PANGGUNG BOREAS
by Dwipatra
by Dwipatra
“Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?”
Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih
melakukan janji temu di sebuah café, berteman secangkir kopi hangat dan alunan
musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa
lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani.
Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin
yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak
dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya,
di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah
musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari
hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai
nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.
Setelah tersesat hampir lima kali, akhirnya aku menemukan patung dewi
yang kucari, lengkap dengan orang yang menungguku. Seorang pria paruh baya
bertubuh gempal dengan rambut keriting sewarna tembaga. Pria itu bernama Ello.
Ia langsung tersenyum begitu menyadari kedatanganku.
“Yia sou, Bastien, kau selalu
saja terlambat,” ujar Ello menegurku yang masih mencoba mengatur napas yang
berantakan. Menjelajahi hampir seluruh museum ternyata cukup melelahkan.
“Seandainya kau memilih tempat yang lebih umum macam café-café di Monastiraki
Square, mungkin aku tak akan seterlambat ini,” jawabku kesal.
Ello hanya tersenyum menanggapi omelanku. Kami terdiam sesaat, sepertinya
ia sengaja membiarkanku memperbaiki nada napasku.
“Ada apa?” tanyaku akhirnya. “Jangan bilang kau hanya ingin mengatakan hal-hal
konyol macam ‘lama tak berjumpa, aku merindukanmu’.” Aku tahu Ello bisa saja
mengatakan hal konyol macam itu.
“Kata-kata itu sempat terpikir juga memang.” Tawanya pecah, seakan jawaban
itu adalah sebuah lelucon. “Tapi, tidak.” Tawanya lenyap berganti wajah serius.
“Aku punya pekerjaan untukmu.”
“Aku kembali ke Athena hanya untuk berlibur. Dua bulan lagi aku akan
kembali ke Paris.”
“Itu sudah lebih dari cukup.”
“Baiklah, kalau begitu, kapan kita akan tampil?” Aku tak perlu bertanya
pekerjaan macam apa yang akan ditawarkan Ello. Aku sangat yakin pria paruh baya
ini tak akan pernah sedikit pun berpaling dari profesi kebanggaanya, sutradara
teater. Dan, aku adalah mantan pemainnya, yang dulu resign dari klub karena suatu masalah.
“Akhir bulan ini,” jawabnya. Ia terdiam sesaat, memandang penuh tanya
padaku. “Apa kau tak ingin tahu lakon apa yang akan kita pentaskan nanti?”
Aku bisa sedikit menebak dari pilihan tempat temu yang ia pilih. Ia
selalu seperti itu, menyamakan tema setiap kegiatan dengan apa yang akan kami
pentaskan nanti. Ia selalu berdalih agar kita bisa benar-benar merasakan detail
dari apa yang kita perankan.
“Sesuatu yang berhubungan dengan dewa-dewi Yunani?” tebakku.
“Hampir, tapi itu masih terlalu umum.”
“Kisah cinta Hades dan Persephone?” tebakku lagi, lebih asal-asalan. Ia
menggeleng. Kusebut beberapa kisah terkenal lagi seperti kisah Pyramus dan
Thisbe hingga kisah perang-perang kolosal semacam perang Troya, tapi ia terus
menggeleng. “Katakan saja. Aku menyerah,” ujarku akhirnya.
“Kita akan mementaskan kisah Boreas dan Oreithyia,” jawabnya bangga. Aku
mengumpat dalam hati.
“Kenapa kisah itu?” tanyaku penasaran. Kisah tentang dewa angin utara dan
istrinya itu memang begitu terkenal beberapa waktu lampau di Athena, tapi
sekarang orang-orang mulai meninggalkan kisah itu. Bahkan, kini Athena mulai
kehilangan gaung kisah besar itu.
“Aku ingin menghidupkan kembali kisah itu,” jawab Ello. “Mengingatkan
orang-orang akan keindahan kisah dewa pembawa musim dingin itu.”
Aku hanya mampu terdiam. Tak ingin merusak semangat Ello yang kini tengah
berkobar.
