Langsung ke konten utama

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS
by Dwipatra

“Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?”

Patung Logam Boreas dan Oreithyia

Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah café, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

Setelah tersesat hampir lima kali, akhirnya aku menemukan patung dewi yang kucari, lengkap dengan orang yang menungguku. Seorang pria paruh baya bertubuh gempal dengan rambut keriting sewarna tembaga. Pria itu bernama Ello. Ia langsung tersenyum begitu menyadari kedatanganku.
Yia sou, Bastien, kau selalu saja terlambat,” ujar Ello menegurku yang masih mencoba mengatur napas yang berantakan. Menjelajahi hampir seluruh museum ternyata cukup melelahkan.
“Seandainya kau memilih tempat yang lebih umum macam café-café di Monastiraki Square, mungkin aku tak akan seterlambat ini,” jawabku kesal.
Ello hanya tersenyum menanggapi omelanku. Kami terdiam sesaat, sepertinya ia sengaja membiarkanku memperbaiki nada napasku.
“Ada apa?” tanyaku akhirnya. “Jangan bilang kau hanya ingin mengatakan hal-hal konyol macam ‘lama tak berjumpa, aku merindukanmu’.” Aku tahu Ello bisa saja mengatakan hal konyol macam itu.
“Kata-kata itu sempat terpikir juga memang.” Tawanya pecah, seakan jawaban itu adalah sebuah lelucon. “Tapi, tidak.” Tawanya lenyap berganti wajah serius. “Aku punya pekerjaan untukmu.”
“Aku kembali ke Athena hanya untuk berlibur. Dua bulan lagi aku akan kembali ke Paris.”
“Itu sudah lebih dari cukup.”
“Baiklah, kalau begitu, kapan kita akan tampil?” Aku tak perlu bertanya pekerjaan macam apa yang akan ditawarkan Ello. Aku sangat yakin pria paruh baya ini tak akan pernah sedikit pun berpaling dari profesi kebanggaanya, sutradara teater. Dan, aku adalah mantan pemainnya, yang dulu resign dari klub karena suatu masalah.
“Akhir bulan ini,” jawabnya. Ia terdiam sesaat, memandang penuh tanya padaku. “Apa kau tak ingin tahu lakon apa yang akan kita pentaskan nanti?”
Aku bisa sedikit menebak dari pilihan tempat temu yang ia pilih. Ia selalu seperti itu, menyamakan tema setiap kegiatan dengan apa yang akan kami pentaskan nanti. Ia selalu berdalih agar kita bisa benar-benar merasakan detail dari apa yang kita perankan.
“Sesuatu yang berhubungan dengan dewa-dewi Yunani?” tebakku.
“Hampir, tapi itu masih terlalu umum.”
“Kisah cinta Hades dan Persephone?” tebakku lagi, lebih asal-asalan. Ia menggeleng. Kusebut beberapa kisah terkenal lagi seperti kisah Pyramus dan Thisbe hingga kisah perang-perang kolosal semacam perang Troya, tapi ia terus menggeleng. “Katakan saja. Aku menyerah,” ujarku akhirnya.
“Kita akan mementaskan kisah Boreas dan Oreithyia,” jawabnya bangga. Aku mengumpat dalam hati.
“Kenapa kisah itu?” tanyaku penasaran. Kisah tentang dewa angin utara dan istrinya itu memang begitu terkenal beberapa waktu lampau di Athena, tapi sekarang orang-orang mulai meninggalkan kisah itu. Bahkan, kini Athena mulai kehilangan gaung kisah besar itu.
“Aku ingin menghidupkan kembali kisah itu,” jawab Ello. “Mengingatkan orang-orang akan keindahan kisah dewa pembawa musim dingin itu.”
Aku hanya mampu terdiam. Tak ingin merusak semangat Ello yang kini tengah berkobar.
“Dan, Bastien, kau yang akan memerankan Boreas,” ujarnya tanpa basa-basi.
Sudah kuduga. “Lalu siapa yang akan memerankan Oreithyia?”
