Langsung ke konten utama

Bentang Pustaka



Tentu kenal dong dengan novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata? Tentu tau juga kan penerbit yang menerbitkan novel luar biasa itu? Yup benar sekali, BENTANG PUSTAKA. Ingin novelmu diterbitkan Bentang. Baca dulu ketentuannya di bawah ini:


1.      Bagaimana cara mengirimkan naskah ke Bentang Pustaka?
a.       Pengiriman naskah bisa dalam bentuk hard copy (via pos) atau soft copy (via email).
b.      Naskah dikirim via pos ke alamat :
PT. BENTANG PUSTAKA
JL. Pandega Padma No.19
Yogyakarta 55284
Telp. 0274-517373
c.       Atau via E-mail (dalam bentuk lampiran) ke alamat:
bentangpustaka@yahoo.com

2.      Apa kriteria naskah yang diterima Bentang Pustaka?
a.       fiksi/ non-fiksi dengan tema menarik, up to date, dan unik
b.      menceritakan kehidupan masa kini
c.       tidak mengandung unsur pornografi
d.      tidak berpotensi  menimbulkan/memicu konflik SARA

3.      Bagaimana format pengiriman naskah ke Bentang Pustaka?
Naskah  diketik di kertas kuarto. Panjang naskah minimal 200 halaman spasi dua.  Naskah dikirimkan beserta biografi lengkap penulis, sinopsis, dan  nilai lebih karya.
  
4.      Berapa lama penilaian karya untuk memberikan  pemberian keputusan?
Idealnya  keputusan diberikan maksimal 3 bulan. Tetapi, waktu tersebut tidak  dapat menjamin karena begitu banyaknya naskah yang masuk  ke redaksi  Bentang Pustaka baik melalui e-mail maupun pos.

5.      Bagaimana cara mengetahui apakah naskah diterima atau tidak?
Penulis  dapat menghubungi pihak Bentang Pustata baik melalui e-mail atau  telepon dengan menyebutkan judul naskah dan kapan naskah dikirim.

6.      Bagaimana nasib naskah yang tidak diterima oleh Bentang Pustaka?
Apabila naskah berbentuk hardcopy, naskah akan dikembalikan ke alamat penulis beserta surat resmi dari Bentang Pustaka. Apabila naskah dikirim melalui e-mail, keputusan akan dikirim melalui e-mail.

Note: di-copy dari FanPage Facebook Pembaca Buku Bentang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k