“Dan, Bastien, kau yang akan memerankan Boreas,” ujarnya tanpa basa-basi.
Sudah kuduga. “Lalu siapa yang akan memerankan Oreithyia?”
Sedikit bagian dariku berharap wanita beruntung itu adalah Calista, seseorang
yang dulu menjadi alasanku meninggalkan klub teater ini. Aku merindukan
saat-saat kami beradu kemahiran bersandiwara di atas panggung. Lebih dari itu,
aku merindukan dirinya. Semua bagian dari dirinya.
“Dione,” jawab Ello memupuskan harapanku. Entah siapa Dione. Nama itu
baru pertama kali kudengar. Dia pastilah bintang baru Ello. “Aku yakin kau akan
cocok dengannya.”
“Ke mana Calista?” tanyaku tiba-tiba.
“Dia pergi tak lama setelah kau pergi,” jawab Ello terdengar sedih.
“Tanpa kabar apa pun.”
***
“Kau bercanda?”
Aku memelototi Ello. Ia tadi bilang akan memperkenalkanku dengan lawan
mainku, Dione. Tapi, ia malah mengajakku menemui seorang wanita yang sudah
sangat kukenal, yang ia janjikan ketidakhadirannya.
Wanita berambut hitam pendek bergelombang, yang kini tengah sibuk
menghapal dialog itu tak salah lagi adalah Calista. Walau berpenampilan sedikit
berbeda, seperti potongan rambut pendeknya yang biasa dibiarkan memanjang, tapi
aku tak mungkin salah mengenalinya. Apakah Ello sudah sedemikian rabun hingga
mengira penyamaran seperti itu, jika itu bisa disebut penyamaran, bisa
membuatnya tertipu?
“Dione,” panggil Ello tak mempedulikan protesku.
“Oh hai Ello.” Dione, yang masih aku yakini sebagai Calista, berbalik.
Sedikit terkejut.
“Ingat dengan orang yang ingin kukenalkan padamu, sang Boreas?”
“Ya, tentu saja,” jawab Dione ringan. Ia menjulurkan tangan padaku. “Aku Dione.
Aku yang akan memerankan Oreithyia.”
Sial! Perkenalan konyol macam apa ini? Kenapa ia berpura-pura sampai
sejauh ini, seakan sama sekali tak mengenalku. Apakah ini bentuk
kepura-puraannya? Seandainya ia benar-benar tengah berpura-pura, ia pastilah
tengah mengerahkan seluruh kemampuan aktingnya. Atau, mungkinkah telah terjadi
sesuatu dengannya? Hilang ingatan karena kecelakaan, mungkin? Seperti dalam
drama TV tak masuk akal yang sering kutonton saat tak ada hal menarik untuk
dilakukan.
“Bastien.” Ello berbisik sambil menyenggol pundakku pelan, menyadarkanku
bahwa aku masih mematung menatap Dione.
Buru-buru aku mengulurkan tangan dan menjabat tangannya. “Bastien.”
Ia tersenyum, mungkin menertawakan diriku. Senyum itu… Ah, bagaimana aku
bisa menganggap dirinya sebagai orang lain. Caranya tersenyum bahkan sama
persis dengan senyum Calista. Salah satu sudut bibirnya terangkat sedikit lebih
tinggi dari yang lain. Senyum manis yang tak pernah bisa kuhapus dari ingatan. “Ini
pentas perdanaku sebagai pemeran utama. Kuharap aku tak terlalu mengecewakanmu.”
Ah, sial! Lagi-lagi kebohongannya terlihat begitu alami.
Berbagai pertanyaan dan ungkapan kekesalan berkecamuk di benakku, tapi
tak ada satu pun yang berhasil keluar. Alih-alih umpatan atau pertanyaan, aku
malah mengatakan hal konyol yang keluar begitu saja dari mulutku. “Kuharap aku
tak membuatmu terjatuh di atas panggung.”
