Langsung ke konten utama

Kroma

KROMA
by Dwipatra



Ilustrasi: Dwipatra



Sebuah ketukan di kaleng tempatku tinggal memaksaku untuk bangun dari kubangan Sari Warna—oh manusia sering menyebutnya cat. Tampaknya aku juga akan memakai istilah itu untuk alasan kepraktisan—yang menyenangkan ini. Sebenarnya aku malas untuk keluar dari kaleng ini, tapi tak ada pilihan lain. Jika aku tak segera keluar, ketukan demi ketukan akan terus terdengar, bahkan intensitasnya akan semakin sering. Dan itu sangat mengganggu.
Akhirnya, sedikit kuangkat tutup kaleng. Mengintip, satu-satunya manusia yang bisa melihat bangsaku tengah menatap ke arahku: Pictor, seorang pelukis amatiran yang kadang menyebalkan. Sampai sekarang aku belum tahu ilmu apa yang dimiliki pria berambut berantakan itu sehingga ia memiliki keistimewaan dapat melihat kami.
Kami adalah bangsa Kroma. Sebuah makhluk yang sering tinggal di sanggar-sanggar lukis manusia. Kami adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan warna dari cat, sehingga campuran dari setiap warnanya akan pas. Aku Rufus, sang kroma merah. Selain diriku, ada empat kroma lagi di sanggar ini. Albi si kroma putih, Ater si kroma hitam, Flavis si kroma kuning, dan Caerula si Kroma Biru.
“Ayolah, keluarkan tubuh bulatmu itu,” ujar Pictor agak berbisik. Satu dari sekian hal yang tak kusukai dari pria itu adalah caranya menyebut kami: Makhluk Bulat. Memang sih tubuh kami membulat agak mengerucut. Pictor pernah membandingkan kami dengan buah Alpukat. Untung kami punya tangan dan kaki, yang walau bentuknya sangat sederhana, tapi cukup untuk membedakan tubuh kami dengan buah itu. Oke aku akui panggilan itu memang agak pas dengan kami, tapi tak perlulah sampai memperjelas seperti itu. Cukup panggil kami dengan kroma atau dengan nama kami. Itu jauh lebih menyenangkan. “Ada hal yang ingin aku tunjukkan padamu.”
Aku memperlebar bukaan tutup kaleng, melirik ke sana-kemari. Tak ada yang aneh. Suasana sanggar masih sama. Easel, kanvas-kanvas kosong, tube-tube cat, kaleng, palet, kuas-kuas berbagai ukuran, lukisan setengah jadi, lukisan-lukisan di dinding, tak ada yang berubah.
“Ada apa?” tanyaku agak ketus.
“Keluarlah,” pintanya lagi. Ia membuka telapak tangannya di dekat kaleng.
Akhirnya aku bangkit dan memanjat sisi kaleng, sebelum akhirnya aku mendarat di tangan Pictor. Tetesan-tetesan cat warna merah dari tubuhku, sisa dari berkubang di dalam kaleng mengotori tangannya, tapi tampaknya ia tak mempedulikannya. Setelah ia membantuku duduk di telapak tangannya, ia hendak membawaku pergi keluar sanggar.
“Tunggu,” ujarku tiba-tiba. “Kau hanya mengajakku?”
Ia mengangguk. “Memang kau pikir ini acara keluarga?”
“Memangnya ada apa?” tanyaku sangat penasaran. “Dan kenapa aku?”
“Karena aku percaya padamu,” jawabnya sangat mengejutkanku. Satu lagi keanehan Pictor. Betapa pun aku selalu menunjukkan rasa tidak sukaku padanya, tapi ia selalu menanggapi rasa benciku dengan senyum lebar. Pria bodoh. “Dan karena kaulah Kroma yang paling dekat dengan Albi.”
“Albi?” tanyaku kembali terkejut. “Kenapa dengannya?”
“Akan aku beritahukan sebentar lagi,” jawabnya. “Karena itu diamlah.”
“Oke. Aku akan diam sampai kau memintaku bicara.”