Sedikit bagian dariku berharap wanita beruntung itu adalah Calista, seseorang yang dulu menjadi alasanku meninggalkan klub teater ini. Aku merindukan saat-saat kami beradu kemahiran bersandiwara di atas panggung. Lebih dari itu, aku merindukan dirinya. Semua bagian dari dirinya.
“Dione,” jawab Ello memupuskan harapanku. Entah siapa Dione. Nama itu baru pertama kali kudengar. Dia pastilah bintang baru Ello. “Aku yakin kau akan cocok dengannya.”
“Ke mana Calista?” tanyaku tiba-tiba.
“Dia pergi tak lama setelah kau pergi,” jawab Ello terdengar sedih. “Tanpa kabar apa pun.”
***
“Kau bercanda?”
Aku memelototi Ello. Ia tadi bilang akan memperkenalkanku dengan lawan mainku, Dione. Tapi, ia malah mengajakku menemui seorang wanita yang sudah sangat kukenal, yang ia janjikan ketidakhadirannya.
Wanita berambut hitam pendek bergelombang, yang kini tengah sibuk menghapal dialog itu tak salah lagi adalah Calista. Walau berpenampilan sedikit berbeda, seperti potongan rambut pendeknya yang biasa dibiarkan memanjang, tapi aku tak mungkin salah mengenalinya. Apakah Ello sudah sedemikian rabun hingga mengira penyamaran seperti itu, jika itu bisa disebut penyamaran, bisa membuatnya tertipu?
“Dione,” panggil Ello tak mempedulikan protesku.
“Oh hai Ello.” Dione, yang masih aku yakini sebagai Calista, berbalik. Sedikit terkejut.
“Ingat dengan orang yang ingin kukenalkan padamu, sang Boreas?”
“Ya, tentu saja,” jawab Dione ringan. Ia menjulurkan tangan padaku. “Aku Dione. Aku yang akan memerankan Oreithyia.”
Sial! Perkenalan konyol macam apa ini? Kenapa ia berpura-pura sampai sejauh ini, seakan sama sekali tak mengenalku. Apakah ini bentuk kepura-puraannya? Seandainya ia benar-benar tengah berpura-pura, ia pastilah tengah mengerahkan seluruh kemampuan aktingnya. Atau, mungkinkah telah terjadi sesuatu dengannya? Hilang ingatan karena kecelakaan, mungkin? Seperti dalam drama TV tak masuk akal yang sering kutonton saat tak ada hal menarik untuk dilakukan.
“Bastien.” Ello berbisik sambil menyenggol pundakku pelan, menyadarkanku bahwa aku masih mematung menatap Dione.
Buru-buru aku mengulurkan tangan dan menjabat tangannya. “Bastien.”
Ia tersenyum, mungkin menertawakan diriku. Senyum itu… Ah, bagaimana aku bisa menganggap dirinya sebagai orang lain. Caranya tersenyum bahkan sama persis dengan senyum Calista. Salah satu sudut bibirnya terangkat sedikit lebih tinggi dari yang lain. Senyum manis yang tak pernah bisa kuhapus dari ingatan. “Ini pentas perdanaku sebagai pemeran utama. Kuharap aku tak terlalu mengecewakanmu.”
Ah, sial! Lagi-lagi kebohongannya terlihat begitu alami.
Berbagai pertanyaan dan ungkapan kekesalan berkecamuk di benakku, tapi tak ada satu pun yang berhasil keluar. Alih-alih umpatan atau pertanyaan, aku malah mengatakan hal konyol yang keluar begitu saja dari mulutku. “Kuharap aku tak membuatmu terjatuh di atas panggung.”
***
Calista bukanlah cinta pertamaku. Pertemuan kami bahkan tidak ada istimewanya sama sekali. Aku dan dia dipertemukan oleh Ello yang tengah mencari bibit-bibit baru untuk teaternya. Seperti ungkapan lama, cintaku pada Calista tumbuh seiring seringnya kami bertemu, saling berbagi pengalaman pentas, dan saling berbagi kebersamaan di café di sudut-sudut Monastiraki Square yang ramai. Yah, cinta di antara kami muncul begitu saja, tanpa benar-benar kami sadari. Tapi, tidak begitu dengan perpisahannya.