***
Calista bukanlah cinta pertamaku. Pertemuan kami bahkan tidak ada
istimewanya sama sekali. Aku dan dia dipertemukan oleh Ello yang tengah mencari
bibit-bibit baru untuk teaternya. Seperti ungkapan lama, cintaku pada Calista
tumbuh seiring seringnya kami bertemu, saling berbagi pengalaman pentas, dan saling
berbagi kebersamaan di café di sudut-sudut Monastiraki Square yang ramai. Yah, cinta di antara kami
muncul begitu saja, tanpa benar-benar kami sadari. Tapi, tidak begitu dengan
perpisahannya.
Jika cinta kami tercipta seperti tumpukan salju yang menggunung seiring berlalunya
waktu, maka perpisahan kami bak badai di musim dingin. Menerjang tiba-tiba, menyentak,
dan meninggalkan kerusakan yang tak kunjung bisa diperbaiki.
Suatu pagi, pada umur pacaran kami yang baru menginjak enam bulan,
tiba-tiba Calista datang ke apartemenku. Air mukanya tak tertebak. Ada
kebingungan, kesedihan, dan ketakutan di sana, tapi aku tak tahu rasa mana yang
lebih dominan.
“Ada masalah?” tanyaku sedikit khawatir.
Ia terdiam. Sebagai jawabannya, ia menunjukkan sesuatu yang melingkar di
jari manisnya. Sebuah cincin berwarna perak mengilap. Aku butuh beberapa detik
untuk menyadari apa yang terjadi, untuk menyadari maksud ia menunjukkan cincin
itu.
“Kau sudah bertunangan?” tanyaku tak percaya. “Bagaimana bisa? Kapan?
Siapa?”
Masih ada berondongan kalimat lain yang tak terucap di benakku saat itu,
yang hanya dijawab oleh sebentuk tangisan dari Calista. Saat itu, aku sama
sekali tak peduli dengan tangisnya. Yang aku rasakan hanya sebuah rasa
terhianati. Tanpa perlu menuntut jawab darinya, aku meninggalkannya mematung di
depan pintu apartemenku. Malam itu aku habiskan di sebuah bar, berteman alkohol
yang tak putus hingga aku tak tahu berapa banyak alkohol yang telah masuk ke
tubuhku.
Sejak saat itu, aku tak pernah benar-benar berbicara dengan Calista. Rasa
terhianati membuatku muak melihat wajahnya, hingga beberapa minggu kemudian,
aku memutuskan untuk keluar dari klub teater Ello dan merantau ke Paris, ke
tempat kakak laki-lakiku tinggal. Di sana kakakku mengelola sebuah restoran.
Sudah berkali-kali ia memintaku untuk membantunya mengelola cabang yang baru ia
buka. Tawaran itu berkali-kali kutolak, tapi saat tawaran yang sama diajukan
lagi padaku beberapa minggu setelah peristiwa di depan apartemenku itu, aku
langsung menyanggupi tanpa banyak tanya.
Bertahun-tahun aku mencoba melupakan Calista. Mencoba menjauhi apa pun
yang bisa mengingatkanku padanya. Aku tak pernah menonton pentas teater, walau
aku sangat ingin. Aku fokus pada pekerjaan baruku, mengerahkan segala dayaku untuk
membantu mengembangkan usaha kakakku. Beberapa kali pula aku sempat menjalin
hubungan dengan wanita lain, tapi tak ada satu pun yang sanggup bertahan lama. Semuanya
kandas tanpa sedikit pun meninggalkan bekas. Aku pernah dengar, obat paling
manjur untuk patah hati adalah dengan mendapatkan cinta baru, tapi teori itu
tak berlaku bagiku. Lubang-lubang kosong itu tetap ada, yang selalu dihuni oleh
kenangan-kenangan lama akan wanita itu.
Pada akhirnya, aku tetap mengharapkan kehadirannya, bagaimana pun keadaan
kami sekarang. Persis seperti saat aku mengharapkan Ello akan memberikan peran Oreithyia
pada Calista.
