Langsung ke konten utama

[REVIEW] SPORA



Sumber gambar klik di sini

Judul               : SPORA
Penulis             : Alkadri
Penyunting      : Dyah Utami
Sampul            : Fahmi Fauzi
Penerbit           : Moka Media
Halaman          : 238 + vi
Tahun cetak     : Oktober 2014

Spora bercerita tentang teror di sebuah sekolah yang disebabkan oleh sebuah jamur jahat yang sengaja diimpor dari hutan tropis di Brazil. Kematian demi kematian dimulai begitu tim KIR sekolah pulang dari sebuah konferensi ilmiah di Brazil dan beberapa oknum membawa spora jamur dari negara itu ke Indonesia. Tanpa sengaja, seorang anak KIR menemukan spora jamur itu dan membukanya hingga tersebar dan menginfeksi seluruh sekolah.
Alif, seorang anggota OSIS sekolah yang selalu berangkat sekolah paling pagi menemukan sesosok mayat di lapangan basket dengan kondisi yang mengerikan, kepala pecah berkeping-keping. Kematian demi kematian mengikuti setelah itu, dan sialnya selalu Alif yang menemukan untuk pertama kalinya, hingga polisi sempat mencurigai Alif terlibat dalam rangkaian kematian mengerikan itu. Bagaimana nasib Alif dan seisi sekolah selanjutnya? Silakan baca sendiri novel dengan cover memukau ini.
Oke, sebelum saya mulai spoiler, sebaiknya saya mulai saya racauan tidak jelas yang dengan pongahnya saya juduli review ini. Saya tidak pernah punya gaya atau patokan tertentu untuk mengulas sebuah buku, tapi untuk novel ini saya ingin memecahnya menjadi beberapa bagian hehehe~

