Penulis : Devi Eka
Editor : Floria Aemilia
Desain cover : Aan Retiree
Penerbit : deTEENs (Diva Press Group)
Tebal : 310 halaman
Tahun cetak : April 2014
Sebenarnya saya
sempat ragu untuk nulis review ini, karena mungkin akan banyak kata yang
menyinggung nantinya. Tapi, tak apalah. Siapa tahu bisa jadi koreksi untuk
penulisnya. Secara keseluruhan, saya kurang suka dengan Morning Gloria (MG). Ada
terlalu banyak hal yang kurang sreg
bagi saya, jadi dengan terpaksa saya hanya bisa kasih nilai 2/5 untuk MG. Oke,
tak perlu berpanjang lebar lagi. Mari kita mulai review MG ala saya ini.
Cover
dan Judul
Salah satu
alasan terbesar saya membeli novel ini adalah karena cover novelnya yang apik,
lucu, dan pas sekali dengan judul(dan subjudul)-nya. Jadi, peran mas (atau
mbak) Aan sang desainer sangat besar dalam novel ini. Karena, saya cukup yakin
untuk mengatakan bahwa alasan terbesar orang membeli novel ini adalah karena
covernya, selain mungkin si pembeli kenal dengan penulisnya.
Untuk judul,
tidak terlalu istimewa, tapi pas dengan isi novel dan tokohnya. Dari judul itu
juga terpancar kesan ceria dan semangat. Memang seperti itulah sifat tokoh
utama dalam novel ini, Gloria―yang namanya disapa di judul novel.
Tokoh
(penokohan)
Penokohannya
serasa kurang dalam. Selain nama dan fisik, hampir tak ada bedanya antara tokoh
yang satu dengan tokoh yang lain. Bahkan, si Gloria, yang hendak dicitrakan
ceria dan semangat, jauh lebih sering galau daripada seharusnya. Mungkin, jika
saya memaksa untuk menyukai salah satu tokoh, Bara adalah pilihan saya. Dengan
sifat menyebalkannya, dia tampak berbeda dari yang lain.
Satu hal
sebenarnya yang bikin saya tidak suka dengan tokoh-tokoh dalam MG. Nyaris semua
tokoh dibuat layaknya seorang filsuf jadi-jadian. Mereka tak henti-hentinya
mengandaikan sesuatu dengan kehidupan yang tengah mereka jalani. Duduk di tepi
pantai, mereka berfilosofi tentang ombak dan laut; kebetulan melihat burung di
pohon, mereka berfilosofi tentang induk burung; melihat senja dan fajar, mereka
berfilosofi tentang dua fenomena alam itu; melihat harpa, mereka berfilosofi
tentang harpa. Tidak hanya empat hal itu, masih banyak lagi. Ini lumayan
menyebalkan.
Saya mungkin
agak maklum jika semua sifat ‘kefilsufan’ itu hanya dimiliki oleh satu tokoh
saja, dan diwujudkan dalam bentuk narasi, bukan dialog. Rasanya aneh orang yang
tadinya ngobrol biasa tiba-tiba berubah jadi ngobrol dengan bahasan berbunga-bunga
dan serba puitis.
Alur
Kita mulai dari
ide. Agak klise sebenarnya, gadis penyuka fajar dan lelaki penyuka senja.
Sayangnya, dua gelar unik itu seakan tak memberi pengaruh apa pun ke cerita.
Gloria suka fajar dan Avond (gebetannya) suka sebaliknya, senja. Sudah. Segitu
saja. Bahkan, perbedaan itu tak menimbulkan konflik apa pun.
Untuk alur, alurnya
sebenarnya agak rumit, tapi serba tiba-tiba. Maksudnya, dari awal tak pernah
disinggung tentang sesuatu, tapi tiba-tiba sesuatu itu muncul dan menjadi hal
yang sangat penting dan mempengaruhi jalannya cerita. Misalnya tentang kamera
dan harpa. Tak ada dengung apa pun yang menyiratkan bahwa Gloria adalah seorang
pecinta fotografi dan harpa pada awalnya, tapi tiba-tiba Gloria ‘dibuat’ menyukai
kamera hanya untuk memancing munculnya flashback dengan teman masa kecilnya.
Lalu, teman seapartemen Gloria secara tak sengaja memainkan harpa di kamarnya, Gloria
mendengar dan shock, kenangan tentang
harpa tiba-tiba muncul dari masa lalu Gloria dengan ayahnya. Setelah itu,
kamera dan harpa yang tadinya bukan hal penting seakan menjadi hal yang tak
pernah lepas dari Gloria.