“Kau baik-baik saja, Bastien.” Suara Dione membangunkanku dari lamunan. Tiba-tiba
aku tersadar, kini kami tengah duduk berdua di salah satu café di Monastiraki. Sepagian tadi kami sudah
mulai berlatih untuk pentas Boreas dan Oreithyia, dan saat Ello memberi jeda
latihan siang ini, Dione tiba-tiba mengajakku keluar. Aku sempat menolak,
sedikit menyalahkan udara dingin di luar sebagai alasan, tapi Dione tetap
memaksa.
“Ya, tentu saja,” jawabku sedikit terkejut.
“Kau mau pesan apa?” tanyanya.
Mataku menyusuri daftar menu, tapi aku terlalu pusing untuk benar-benar
membaca deretan nama makanan dan minuman itu. “Ada rekomendasi?” Akhirnya aku
menyerah.
“Kalau kau tanya aku, aku jelas akan memesan minuman favoritku,” jawab
Dione.
Semakin lama aku memperhatikan, aku semakin yakin bahwa ia memang
Calista. Namun, pada saat-saat tertentu, ada sesuatu yang jelas tak ada pada
diri Calista dulu. Mungkinkah Calista punya saudara kembar? Tapi, kenapa ia tak
pernah mengatakannya padaku?
“Apa pun yang kau pesan,” ujarku menyatakan. Dione lalu memesan dua
cangkir kopi hitam. Kopi hitam bukanlah kopi nomor satu yang akan aku pilih,
tapi aku tak mengoreksi pesanannya. “Dione, boleh aku tanya sesuatu?”
“Ya?”
Aku menimbang sejenak kata-kata yang akan kuucapkan. “Apa kau punya
saudara kembar?”
Ia terlihat terkejut. Aku berharap ini akan menjadi awal baik dari
dugaan-dugaanku. “Kenapa semua orang menanyakan hal itu padaku?”
“Semua orang?” Kini justru aku yang terkejut.
“Ya, saat awal aku bergabung, Ello dan beberapa anggota klub menanyakan
hal yang sama padaku,” ujarnya merasa tak senang. “Dan, sekarang kau
menanyakannya juga. Memang aku terlihat mirip seseorang, ya?”
Aku mengeluarkan dompetku. Kutarik selembar foto dan kutunjukkan
padanya. “Ini,” ujarku menunjuk sosok
Calista yang tampak anggun dengan kostum Cleopatra-nya. Di sampingnya, aku
duduk penuh wibawa dalam balutan kostum Julius Caesar. Itu adalah satu-satunya
foto yang masih kusimpan hingga sekarang. Aku tak tega membuang foto itu.
“Namanya Calista.”
Jika dugaanku akan kepura-puraan Calista benar, aku harap ia akan menyadari
bahwa aku masih mengingatnya, masih menginginkannya. Seandainya pun Dione dan
Calista memang orang yang berbeda, tak masalah. Mungkin Dione bisa membantuku
menjawab segala pertanyaan yang berkutat di benakku sejak pertemuan pertama
kami.
“Kalian benar. Dia benar-benar mirip denganku.” ujar Dione. Ia masih
lekat menatap sosok dalam foto itu. “Tapi, aku yakin aku tak mempunyai saudara
kembar. Aku anak tunggal.”
***
Aku memandangi gerak indah itu dari kejauhan. Dengan penuh penghayatan,
Dione menarikan tarian di bawah alunan lyra
yang begitu lembut. Gerak kakinya halus dan penuh perhitungan. Gaun putihnya,
terlempar ke sana-kemari mengikuti aliran irama dan geraknya. Untuk beberapa
saat yang tak kuketahui, aku tersihir oleh gerakan itu. Bahkan, aku sempat terlambat
muncul untuk menculiknya keluar dari panggung.
Tarian ini adalah bagian paling indah dalam kisah Boreas dan Oreithyia. Boreas
yang tertolak cintanya oleh Oreithyia menemukan Oreithyia tengah menari seorang
diri di tepi sungai Illissos. Saat itu, timbul keinginan Boreas untuk menculik
Oreithyia dan membawa wanita itu ke istananya yang tertutup awan, serta menjadikannya
istri. Dan, akhirnya, keinginannya benar-benar ia wujudkan.