Jika cinta kami tercipta seperti tumpukan salju yang menggunung seiring berlalunya waktu, maka perpisahan kami bak badai di musim dingin. Menerjang tiba-tiba, menyentak, dan meninggalkan kerusakan yang tak kunjung bisa diperbaiki.
Suatu pagi, pada umur pacaran kami yang baru menginjak enam bulan, tiba-tiba Calista datang ke apartemenku. Air mukanya tak tertebak. Ada kebingungan, kesedihan, dan ketakutan di sana, tapi aku tak tahu rasa mana yang lebih dominan.
“Ada masalah?” tanyaku sedikit khawatir.
Ia terdiam. Sebagai jawabannya, ia menunjukkan sesuatu yang melingkar di jari manisnya. Sebuah cincin berwarna perak mengilap. Aku butuh beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi, untuk menyadari maksud ia menunjukkan cincin itu.
“Kau sudah bertunangan?” tanyaku tak percaya. “Bagaimana bisa? Kapan? Siapa?”
Masih ada berondongan kalimat lain yang tak terucap di benakku saat itu, yang hanya dijawab oleh sebentuk tangisan dari Calista. Saat itu, aku sama sekali tak peduli dengan tangisnya. Yang aku rasakan hanya sebuah rasa terhianati. Tanpa perlu menuntut jawab darinya, aku meninggalkannya mematung di depan pintu apartemenku. Malam itu aku habiskan di sebuah bar, berteman alkohol yang tak putus hingga aku tak tahu berapa banyak alkohol yang telah masuk ke tubuhku.
Sejak saat itu, aku tak pernah benar-benar berbicara dengan Calista. Rasa terhianati membuatku muak melihat wajahnya, hingga beberapa minggu kemudian, aku memutuskan untuk keluar dari klub teater Ello dan merantau ke Paris, ke tempat kakak laki-lakiku tinggal. Di sana kakakku mengelola sebuah restoran. Sudah berkali-kali ia memintaku untuk membantunya mengelola cabang yang baru ia buka. Tawaran itu berkali-kali kutolak, tapi saat tawaran yang sama diajukan lagi padaku beberapa minggu setelah peristiwa di depan apartemenku itu, aku langsung menyanggupi tanpa banyak tanya.
Bertahun-tahun aku mencoba melupakan Calista. Mencoba menjauhi apa pun yang bisa mengingatkanku padanya. Aku tak pernah menonton pentas teater, walau aku sangat ingin. Aku fokus pada pekerjaan baruku, mengerahkan segala dayaku untuk membantu mengembangkan usaha kakakku. Beberapa kali pula aku sempat menjalin hubungan dengan wanita lain, tapi tak ada satu pun yang sanggup bertahan lama. Semuanya kandas tanpa sedikit pun meninggalkan bekas. Aku pernah dengar, obat paling manjur untuk patah hati adalah dengan mendapatkan cinta baru, tapi teori itu tak berlaku bagiku. Lubang-lubang kosong itu tetap ada, yang selalu dihuni oleh kenangan-kenangan lama akan wanita itu.
Pada akhirnya, aku tetap mengharapkan kehadirannya, bagaimana pun keadaan kami sekarang. Persis seperti saat aku mengharapkan Ello akan memberikan peran Oreithyia pada Calista.
“Kau baik-baik saja, Bastien.” Suara Dione membangunkanku dari lamunan. Tiba-tiba aku tersadar, kini kami tengah duduk berdua di salah satu café di Monastiraki. Sepagian tadi kami sudah mulai berlatih untuk pentas Boreas dan Oreithyia, dan saat Ello memberi jeda latihan siang ini, Dione tiba-tiba mengajakku keluar. Aku sempat menolak, sedikit menyalahkan udara dingin di luar sebagai alasan, tapi Dione tetap memaksa.
“Ya, tentu saja,” jawabku sedikit terkejut.
“Kau mau pesan apa?” tanyanya.
Mataku menyusuri daftar menu, tapi aku terlalu pusing untuk benar-benar membaca deretan nama makanan dan minuman itu. “Ada rekomendasi?” Akhirnya aku menyerah.
“Kalau kau tanya aku, aku jelas akan memesan minuman favoritku,” jawab Dione.
