Langsung ke konten utama

[Review] Partitur Dua Musim


Judul               : Partitur Dua Musim
Penulis             : Farrahnanda
Editor              : Itanovid
Desain cover   : Aan Retiree
Penerbit           : deTEENs (Diva Press Group)
Tebal               : 347 halaman
Tahun cetak     : April 2014

Kalimat pembuka untuk review ini: sulit bagi saya untuk tak menyukai novel ini.
Partitur Dua Musim (PDM) benar-benar digarap dengan kesungguhan yang luar biasa. Dilihat dari halaman terima kasih saja sudah kerlihatan seberapa niat Farrahnanda melakukan riset untuk menggarap novel ini. Rasanya tak berlebihan jika kemudian saya memberi nilai 4/5 untuk PDM. Oke, mari kita mulai ulasan agak tak penting ini.

Cover dan Judul
Cover dan judul PDM menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Saya sangat suka dengan judul yang dipilih Farrah (atau pihak editor?) untuk novel ini. Rasanya lembut dan indah. Dipadu dengan cover yang cantik, lengkap sudah tampilan luar PDM. Sayangnya, dua model dalam cover agak berbeda dengan deskripsi Kembar Laroux di dalam novelnya, yang dideskripsikan mempunyai warna rambut Scarlet dan Crimson, bukan oranye dan coklat.

Tokoh (penokohan)
Tokoh-tokoh dalam PDM terasa benar-benar hidup. Pemilihan POV1 dari sudut pandang Scarlet, Crimson, dan Elena secara bergantian saya rasa sangat tepat untuk semakin menghidupkan tokoh-tokoh utamanya. Apalagi, di sini, dua tokoh utamanya memiliki ‘abnormalitas’, di mana cara berpikir kedua tokoh itu sangat berbeda dari orang-orang normal. Abnormalitas itu menjadi jauh lebih nyata dengan dipilihnya POV1 ini. Meskipun, pada awalnya, saya sendiri agak sulit membedakan antara Scarlet dan Crimson. Kadang, saya keliru mengira siapa yang sedang bernarasi, meskipun telah dituliskan POV siapa yang tengah dipakai. Tapi, lama-kelamaan, semakin kita paham sifat Scarlet dan Crimson, hal itu akan hilang dengan sendirinya.
Oh iya. Di bagian ilustrasi pengenalan tokoh, saya malah berpikir Scarlet dan Crimson tertukar posisi. Di gambar itu, Scarlet terlihat jauh lebih percaya diri dibanding Crimson (dilihat dari alis mata dan tatanan ramburnya). Padahal, seharusnya kebalikannya, kan?

Alur
Alur PDM sebenarnya tak terlalu rumit. Tapi, ada misteri yang dipelihara di sepanjang buku, tentang masa lalu kembar Laroux, tentang biola-biola mereka, dan terlebih lagi tentang M. Barnabe. Misteri inilah yang menjadi daya tarik utama dari alur PDM. Di sela-sela misteri itu, kisah cinta banyak segi antara Monique-Crimson, Crimson-Elena, dan Elena-Scarlet semakin menambah indah alur cerita PDM. Jumlah tokoh yang tak terlalu banyak semakin memfokuskan cerita pada masalah utama, sehingga alur tak melebar ke mana-mana. Hanya ada satu hal yang menurut saya kurang di alur PDM, yaitu sosok M. Barnabe yang sempat ‘hilang’ (nyaris tak lagi dibahas) di beberapa movement (baca: bab). Ini sempat membuat kadar kemisteriusan M. Barnabe agak berkurang. Tapi, lubang kecil ini dijamin akan langsung menguap begitu kita mencapai ending yang menggantung cantik. Jenis ending menggantung yang membuat saya puas sekaligus bertanya-tanya akan seperti apa kelanjutannya jika penulis berkenan melanjutkan kisah ini.

Lain-lain
Di bagian ini saya akan komen hal-hal di luar poin-poin yang sudah saya sebut di atas, salah limanya adalah ilustrasi, info tambahan, layout, typo, dan curcol. Untuk ilustrasi, saya kurang suka dengan ilustrasinya. Bukan lantaran ilustrasinya tidak bagus, tapi kurang cocok saja dimasukin ke novel ini. Ilustrasinya mungkin akan lebih pas jika setting novelnya di Jepang atau Korea, bukan di Eropa, karena ilustrasinya terkesan sangat manga-ish. Bahkan, tokoh Crimson di hal 186 terlihat seperti Rurouni Kenshin.
Info tambahan yang saya maksud di sini adalah pengetahuan baru yang pembaca dapat setelah baca novel ini. Mungkin sudah banyak yang bisa menebak jenis pengetahuan apa yang bisa di dapat. Ya, tentu saja, pengetahuan tentang musik yang sangat detail. Ini nilai plus (lagi) dari novel ini.
Untuk typo, ada beberapa typo yang cukup serius, yaitu penulisan ‘di’ yang terbalik-balik antara yang seharusnya disambung dan dipisah. Sayangnya, saya lupa mencatat di halaman berapa saja itu typonya. Untuk seorang yang telah menelurkan beberapa novel (ditambah dengan adanya editor) typo macam ini terasa agak serius. Entah kenapa, saya lebih memaklumi typo yang benar-benar salah ketik daripada typo jenis ini.
Kemudian, tentang layout. Saya perhatikan, akhir-akhir ini buku-buku DivaPress agak bermasalah pada layout-nya. Saya banyak menemui tulisan yang rapat banget (nyaris tak ada spasi), sehingga kata-kata dalam kalimat itu serasa menyambung panjang. Entah apa yang salah. Minus ini benar-benar mengurangi kenikmatan membaca. Semoga bisa menjadi koreksi untuk pihak layouter dan penerbit.
Yang terakhir adalah curcol. Saat membaca bagian C’est Moi (semacam About Me), dan menemukan bahwa Farrah lahir tahun 1995, rasanya saya langsung ingin teriak, “Sialan, ini bocah. Umur belum nyampe 20 aja novel udah 3 biji.” #Abaikan
Oke, segitu saja review dari saya. Intinya, novel ini highly recommended bagi yang suka novel romance yang tak melulu berisi cinta. Oh, iya, kalau mau mendapatkan dampak yang jauh lebih nampol di ending, cobalah untuk membaca novel Find LOVE-nya mas Adityarakhman (terbitan deTEENS juga) dulu sebelum baca PDM. Endingnya akan terasa berbeda. Dijamin.
Sekian review dari saya, sampai jumpa di review selanjutnya J


Salam,
Dwipatra

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah café, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k