“Apa kau percaya Boreas dan Oreithyia benar-benar hidup?” tanya Dione
saat kami beristirahat setelah adegan itu diulang untuk kedua kalinya karena
kesalahanku.
Pertanyaan yang aneh. “Aku tak yakin. Bagiku kisah mereka hanya dongeng.”
Ia terdiam sesaat. “Apa pendapatmu tentang tindakan Boreas pada Oreithyia?
Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?”
“Secara kasat mata, mungkin langkah Boreas salah,” jawabku. “Tapi, lihat
bagaimana kemudian warga Athena begitu mencintai Boreas. Menganggap dewa itu
sebagai bagian dari diri mereka. Kadang keegoisan memang dibutuhkan untuk
sesuatu yang lebih besar. Begitu pun dalam cinta.”
***
Waktu pentas akhirnya datang juga. Malam ini kami akan menunjukkan hasil
latihan kami selama ini.
Nyaris sebulan penuh kami mempersiapkan dini. Latihan demi latihan
kulalui, dan hampir setiap jeda kuhabiskan bersama Dione di café yang sama
dengan café yang kami kunjungi saat itu. Seiring kebersamaan kami, aku mulai bisa
menerima bahwa Dione memang bukan Calista. Dan, misteri kesamaan fisik dan
beberapa sifat Dione dengan Calista tetap menjadi misteri hinga kini.
“Oke teman-teman, pastikan kalian tak lupa dialog yang harus kalian ucapkan,”
ujar Ello menyemangati kami. Seperti biasa, sebelum pertunjukan dimulai, Ello
akan memberikan pidato panjang yang kadang membosankan. “Tiket pertunjukan
telah terjual habis seminggu setelah diluncurkan. Jadi, saat kalian keluar
nanti, kalian akan mendapati gedung ini dipenuhi oleh orang-orang yang benar-benar
merindukan kisah Boreas dan Oreithyia. Jangan kecewakan mereka yang telah rela
mengeluarkan uang dan meninggalkan sofa hangat di depan perapian mereka.”
Kuakui, kali ini pidato Ello sama sekali tak membosankan. Dan, setelah
pidato panjang itu resmi ditutup, pertunjukkan benar-benar dimulai.
Pertunjukan dibuka dengan adegan pengelanaanku, pengelanaan Boreas ke
berbagai negeri. Sang dewa angin utara bertiup ke sana-kemari, meninggalkan
jejak musim dingin di setiap tempat yang ia singgahi. Hingga akhirnya ia
singgah di Athena. Di sana ia bertemu dengan seorang putri cantik bernama
Oreithyia. Adegan pertama berakhir dengan bertemunya Boreas dengan Oreithyia.
Adegan demi adegan bergulir dengan lihai. Tepuk tangan menggema tak
henti-hentinya. hingga adegan puncak, saat Boreas menculik Oreithyia yang
tengah menari sendiri di tepi sunga Illissos. Hingga tirai diturunkan, tepuk
tangan masih bergemuruh memenuhi gedung. Ello benar. Warga Athena benar-benar
merindukan kisah Boreas dan Oreithyia.
“Pertunjukan yang luar biasa,” seru Dione kegirangan. “Sebenarnya aku
cukup gugup tadi. Untung saja kau tak benar-benar menjatuhkanku di panggung.”
“Maaf?” tanyaku tak tahu apa maksudnya.
“Harapanmu saat pertama kali kita berkenalan.” Ia tertawa.
Aku ikut tertawa untuk dua alasan yang berbeda. Pertama, karena aku tak
menyangka kata-kata konyol itu masih diingat Dione. Kedua, karena aku semakin
menyadari betapa bodohnya aku pernah menganggap Dione adalah Calista. Setelah
kenal cukup dekat dengan Dione, aku tahu bahwa mereka cukup berbeda, yang entah
kenapa justru membuatku senang. Mungkin, sebenarnya aku belum terlalu siap jika
aku harus bertemu dengan Calista. Selama ini mungkin aku hanya membohongi
diriku sendiri.