Dan aku sangat tepat janji. Sampai di tempat yang dituju Pictor, tak ada seperempat patah kata pun keluar dari mulutku.
“Inilah yang ingin aku tunjukkan padamu,” ujarnya padaku.
Aku masih tak menjawab. Ia belum memintaku bicara. Aku tepat janji.
“Oke, bicaralah,” ujarnya kesal setelah cukup lama kami saling diam.
“Kau membawaku ke gudang?” tanyaku tak yakin apa yang ingin ia tunjukkan padaku. Lagi pula apa hubungannya gudang dengan Albi. Apakah Albi meminta pada Pictor untuk menjadikan gudang ini menjadi rumah barunya? Tidak mungkin. Aku tahu Albi memang manja, tapi tak mungkin ia sampai meminta hal seperti itu. Memangnya apa asyiknya tinggal diantara tumpukan lukisan using dan rusak ini?
Ia berjongkok, memungut sebuah lukisan yang coreng moreng oleh cat putih. “Aku khawatir ada yang tidak beres dengan Albi.”
“Apa maksudmu?” tanyaku belum benar-benar bisa menebak apa maksudnya.
“Pagi tadi, aku menemukan semua lukisan di sanggar dalam keadaan seperti ini,” ujarnya. “Semuanya tercoreng oleh cat putih. Tapi semuanya sudah aku ganti dengan lukisan lain dari koleksiku.”
Aku tahu apa maksudnya. “Apa kau sedang tidak mengadu domba kami? Tak mungkin Albi melakukan hal itu.”
“Rufus, untuk apa aku mengadu domba kalian,” sangkalnya. “Selama ini kalian sudah sangat membantuku. Jadi tak ada alasan untukku sampai membenci kalian. Justru aku ingin sebaliknya. Aku ingin semuanya berjalan seperti biasa, seperti tak pernah ada masalah. Untuk itulah aku butuh bantuanmu.”
“Tepatnya?” tanyaku belum mau luluh dengan kata-kata manisnya.
“Aku ingin kau mencari Albi,” jawabnya.
“Mencari?” Kali ini keterkejutanku berada di tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya. “Jangan bilang kalau Albi menghilang.”
“Sayangnya seperti itu,” jawabnya tak senang. “Aku telah mengecek kalengnya, tapi ia tak ada di sana.”
“Baiklah,” jawabku menyetujui. Bagaimanapun aku harus mencari Albi. “Dari mana aku harus mulai mencari?”
“Aku sudah mengikuti jejak cat putihnya sampai gang utara,” katanya memberitahu. “Jejak itu menghilang di sana.”
“Bawa aku ke sana,” perintahku. “Tapi sebelumnya aku ingin melihat kaleng Albi.”
“Tak masalah,” jawabnya. Ia bangkit. Sedikit menyembunyikanku, ia membawaku untuk melihat kaleng Albi. Dan ia benar, Albi memang tak ada.
“Satu lagi,” kataku saat ia hendak pergi. “Bekali aku dengan cat dari kubangan di kaleng Albi.”
“Untuk apa?”
“Lakukan saja,” perintahku.
“Baiklah,” jawabnya pasrah. Kemudian ia memasukkan cairan putih itu ke dalam tabung kecil, yang cukup kecil untuk aku bawa.
Setelah urusan perbekalan beres, ia membawaku ke gang yang jaraknya tak lebih dari 100 meter ke arah utara dari sanggar. Sepanjang perjalanan menuju gang, aku melihat jejak-jejak bulat kecil berwarna putih di trotoar. Aku sangat yakin itu jejak kaki Albi.
“Turunkan aku,” pintaku setelah mencapai gang yang dimaksud. Di sana jejak kaki Albi sudah tak ada.
Ia menurunkanku.
“Rufus,” panggilnya saat aku hendak melangkah. Aku menoleh padanya. “Tinggalkan jejak untuk kuikuti. Aku akan menyusulmu tak lama lagi setelah aku mengurus saudaramu yang lain.”