Semakin lama aku memperhatikan, aku semakin yakin bahwa ia memang Calista. Namun, pada saat-saat tertentu, ada sesuatu yang jelas tak ada pada diri Calista dulu. Mungkinkah Calista punya saudara kembar? Tapi, kenapa ia tak pernah mengatakannya padaku?
“Apa pun yang kau pesan,” ujarku menyatakan. Dione lalu memesan dua cangkir kopi hitam. Kopi hitam bukanlah kopi nomor satu yang akan aku pilih, tapi aku tak mengoreksi pesanannya. “Dione, boleh aku tanya sesuatu?”
“Ya?”
Aku menimbang sejenak kata-kata yang akan kuucapkan. “Apa kau punya saudara kembar?”
Ia terlihat terkejut. Aku berharap ini akan menjadi awal baik dari dugaan-dugaanku. “Kenapa semua orang menanyakan hal itu padaku?”
“Semua orang?” Kini justru aku yang terkejut.
“Ya, saat awal aku bergabung, Ello dan beberapa anggota klub menanyakan hal yang sama padaku,” ujarnya merasa tak senang. “Dan, sekarang kau menanyakannya juga. Memang aku terlihat mirip seseorang, ya?”
Aku mengeluarkan dompetku. Kutarik selembar foto dan kutunjukkan padanya.  “Ini,” ujarku menunjuk sosok Calista yang tampak anggun dengan kostum Cleopatra-nya. Di sampingnya, aku duduk penuh wibawa dalam balutan kostum Julius Caesar. Itu adalah satu-satunya foto yang masih kusimpan hingga sekarang. Aku tak tega membuang foto itu. “Namanya Calista.”
Jika dugaanku akan kepura-puraan Calista benar, aku harap ia akan menyadari bahwa aku masih mengingatnya, masih menginginkannya. Seandainya pun Dione dan Calista memang orang yang berbeda, tak masalah. Mungkin Dione bisa membantuku menjawab segala pertanyaan yang berkutat di benakku sejak pertemuan pertama kami.
“Kalian benar. Dia benar-benar mirip denganku.” ujar Dione. Ia masih lekat menatap sosok dalam foto itu. “Tapi, aku yakin aku tak mempunyai saudara kembar. Aku anak tunggal.”
***
Aku memandangi gerak indah itu dari kejauhan. Dengan penuh penghayatan, Dione menarikan tarian di bawah alunan lyra yang begitu lembut. Gerak kakinya halus dan penuh perhitungan. Gaun putihnya, terlempar ke sana-kemari mengikuti aliran irama dan geraknya. Untuk beberapa saat yang tak kuketahui, aku tersihir oleh gerakan itu. Bahkan, aku sempat terlambat muncul untuk menculiknya keluar dari panggung.
Tarian ini adalah bagian paling indah dalam kisah Boreas dan Oreithyia. Boreas yang tertolak cintanya oleh Oreithyia menemukan Oreithyia tengah menari seorang diri di tepi sungai Illissos. Saat itu, timbul keinginan Boreas untuk menculik Oreithyia dan membawa wanita itu ke istananya yang tertutup awan, serta menjadikannya istri. Dan, akhirnya, keinginannya benar-benar ia wujudkan.
“Apa kau percaya Boreas dan Oreithyia benar-benar hidup?” tanya Dione saat kami beristirahat setelah adegan itu diulang untuk kedua kalinya karena kesalahanku.
Pertanyaan yang aneh. “Aku tak yakin. Bagiku kisah mereka hanya dongeng.”
Ia terdiam sesaat. “Apa pendapatmu tentang tindakan Boreas pada Oreithyia? Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?”
“Secara kasat mata, mungkin langkah Boreas salah,” jawabku. “Tapi, lihat bagaimana kemudian warga Athena begitu mencintai Boreas. Menganggap dewa itu sebagai bagian dari diri mereka. Kadang keegoisan memang dibutuhkan untuk sesuatu yang lebih besar. Begitu pun dalam cinta.”
***
Waktu pentas akhirnya datang juga. Malam ini kami akan menunjukkan hasil latihan kami selama ini.