Tiba-tiba, tawa kami terinterupsi oleh kedatangan Ello. “Kerja bagus.
Pertunjukan tadi benar-benar luar biasa.”
“Kau jauh lebih luar biasa,” ujarku balas memuji Ello. “Kau bisa membaca
apa yang sebenarnya diharapkan masyarakat Athena.”
“Butuh penelitian yang lama untuk itu,” jawab Ello.
“Dan, penelitian itu telah terbayar lunas malam ini.” Dione menyumbang
pujian.
“Oh iya, Bastien, ada seseorang yang ingin menemuimu,” ujar Ello
tiba-tiba mengubah alur pembicaraan kami.
“Siapa?”
“Dia menunggu di luar.” Tak menjawab pertanyaanku.
Aku melangkah pergi meninggalkan Dione dan Bastian. Benakku mulai
mengabsen satu per satu wajah yang kukenal, tapi aku tetap tak bisa menerka
siapa orang itu. Akhirnya aku menyerah. Membiarkan langkah membawaku pada
jawaban yang sebenarnya.
Di luar pintu, seorang wanita telah menungguku. Ia memunggungiku, tapi
aku tak mungkin lupa dengan perawakannya. Jantungku seakan berhenti sesaat.
Nafasku tercekat.
Sebelum aku tersadar sepenuhnya, sebuah suara parau keluar dari mulutku,
“Calista.”
Bersambung…
Cerita Selanjutnya: Duka Hades
Note: Tulisan ini dibuat untuk #TantanganEmpatMusim #WinterStory dari @KampusFiksi. Kisah ini masih akan berlanjut. Jadi, tunggu kejutan dari Bastien, Dione, Calista, dan Ello di musim-musim berikutnya, saat Boreas berhembus digantikan oleh tiga dewa angin yang lain, yang masing-masing membawa musim yang berbeda.
wah bagus mas. tadinya pengen ikutan tantangan ini juga, tapi lagi banyak tugas, keburu deadline. gantinya nyimak cerita empat musim bastien dione calista sama ello aja. hehe
BalasHapusanyway, salam kenal :))
Thanks, salam kenal juga.
BalasHapusAyok ikutan, masih ada 3 musim lagi yang belum... :D
bagus
BalasHapusTrims sudah berkenan mampir, jangan kapok ya? :D
Hapuskeren... pengen ikutan tantangannya. tapi masih newbie banget. jadi, mending banyak baca dulu deh. oh iya ada tips triknya ga sih buat nulis cerita kaya gini? hehe..
BalasHapusWaduh jangan pake label newbie untuk jadi alasan gak nulis. Baca sambil nulis, contek tekniknya, terapin di tulisan kamu. Itu cara aku belajar nulis selama ini. Pede aja sama hasilnya. Kritik dari publik itu koreksi buat kita. Semangat ya? :D masih ada 3 musim lagi. Yuk berlatih bareng~
HapusHuwaa,,kecewa beraat >.<
BalasHapusKecewa berat waktu baca kata 'bersambung'
Pengen baca lanjutannya..
Keren bngd deh pokonkya ^^
Thanks udah mampir. Lanjutannya lagi ditulis ni, baru dapet 500an kata hehehe~ :D
Hapussalam kenal,
BalasHapusini cerita yg berbeda, ada kayak sejarah-sejarahnya jg, keren! rangkaian katanya apik
pengen bisa ikut itu event tp aku msih skolah jd ya susah buat nyari waktu luang. tak apalah, nyimak cerita ini juga ok
good luck
Salam kenal juga, trima kasih udah berkenan mampir~ :)
HapusWah... ceritanya keren... suka deh dengan kisah dewa dewi Yunani.
BalasHapusPemilihan topiknya oke banget loh.
Jadi jatuh cinta lagi sama cerita - cerita dewa dewi Yunani.
Satu aja sih pertanyaannya, apakah persiapan latihan sebuah pementasan sebesar itu bisa diselesaikan dalam waktu 2 bulan? Sehebat apapun artisnya.
tapi itu ga mengurangi kerennya cerita ini. ^^