengan jantung ibumu ini, kami akan mengembalikan kejayaan dunia sihir.” Ia tersenyum licik. “Membuktikan pada mereka yang terlalu mendewakan teknologi, bahwa sihir masih ada.”

~The End~

Note:Top 5 of CerBul KasFan Mar'12





Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k