1.      Sampul
Harus saya akui, satu dari sekian hal yang paling menarik dari novel ini adalah sampulnya. Dengan perpaduan warna favorit saya, ilustrasi ciamik, dan font judul yang pas sekali, sampul novel ini langsung menarik perhatian saya ketika pertama kali ditampilin bersama dua kandidat sampul spora yang lain. Saya kasih satu bintang khusus untuk sampulnya.
2.      Ide
Ide cerita termasuk unik dan segar. Sejak SMP saya memang suka dengan mata pelajaran Biologi, sampai sekarang pun bidang yang saya tekuni masih tidak terlalu jauh dengan biologi, terutama biologi tumbuhan. Jadi, saya benar-benar mengacungi jempol untuk ide dasarnya. Saya suka. Sayangnya, ide ini kurang tergarap dengan bagus, juga tidak didukung oleh tokoh-tokoh yang pas.
Misalnya, mungkin si jamur akan lebih terekplorasi jika tokoh utama di novel ini bukan anak OSIS. Saya cenderung lebih suka jika tokoh utama 'Spora' adalah salah satu (atau beberapa) anak KIR yang akan menyelidiki tentang jamur ini lebih dalam (secara ilmiah) untuk membantu menyelesaikan masalah. Atau jika memang mau tetap anak OSIS, setidaknya libatkan anak KIR dalam penyelesaian masalah.
Selain itu, yang saya kurang suka adalah ide alih kendali total oleh si jamur. Setelah baca 'Spora', saya sempat googling untuk cari jamur jenis yang disebutkan dalam buku, jamur familia Cordyceps. Jamur ini hidup secara parasit (numpang hidup dan makan) pada tubuh inangnya, dan beberapa spesies jamur dari familia ini mampu membuat tubuh inangnya menjadi ‘zombie’. Tapi, dalam novel ini, manusia yang terinfeksi jamur sampai terambil alih semua sistem sarafnya sehingga jamur itu mampu berbicara dan berpikir seperti manusia. Bahkan mampu menjelaskan panjang lebar pada Alif tentang oknum-oknum yang terlibat dalam pengimporan diri sang jamur dari hutan di Brazil.
Saya (secara pribadi) lebih suka jika manusia yang terinfeksi hanya akan menjadi ‘zombie’ yang tidak semanusiawi dalam novel ini. Saya rasa hal itu akan terasa lebih horror sesuai ‘label’ novel ini.
3.      Alur cerita
a.       Alur cerita agak lambat. Saya sempat khawatir begitu membaca bab-bab awal selepas prolog, apalagi mengingat tebal novel ini yang kurang dari 250 halaman. Satu bagian awal (yang terdiri dari 5 bab) hanya menceritakan kejadian di sekolah dari Alif menemukan korban pertama sampai Alif pulang ke rumah. Kekhawatiran saya adalah, kalau ceritanya berjalan lambat seperti ini (dengan jumlah halaman yang sedikit) penyelesaian masalahnya akan disederhanakan. Dan, kekhawatiran saya terbukti. Alif lumayan mudah menemukan petunjuk demi petunjuk dalam menuntaskan masalahnya. Untungnya, penulis meramu penemuan-penemuan itu bukan dalam kebetulan-kebetulan yang mengada-ada. Meski sederhana, saya tetap menikmatinya. satu lagi, karena kelambanan ceritanya, banyak pertanyaan yang tak terjawab tuntas. Misalnya tentang ayah Alif, tentang para oknum yang sampai akhir buku masih seperti misteri, dan motivasi para pelakunya masih tidak jelas sampai lembar terakhir.
b.      Prolognya agak kepanjangan. Ada beberapa hal tidak penting yang seharusnya bisa dipadatkan dalam prolog, sehingga halaman-halaman yang dipakai bisa dimaksimalkan dalam ‘isi’ novelnya.
c.       Epilognya, mengejutkan dalam artian ‘lho kok dia’ bukan ‘wow ternyata dia’. Saya akan terkejut versi dua jika si tokoh dalam epilog terlibat cukup sering dalam cerita, nyatanya dia cuma muncul sekilas-sekilas, bukan dalam bagian-bagian penting pula. Jadi, saat penulis menunjukkan bahwa dialah dalang semuanya, saya cuma bisa terkejut versi satu.
4.      Penulisan
Rada kaku pada beberapa dialognya. Penulis seperti bingung mau pakai gaya buku-buku remaja Indonesia (yang pakai kamu dan nggak) atau seperti buku-buku terjemahan (yang pakai kau dan tak). Kebingungan ini terlihat pada dialog antara Alif dan Rina yang tadinya pakai 'kau' tiba-tiba berubah jadi 'kamu' tanpa penjelasan kenapa harus berubah. Padahal Alif dan Rina adalah teman akrab. Harusnya cara ngomong mereka tidak sebaku itu, kan? Selain masalah 'kamu' dan 'kau', ada juga ketidakkonsistenan yang lain, seperti panggilan Mama yang tiba-tiba berubah Bu, panggilan Alif yang tiba-tiba berubah jadi Dek. Juga ada beberapa typo dan kalimat tak lengkap, tapi itu tidak terlalu masalah bagi saya.
5.      Lain-lain
Sifat Alif agak aneh, kadang bikin gatel pengen noyor saking anehnya, misalnya saat dia tiba-tiba menyalahkan diri sendiri di depan Rina hanya karena dia kaget dan tidak langsung menelepon polisi begitu menemukan korban pertama, padahal korban jelas-jelas sudah mati. Dia malah pakai ngomong: “Seandainya aku cepat-cepat menghubungi polisi, mungkin dia…” (Saya lupa kalimat pastinya, tapi intinya seperti itu).
Lain lagi saat Alif nekat meniti tangga darurat mengikuti bercak-bercak darah. Bukannya menghubungi polisi yang berkeliaran di lantai bawah, dia malah nekat pergi. Padahal, beberapa jam sebelumnya, dia sedang marah ke Rina karena dia menyampaikan kalau ayah Rina mulai curiga. Tidak mau dicurigai tapi nekat seperti itu *toyor Alif*.

Sekian ulasan dari saya, 2.5 bintang untuk ceritanya dan 1 bintang khusus untuk kavernya, jadi 3.5 bintang dari saya. Saya kasih 4 bintang di goodreads.com, karena goodread tidak terima yang setengah-setengah hehehe~

Salam,
Dwipatra
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah café, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k