“Baiklah,” jawabku berbalik. “Sebisa mungkin, jangan sampai kroma lain tahu masalah ini.”
***
Setiap kroma sebenarnya memiliki kemampuan khusus, tapi masing-masing dari kami tak pernah tahu kemampuan yang lain, kecuali kemampuan Albi. Aku telah mengetahui kemampuannya. Ia bisa menyerap kemapuan kroma lain. Kau bisa menganggapnya senjata rahasia.
Dan kelebihanku adalah mampu mengetahui di mana kroma lain berada dengan menyerap cat mereka. Tapi kemampuan ini berresiko. Cat itu berdampak seperti racun yang melemahkan di setiap tetesnya. Jika aku terlalu banyak menyerap cat kroma lain, maka aku bisa saja mati.
Untuk itu, aku sangat hati-hati dalam menggunakan kemampuan ini. Aku sudah menyerap cat dari tabung bekalku sebanyak enam kali, dan sudah berjalan entah berapa ratus meter saat keberadaan Albi tiba-tiba terdeteksi oleh diriku. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana rasanya, tapi yang jelas seperti ada yang menarikku untuk mendekat.
Kuikuti dorongan itu, dan akhirnya aku berdiri di sebuah ruangan agak gelap yang tak menyenangkan. Barang-barang tak berguna berserakan di mana-mana. Ada keinginan untuk pergi dari tempat ini, tapi keinginan untuk menemukan Albi lebih besar. Sehingga dengan keyakinan yang tak penuh, aku terus melangkah.
“Albi?” panggilku pelan sambil terus berjalan. “Keluarlah.” Tak ada jawaban. “Ini aku, Rufus. Aku tahu kau di sini. Keluarlah.”
Aku terus mendekati sumber dorongan yang membawaku ke sini, yang tampaknya muncul dari kaleng berkarat di sudut ruangan. “Albi ayolah. Kau bisa membicarakan masalah ini denganku.”
“Tidak!” teriak sebuah suara tiba-tiba. Itu suara Albi. “Pergilah!”
“Albi, pulanglah,” bujukku. Aku semakin mempercepat jalanku ke kaleng itu. “Aku, Pictor, dan saudara kita yang lain ingin kau pulang.”
“Aku tak bisa,” teriaknya lagi, nada suaranya terdengar bergetar. “Aku tak bisa pulang. Kalian pasti akan membenciku. Aku tak lagi dibutuhkan.”
“Apa maksudmu?” tanyaku, aku khawatir masalahnya di sini lebih dari sekedar kabur dari rumah. “Kami selalu membutuhkanmu.”
Ia terdiam.
“Apa kau tak lagi mempercayaiku?” tanyaku dengan nada sedikit lebih rendah. Yah, aku akui ada sedikit sandiwara di sini. Menunggu, masih tak ada jawaban. “Baiklah, kalau memang kau sudah tak percaya lagi padaku. Aku biarkan kau tetap di sini.” Kuberi jeda dramatis di sini. “Selamat tinggal Albi. Aku akan sangat merindukan Albi yang dulu.”
Aku berbalik, berjalan lambat. Kuhentakkan kakiku cukup keras untuk di dengarnya, berharap ia akan muncul tiba-tiba dan memanggilku. Ah, tapi tampaknya ini hanya sebuah harapan. Setelah puluhan langkah, ia tetap tak memanggilku. Semakin kuperlambat langkahku, berharap ia hanya sedang meyakinkan diri untuk memanggilku. Ayolah Albi.
“Rufus,” panggilnya tiba-tiba. Suara Albi terdengar lemah dan putus asa. Tapi selemah apa pun suara itu, dalam ruangan sesepi ini, juga dalam keadaanku yang siap-siaga untuk menangkap suaranya, suara itu membuatku terlonjak.
Seketika itu aku berbalik, dan melihat Albi tengah mengintip dari kalengnya. Tunggu! Apakah ini hanya karena pencahayaannya yang kurang atau apa, tapi aku merasa Albi sedikit… menggelap.