Ketiba-tibaan
yang lain adalah perkenalan Gloria dan Avond. Saat itu Gloria sedang duduk di
perpus, Avond datang, minta ijin duduk di tempat kosong di depan Gloria (sampai
sini masih normal). Lalu, tiba-tiba Avond memperkenalkan diri tanpa ada
basa-basi apa pun (mungkin beberapa orang ada yang seperti ini, saya masih
anggap normal). Setelah berkenalan, mereka saling diam sesaat, lalu Avond pamit
pergi (ini baru tidak normal, seakan kedatangan Avond memang khusus untuk
mengetahui nama Gloria). Saya akan maklum jika penulis kemudian menceritakan
sedikit dari POV Avond bahwa ia memang sudah ngebet untuk berkenalan dengan
Gloria. Sayangnya tidak ada, jadi saya simpulkan ini jadi minus untuk buku ini.
Lalu, ada banyak
bolong logika yang tercatat oleh saya. Silakan lihat daftar yang saya buat di
bawah ini:
1.
Seorang Prof yang
menjadi asisten dosen untuk Prof lain.
Saya tidak terlalu paham apakah di Belanda semua
dosen bergelar Prof, bahkan untuk seorang asisten dosen. Agak aneh aja sih.
Biasanya asisten dosen itu berasal dari strata yang lebih rendah. Biasanya
mahasiswa tingkat akhir. Mungkin di Belanda ada perbedaan penyebutan gelar,
siapa tahu?
Dan, lebih luar biasa lagi, umur Avond baru 27 tahun
dan ia sudah bergelar Prof. It’s amazing.
Saya jadi penasaran, umur berapa ya saat Avond meraih gelar sarjana, master,
dan doktor-nya? Karena, jika sarjananya kelar pada umur 22 tahun saja, umur 27
ia paling baru lulus doktor (S3). Padahal, untuk jadi Prof, tidak serta merta
didapat ketika telah selesai S3. Harus ada penelitian dan publikasi internasional
tertentu untuk mendapat gelar Prof setelah lulus S3. Setidaknya seperti itu
yang saya ketahui, mungkin sistem di Belanda berbeda. Please, CMIIW.
2.
Avond nyungsep di ‘belakang’ pintu.
Ini bagian yang bikin saya bolak-balik baca part itu. Saya pikir saya melewatkan
sesuatu, tapi sepertinya tidak. Coba bayangkan kata-kata saya setelah ini: saat
itu kisah diambil dari POV Avond yang baru mau membukakan pintu untuk Gloria.
Saat hendak memutar kenop pintu, tiba-tiba Avond pingsan. Dalam kondisi ini,
seharusnya Avond tergeletak di depan pintu (dari sisi Avond). Seharusnya. Lalu,
POV berpindah ke Gloria yang sudah di depan rumah. Entah bagaimana, pintu bisa tiba-tiba
terbuka. Tapi, saat pintu terbuka, Gloria tak menemukan Avond di depan pintu.
Gloria masih sempat menikmati pemandangan rumah Avond sebelum akhirnya
menemukan Avond nyungsep di belakang
pintu yang telah membuka. Jika kalian bingung, maka sama. Saya pun bingung.
Bagaimana bisa Avond malah berada di belakang pintu? Itulah pertanyaan tak
penting saya.
3.
Terjun ke kanal
saat musim dingin.
Dibanding bolong logika, lebih tepat disebut
‘perilaku terbodoh seorang profesor’. Saat itu, sepeda Gloria secara tak
sengaja tercebur ke kanal karena Avond mendorongnya secara tak sengaja. Dan,
tanpa babibu, Avond langsung terjun ke kanal, seakan sepeda itu akan kehabisan
nafas jika Avond berpikir jernih beberapa waktu saja untuk memikirkan cara
mengambil itu sepeda tanpa harus bertindak bodoh. Ya, saya tahu Avond mau
bertanggung jawab dan bersikap pahlawan, tapi tak perlu seekstrim itu, kan?
Sudah tahu musim dingin, e malah nekat nyemplung
ke air. Tanpa persiapan apa pun, lagi. Hasilnya, sakit. Tentu saja. Saya jadi
tak bersimpati sama sekali saat Avond sakit. Salah sendiri nyebur ke kanal saat musim dingin.
4.
Gloria jadi
pemain harpa di teater.
Ini bagian yang kesannya terlihat sekali
diada-adakan agar Gloria bisa tampil sebagai harpis seperti ayahnya. Tapi,
bukan masalah diada-adakan itu yang membuat saya melabeli bagian ini dengan
bolong logika. Jadi, begini ceritanya. Beberapa minggu sebelum pementasan
teater di kampus Gloria, Bella (teman sekamar Gloria) yang seharusnya mejadi
pemeran utama dalam teater mengalami kecelakaan. Tiba-tiba, Bella meminta
Gloria untuk menggantikan perannya. Padahal sudah ada pemeran pengganti yang
sudah disiapkan. Tapi, Bella tetap ngotot bahwa pemeran pengganti yang
disiapkan tak cocok. Ia tetap ingin Gloria yang menggantikannya. Bolong
Logikanya, Gloria tidak pernah diceritakan terlibat dalam klub teater. Alasan
Bella memilih Gloria hanya karena Gloria sudah membaca novel Blue Smoke (yang
akan dipentaskan di teater itu) hingga tuntas. Kalau begitu, banyak dong pemeran pengganti yang bisa
diambil. Itu baru bolong pertama.