Nyaris sebulan penuh kami mempersiapkan dini. Latihan demi latihan kulalui, dan hampir setiap jeda kuhabiskan bersama Dione di café yang sama dengan café yang kami kunjungi saat itu. Seiring kebersamaan kami, aku mulai bisa menerima bahwa Dione memang bukan Calista. Dan, misteri kesamaan fisik dan beberapa sifat Dione dengan Calista tetap menjadi misteri hinga kini.
“Oke teman-teman, pastikan kalian tak lupa dialog yang harus kalian ucapkan,” ujar Ello menyemangati kami. Seperti biasa, sebelum pertunjukan dimulai, Ello akan memberikan pidato panjang yang kadang membosankan. “Tiket pertunjukan telah terjual habis seminggu setelah diluncurkan. Jadi, saat kalian keluar nanti, kalian akan mendapati gedung ini dipenuhi oleh orang-orang yang benar-benar merindukan kisah Boreas dan Oreithyia. Jangan kecewakan mereka yang telah rela mengeluarkan uang dan meninggalkan sofa hangat di depan perapian mereka.”
Kuakui, kali ini pidato Ello sama sekali tak membosankan. Dan, setelah pidato panjang itu resmi ditutup, pertunjukkan benar-benar dimulai.
Pertunjukan dibuka dengan adegan pengelanaanku, pengelanaan Boreas ke berbagai negeri. Sang dewa angin utara bertiup ke sana-kemari, meninggalkan jejak musim dingin di setiap tempat yang ia singgahi. Hingga akhirnya ia singgah di Athena. Di sana ia bertemu dengan seorang putri cantik bernama Oreithyia. Adegan pertama berakhir dengan bertemunya Boreas dengan Oreithyia.
Adegan demi adegan bergulir dengan lihai. Tepuk tangan menggema tak henti-hentinya. hingga adegan puncak, saat Boreas menculik Oreithyia yang tengah menari sendiri di tepi sunga Illissos. Hingga tirai diturunkan, tepuk tangan masih bergemuruh memenuhi gedung. Ello benar. Warga Athena benar-benar merindukan kisah Boreas dan Oreithyia.
“Pertunjukan yang luar biasa,” seru Dione kegirangan. “Sebenarnya aku cukup gugup tadi. Untung saja kau tak benar-benar menjatuhkanku di panggung.”
“Maaf?” tanyaku tak tahu apa maksudnya.
“Harapanmu saat pertama kali kita berkenalan.” Ia tertawa.
Aku ikut tertawa untuk dua alasan yang berbeda. Pertama, karena aku tak menyangka kata-kata konyol itu masih diingat Dione. Kedua, karena aku semakin menyadari betapa bodohnya aku pernah menganggap Dione adalah Calista. Setelah kenal cukup dekat dengan Dione, aku tahu bahwa mereka cukup berbeda, yang entah kenapa justru membuatku senang. Mungkin, sebenarnya aku belum terlalu siap jika aku harus bertemu dengan Calista. Selama ini mungkin aku hanya membohongi diriku sendiri.
Tiba-tiba, tawa kami terinterupsi oleh kedatangan Ello. “Kerja bagus. Pertunjukan tadi benar-benar luar biasa.”
“Kau jauh lebih luar biasa,” ujarku balas memuji Ello. “Kau bisa membaca apa yang sebenarnya diharapkan masyarakat Athena.”
“Butuh penelitian yang lama untuk itu,” jawab Ello.
“Dan, penelitian itu telah terbayar lunas malam ini.” Dione menyumbang pujian.
“Oh iya, Bastien, ada seseorang yang ingin menemuimu,” ujar Ello tiba-tiba mengubah alur pembicaraan kami.
“Siapa?”
“Dia menunggu di luar.” Tak menjawab pertanyaanku.
Aku melangkah pergi meninggalkan Dione dan Bastian. Benakku mulai mengabsen satu per satu wajah yang kukenal, tapi aku tetap tak bisa menerka siapa orang itu. Akhirnya aku menyerah. Membiarkan langkah membawaku pada jawaban yang sebenarnya.
Di luar pintu, seorang wanita telah menungguku. Ia memunggungiku, tapi aku tak mungkin lupa dengan perawakannya. Jantungku seakan berhenti sesaat. Nafasku tercekat.
Sebelum aku tersadar sepenuhnya, sebuah suara parau keluar dari mulutku, “Calista.”
 