“Albi,” panggilku sambil berlari menghampirinya.
“Rufus, berhenti,” pintanya masih dengan nada selemah tadi. Aku berhenti seketika. “Ada hal yang ingin aku perlihatkan kepadamu.”
“Tentang?” tanyaku khawatir.
“Diriku.” Ia memanjat kalengnya dengan cukup cekatan, lebih cekatan dari yang biasa aku lihat. Melompat, ia mendarat di lantai dengan kelincahan yang tampak bukan dirinya, lalu ia membentangkan tangan. “Inilah yang ingin aku beritahukan padamu. Aku bukan diriku lagi.”
Aku hampir saja berteriak melihat penampilan Albi saat ini. Ternyata apa yang aku lihat tadi bukanlah tipuan cahaya, tapi benar. Tubuhnya kini agak gelap, keabu-abuan. “Apa yang terjadi padamu?”
“Aku menyerap kekuatan Ater,” jawabnya tiba-tiba tertunduk lesu. “Dan….”
Tiba-tiba sesuatu menghantam tubuhnya, membuatnya terpental dan membentur kaleng di belakangnya.
“Ternyata kau memang tak bisa menyimpan rahasia,” kata sebuah suara yang sudah sangat aku kenal. Menoleh, aku melihat Ater tengah menunjukkan tangannya ke arah Albi. “Padahal sedikit lagi.”
“Ater?” panggilku sedikit tak yakin itu dirinya. Bukankah ia di sanggar? Lalu sejak kapan ia berada di sini.
“Oh, Rufus,” sapanya menyebalkan. “Ternyata kau cerdik juga.”
“Apa sebenarnya yang tengah kau rencanakan?” teriakku pada Ater. Aku berlari menghampiri Albi yang sudah mulai bangun. Membantunya berdiri kembali.
“Hanya membuang pesaing terkuat,” jawab Ater santai, tapi bukan dari tempatnya berdiri saat ini. Suaranya seperti berasal dari sisi lain tempatnya berada. Aku menoleh ke sumber suara itu, dan menemukan Ater yang lain tengah menyeringai licik padaku.
“Kau?” aku tak percaya ada dua Ater di sini. “Bagaimana…?”
“Tak perlu seterkejut itu,” jawabnya memotong pertanyaanku. “Akui saja kalau kemampuan bayanganku memang luar biasa.”
Kemampuan? Jadi ini kemampuan Ater. Membuat bayangan dirinya. Aku memandang ke sekeliling ruangan, mencari apakah ada Ater-Ater yang lain. Sedikt lega, aku tak menemukan yang lain. Dua saja mungkin akan merepotkan.
Aku dan Albi berhasil berdiri. Tapi seketika itu kami langsung ditodong dengan tangan yang siap menyemburkan cat oleh Ater-Ater itu.
“Tunggu,” cegahku sebelum mereka benar-benar menyemburkan senjatanya. Berharap ada sedikit waktu untuk menyusun rencana. “Setidaknya maukah kau memberitahuku apa maksudmu dengan menyingkirkan saingan terberat?”
“Perlukah?” tanyanya retoris.
“Sangat,” jawabku, masih kebingungan mencari cara keluar dari masalah ini.
“Oke, mungkin tidak penting juga bagimu,” ujarnya memulai. “Tapi hanya ini yang bisa aku katakan padamu. Di mana pun, cahaya selalu bisa mengalahkan gelap. Cukup dapat menyimpulkan?”
Sangat. Sangat jelas. Ater ingin menyingkirkan Albi. Itulah kesimpulannya, tapi kenapa? Bukankah selama ini Albi tak pernah mencoba menyingkirkan Ater, atau mencoba melakukan hal semacam itu?
“Aku menuntut penjelasan darimu,” bisikku pada Albi yang berdiri di sampingku. “Tentu saja jika kita berhasil keluar dari masalah ini.
“Aku benar-benar menyesal,” jawab Albi berbisik. “Maafkan aku.”