Bolong
berikutnya seperti ini: karena ‘dipaksa’, akhirnya Gloria mau. Tapi, akhirnya
Gloria menyerah karena ia phobia pada api. Padahal dalam teater itu ia berperan
sebagai pemadam kebakaran wanita. Akhirnya, peran dikembalikan ke pemeran
pengganti yang telah disiapkan sebelumnya. Namun, anehnya, tanpa saya ketahui
dengan jelas, tiba-tiba Gloria berganti peran menjadi pemain harpa. Lho, kemana
pemain harpa sebelumnya? Bukankah Alva, yang seharusnya bermain harpa baik-baik
saja? Apa ada yang saya lewatkan? Inilah bolong yang saya rasa paling besar.
Terakhir, buku
ini seharusnya bisa lebih tipis daripada ini. Pada saat pementasan teater,
kenapa semua adegan harus diceritakan lengkap. Ini bukan masalah jika semua
adegan teater yang makan sampai 16 halaman itu punya pengaruh ke cerita,
sayangnya tidak. Pengaruhnya cuma di setengah halaman dari total 16 halaman
itu, yang menunjukkan bahwa Gloria memainkan harpa untuk teater itu. Sudah cuma
itu. Selain itu, ini bisa jadi spoiler
untuk novel Blue Smoke-nya Nora
Roberts. Saya rasa, tak ada satu pembaca pun yang suka spoiler.
Lain-lain
Di bagian ini,
seperti biasa, saya akan komen hal-hal di luar poin-poin yang sudah saya sebut
di atas, salah limanya adalah info tambahan, gaya penulisan, layout, typo, dan
curcol. Info tambahan yang saya dapat di sini adalah mengenai lokasi-lokasi
wisata di Belanda, sedikit alur transportasinya, juga beberapa hal mengenai
belanda. Ada satu hal yang saya suka dari penulis saat menyebut istilah
belanda, terutama makanan. Jika penulis-penulis lain biasanya asal sebut nama
dan tinggal taruh penjelasan di footnote,
berbeda dengan Devi Eka. Ia sebaliknya, tak mencantumkan footnote, tapi meleburkan penjelasan istilah itu dalam narasi. Dan,
saya lebih suka yang seperti ini.
Mengenai gaya
bahasa, seperti yang sudah saya singgung di atas, saya kurang cocok. Gaya
bercerita Devi Eka ini terlalu berbunga. Tidak hanya narasi yang mendayu-dayu
dan harum penuh bunga, tapi dialog-dialognya juga ikut mendayu. Saya petikkan
satu contoh dialog berbunga itu.
“Tidak! Aku akan terus memintamu memakainya, sebelum kau
ambil jaket ini dan kau gunakan!”
“Sudahlah, aku tak apa. Kau pulanglah. Sebentar lagi senja.
Bukankah kau tak menyukai senja? Senja
yang hanya akan memadamkan semua harapanmu? Pulanglah, Gloria.”
“Tapi…”
“Baiklah. Aku akan pinjam jaketmu supaya kau bisa pulang
sebelum senja merangkak dan mengubah langit
menjadi kelam.”
Berikurnya typo.
Untuk typo, bisa dibilang naskah ini cukup bersih. Hanya ada beberapa typo yang
jumlahnya hanya 3, yaitu bangu (hal 165, seharusnya bangku), sang selalu (hal
198, seharusnya sang ibu selalu), dan darit adi (hal 216, harusnya dari tadi).
Saya acungi jempol untuk ini. Penulis dan editor benar-benar jeli.
Kemudian,
tentang layout. Jika di PDM dan beberapa novek DivaPress yang lain sering saya
temui tulisan yang dempet-dempet tak ada sepasi, di novel ini tak ada yang
seperti itu. Beberapa sudah hampir, sebenarnya, tapi masih cukup jauh untuk
dibilang spasi. Poin plus lagi untuk novel ini.
Yang terakhir,
selalu seri curcol. Untuk kesekian kalinya saya dibuat iri setelah baca About
Me-nya, ini adalah novel kedua Devi Eka yang lahir tahun 1993.
“Sialan, lagi-lagi
lebih muda dari saya, dan udah nelurin beberapa novel.” #AkuPopoBanget #Abaikan
Intinya, silakan
simpulkan sendiri seperti apa novel ini. Oh, iya. Saya pernah dengar seorang
reviewer GoodReads bilang bahwa kritik sebuah karya sebatas pada karyanya, bukan
pada si pembuat karya. Jadi, jika saya terkesan ngomel-ngomel, saya hanya ngomelin
bukunya, bukan penulisnya. Semoga omelan saya bisa diambil sebagai pisau asah
untuk karya yang lebih baik di buku selanjutnya.
Sekian review
dari saya, sampai jumpa di review selanjutnya J
Salam,
Dwipatra
Dwipatra
Komentar
Posting Komentar