Bersambung…

Cerita Selanjutnya: Duka Hades

Note: Tulisan ini dibuat untuk #TantanganEmpatMusim #WinterStory dari @KampusFiksi. Kisah ini masih akan berlanjut. Jadi, tunggu kejutan dari Bastien, Dione, Calista, dan Ello di musim-musim berikutnya, saat Boreas berhembus digantikan oleh tiga dewa angin yang lain, yang masing-masing membawa musim yang berbeda.  

Komentar

  1. wah bagus mas. tadinya pengen ikutan tantangan ini juga, tapi lagi banyak tugas, keburu deadline. gantinya nyimak cerita empat musim bastien dione calista sama ello aja. hehe
    anyway, salam kenal :))

    BalasHapus
  2. Thanks, salam kenal juga.
    Ayok ikutan, masih ada 3 musim lagi yang belum... :D

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. Trims sudah berkenan mampir, jangan kapok ya? :D

      Hapus
  4. keren... pengen ikutan tantangannya. tapi masih newbie banget. jadi, mending banyak baca dulu deh. oh iya ada tips triknya ga sih buat nulis cerita kaya gini? hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh jangan pake label newbie untuk jadi alasan gak nulis. Baca sambil nulis, contek tekniknya, terapin di tulisan kamu. Itu cara aku belajar nulis selama ini. Pede aja sama hasilnya. Kritik dari publik itu koreksi buat kita. Semangat ya? :D masih ada 3 musim lagi. Yuk berlatih bareng~

      Hapus
  5. Huwaa,,kecewa beraat >.<
    Kecewa berat waktu baca kata 'bersambung'
    Pengen baca lanjutannya..
    Keren bngd deh pokonkya ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks udah mampir. Lanjutannya lagi ditulis ni, baru dapet 500an kata hehehe~ :D

      Hapus
  6. salam kenal,
    ini cerita yg berbeda, ada kayak sejarah-sejarahnya jg, keren! rangkaian katanya apik
    pengen bisa ikut itu event tp aku msih skolah jd ya susah buat nyari waktu luang. tak apalah, nyimak cerita ini juga ok
    good luck

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga, trima kasih udah berkenan mampir~ :)

      Hapus
  7. Wah... ceritanya keren... suka deh dengan kisah dewa dewi Yunani.
    Pemilihan topiknya oke banget loh.

    Jadi jatuh cinta lagi sama cerita - cerita dewa dewi Yunani.

    Satu aja sih pertanyaannya, apakah persiapan latihan sebuah pementasan sebesar itu bisa diselesaikan dalam waktu 2 bulan? Sehebat apapun artisnya.

    tapi itu ga mengurangi kerennya cerita ini. ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k