“Tak perlu. Yang penting untuk saat ini, apakah kau cukup mampu untuk melawan?” Ia mengangguk. “Baiklah, kalau begitu kau lawan Ater yang kedua.”
Kami beralih posisi saling memunggungi. Aku menghadap Ater pertama, dan Albi menghadap Ater kedua.
“Oh, jadi kalian yakin mampu melawanku, ya?” ujar Ater sok unggul.
“Bukan begitu,” jawabku. “Sebenarnya aku berpikir tak perlu seperti ini. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Bagaimanapun kita sudah lama hidup bersama. Apa kau tak pernah menganggap kami sebagai saudara?”
“Saudara?” Cengiran menyebalkan muncul di wajahnya. “Lupakah kau bahwa bangsa kita tak pernah memiliki konsep itu? Itu konsep para manusia. Jangan-jangan tak lama lagi kau akan mendeklarasikan diri telah berjenis kelamin? Sadarlah, kau sudah terlalu teracuni oleh pikiran mereka.”
“Baiklah kalau memang ini maumu,” jawabku sambil memasang kuda-kuda. Aku menyadari Albi juga melakukan hal yang sama denganku.
Tanpa peringatan, tiba-tiba Albi menyemburkan cat ke Ater lawannya. Seketika itu juga, seakan menjadi tanda memulai serangan, masing-masing dari kami menyemburkan senjata kami dari tangan. Seranganku dengan cekatan dihindari Ater, tapi dengan sial aku tertembak. Aku terpental, dan cairan kental berwarna hitam melumuri ‘pinggang’. Cairan hitam itu dengan cepat meresap, membuat warna tubuhku berubah sedikit menua, juga sedikit melemahkan tubuhku yang memang sudah melemah sedari tadi.
Aku bangkit secekatan mungkin, mencari perlindungan, dan mulai menyerang. Serangan demi serang kulancarkan. Serangan pertama bertumbukan dengan serangannya. Serangan kedua mampu ia hindari dengan cukup mudah, dan pada serangan ketiga semburanku telak mengenainya. Sementara itu diriku aman di balik sebuah balok kayu.
Melirik ke Albi, aku langsung dibuat terkejut oleh dua Albi yang tengah menyerang Ater lawannya. Bagaimana Albi bisa melakukan itu? Oh, iya. Tadi, Albi mengatakan padaku bahwa ia telah menyerap kemampuan Ater. Pasti ini salah satu efeknya.
Harus aku akui kalau pertarungan mereka jelas-jelas jauh lebih seru. Dua Albi dan satu Ater dengan sama gesitnya saling menyerang. Kilasan-kilasan tembakan cat putih dan hitam silih berganti, berseliweran di udara hanya untuk pecah di dinding atau lantai pada akhirnya. Sebenarnya masih banyak hal menarik lain yang bisa aku gambarkan pada kalian, tapi maaf. Aku di sini bukan sekedar pengamat, tapi aku juga punya lawan yang harus aku taklukan.
Kembali mengintip ke Ater lawanku, aku langsung dibuat terkejut dan kebingungan karena ia sudah tak nampak lagi di tempatnya semula. Mataku nyalang mencari ke sepenjuru ruangan, yang sayangnya banyak area gelapnya. Sehingga memungkinkan Ater untuk bersembunyi dengan sempurna.
Kupertajam penglihatanku untuk menyibak area gelap itu, tapi mataku tak cukup mampu untuk menguak keberadaan bentuk apa pun di sana. Akhirnya, hanya ada satu cara yang bisa kugunakan untuk mengetahui di mana Ater berada.
Di dekatku, kutemukan kubangan cat hitam hasil tembakan tak tepat sasaran Ater. Kuserap sedikit dengan ujung tanganku. Seketika itu, keletihan langsung menderaku. Tapi di balik rasa lelah itu,  kusadari adanya suatu dorongan yang memaksaku seperti yang aku rasakan saat mencari Albi tadi. Dorongan itu datang dari dua arah. Pertama dari belakangku. Dorongan ini pasti berasal dari Ater yang tengah dilawan oleh Albi. Sedangkan dorongan yang lain datang dari tempat gelap tak jauh dari tempat Ater tadi berada.
Aku tak buru-buru menyerang. Aku masih ingin memastikan di mana tepatnya ia berada. Sekali lagi, kuserap cairan itu dan aku langsung mengetahui ke mana aku harus melancarkan serangan. Kupersiapkan seranganku. Kali ini bukan serangan biasa, tapi serangan bertubi-tubi yang mungkin akan membuatku terlalu kelelahan hanya untuk berdiri. Tapi kupikir akan sangat sulit untuk melakukan serangan itu dari balik perlindungan, sehingga aku harus maju menyerangnya.
Secara tiba-tiba aku muncul dari perlindunganku, dan mulai menyerang.
Serangan pertama, kedua, ketiga… aku harap seranganku benar-benar tepat mengenainya. Erangan tertahan terdengar, dan aku yakin Ater tertembak seranganku. Serangan keempat, kelima, keenam… dua tembakan balasan menghantamku. Membuatku sedikit limbung, tapi aku terus bertahan. Serangan ketujuh, kedelapan, kesembilan… aku sudah sangat kelelahan, aku seperti tak lagi menguasai tubuhku sepenuhnya. Serangan kesepuluh… dua tembakan lagi menghantamku. Serangan kesebelas… aku seperti melihat sekelebat warna kuning di gegelapan, mengiringi tembakanku. Serangan keduabelas, kupikir aku berhalusinasi. Aku seperti mendengar suara Caerula, Flavis, juga Pictor memanggilku. Dan… aku tak yakin serangan ketigabelas berhasil kulancarkan. Aku benar-benar tak tahu, karena sebelum aku sempat menyadarinya aku sudah jatuh tak sadarkan diri.
***
Kupikir aku masih berhalusinasi saat suara saudara-saudaraku memasuki pendengaranku. Tapi begitu aku membuka mata, aku sadar itu benar-benar mereka.
“Albi?” panggilku lemah. Kulihat Albi sudah seputih dan sebersih sebelumnya, entah apa yang terjadi padanya. “Apa kau tak apa-apa?”
“Oh, hai Rufus,” sapa Caerula padaku. “Bukannya pertanyaan itu seharusnya keluar dari mulut kami? Di sini, kaulah yang terluka.”
Menggerakkan semua angota tubuh, aku merasakan tubuhku. Tampaknya tak terlalu buruk. “Aku merasa cukup segar,” jawabku sembari bangkit.
“Baguslah,” jawab Flavis yang entah tengah melakukan apa terhadap Ater yang kini berbaring tak sadarkan diri. “Untungnya kami datang tepat waktu.”
“Kami?”
“Ya, kami,” jawab Caerula. “Aku, Flavis, dan Pictor.”
“Jadi itu benar-benar kalian?” mereka mengangguk. “Emm… ngomong-ngomong, apa yang sedang kau lakukan, Flavis?”
“Aku tengah menyerap warna pencemar dari tubuhnya,” jawabnya. “Untuk menundukkannya, kami terpaksa menyerangnya bersama-sama. Jadi, yah, dia menyerap warna kita semua.”
“Jadi…?”
“Ya,” jawab Albi memotong pertanyaanku. “Inilah kemampuan Flavis. Ia bisa mengeluarkan pencemar dari tubuh kita.”
Aku menatap Albi, dan tiba-tiba teringat sesuatu. “Kau berhutang penjelasan padaku,” tagihku padanya. “Juga pada yang lain.”
Albi tak langsung menjawab. Seperti ada rasa sedih yang sangat besar yang menghambatnya berkata-kata. Tapi akhirnya ia bisa memulai penjelasannya. “Rasa iri pada kalian benar-benar membuatku gelap mata saat itu.”
Kami semua memandangnya dengan tatapan bingung. Lalu aku bertanya, “Iri? Iri kenapa?”
Ia menunjuk sebuah lukisan di dinding. Sebuah lukisan sebuah apel merah yang berlatarbelakang warna putih polos. “Itulah yang membuatku iri pada kalian,” katanya melanjutkan. “Kalian lihat. Di lukisan itu warnaku memang yang paling dominan, tapi bukan warnaku yang menjadi objek pencuri perhatian di dalamnya. Melainkan dirimu, Rufus.” Ia berhenti memandangku. “Lihat lukisan pantai itu. Di sana, Caerulalah bintangnya. Sedangkan aku hanya menjadi saputan awan tak penting, juga busa ombak yang tak pernah diperhatikan. Juga di lukisan lain, aku tak penah nampak penting.”
Ia berhenti sesaat. Kulihat matanya berkaca-kaca. “Kemudian pada saat itu Ater mendatangiku, menawarkan bantuan padaku dan memberiku ide untuk menghancurkan sanggar ini,” lanjutnya. “Ia juga meminjamkan kemapuannya padaku dengan sukarela. Dengan nafsu yang tengah membara, aku menerima sarannya tanpa berpikir. Dan terjadilah itu semua. Aku sungguh menyesal telah melakukan hal itu.”
Aku merangkulnya. Merasa iba dengannya, “Kau tahu. Tanpamu, lukisan-lukisan itu tak akan terlihat indah. Saat kita bekerja bersama-sama, kita akan menghasilkan sesuatu yang indah.”
“Oke, Albi,” seru Flavis tiba-tiba. Sepertinya ia dengan sengaja memecah kecanggungan ini. “Sekarang giliranmu.”
“Giliran apa?” tanyaku.
“Menetralkan sedikit kepekatan kemapuan Ater agar tak terlalu bebahaya,” jawab Albi sambil berjalan mendekati Ater yang masih belum sadar.
Jongkok, ia langsung meneteskan beberapa tetes cat putih pada Ater. Seketika itu, pekatnya hitam pada tubuh Ater sedikit memudar.
“Jangan terlalu banyak,” saran Caerula. “Jangan sampai kepribadiannya berubah. Itu akan mempengaruhi keseimbangan warna dunia.”
“Aku tahu,” jawab Albi.
Aku memperhatikan Albi dengan seksama. Diam-diam aku kagum padanya. Juga pada yang lain.
“Hai teman-teman,” seru Pictor. Aku langsung berbalik memandangnya yang kini tengah berdiri memandangi kami. Di tangannya terdapat sebuah barang yang dari bentuknya bisa aku tebak: lukisan, tentu saja. Itu kan pekerjaannya. Lukisan itu tertutup oleh selembar kain putih bersih. “Aku punya hadiah untuk kalian.”
“Hadiah?” ujar kami semua terkejut, hampir bersamaan. Dengan antusias, kami mendekati Pictor. Albi yang belum selesai dengan pekerjaannya, sampai-sampai menunda pekerjaannya hanya untuk bangkit mendekati Pictor.
“Kalian siap?” tanya Pictor menggoda.
“Ya,” jawab kami dengan antusiasme yang belum surut.
Setelah tersenyum jahil, Pictor menyibak kain penutupnya. Kain tersibak menampilkan sebuah lukisan sederhana yang menampilkan kami berlima, para kroma dengan pose yang sangat ‘kami’. Dalam lukisan itu, kami berlima berjajar dengan pose kami masing-masing. Aku berdiri membelakangi Albi yang tengah ceria memandang Caerula. Dengan wajah bosan, Caerula mengabaikan Albi mau pun Flavis yang tengah heboh mengusilinya. Sementara itu Ater berdiri membelakangi yang lain. Persis seperti diriku. Hanya saja ia berada di sisi yang lain dariku.
Aku tak bisa tak mengagumi lukisan itu. Bukan karena keindahannya, tapi karena ketepatan waktunya. Lukisan itu seperti menjawab kesedihan Albi selama ini.
Aku mendekati Albi yang masih terkagum-kagum pada lukisan itu, dan berbisik ceria padanya. “Sekarang kita semualah bintangnya.”

~Selesai~



Note: Cerita ini diikutsertakan dalam CerBul KasFan Agustus 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k