Langsung ke konten utama

[Cerpen] Panel-Panel Rahasia


Panel-Panel Rahasia
by Dwipatra

Aku tancapkan kunci dan kuakkan pintu itu tergesa-gesa. Macet. Tidak beringsut. Batin dan benakku mengumpat, yang langsung disuarakan oleh mulutku, “Sial!”
Kutarik anak kunci itu dan kucoba lagi. Dengan usaha yang lebih keras, akhirnya bunyi klik lembut terdengar. Kelegaan membanjir. Langsung saja kudorong dengan lembut pintu loker logam yang sudah berkarat di mana-mana itu, seakan bunyi sekecil apa pun akan meneriakkan rahasia besar yang kini tersimpan nyaman di ranselku. Sialnya, sepelan apa pun aku memperlakukan pintu karatan ini, engsel tuanya tetap berkeriut mengerikan.
Kutengok kanan-kiri sebelum aku memasukkan benda dari dalam ranselku ke lemari itu. Menyelidik, memastikan tak ada seorang pun yang tengah memperhatikanku. Bahkan, keluargaku sekali pun. Yah, sebenarnya, memang keluargakulah yang tengah kuhindari saat ini.
***

“Melamun lagi?” Suara gadis muda itu membangunkanku, langsung menarik pandangan mataku padanya. “Kamu sebenarnya kenapa, sih?” tanya wanita itu lagi, setelah aku hanya menatap bingung padanya. “Akhir-akhir ini aku perhatikan kamu lebih sering melamun.”
“Aku baik-baik saja,” jawabku berbohong. Aku sama sekali tak baik-baik saja, sebenarnya. Sayangnya, aku tak ingin siapa pun tahu masalah yang tengah menderaku. Ini bukan jenis masalah yang akan terasa lebih mudah setelah diceritakan. Sebaliknya, ini jenis masalah yang bisa membawa masalah baru bagi orang yang mengetahuinya.
“Kuharap memang begitu, walau wajahmu mengatakan sebaliknya,” sindir Zara, nama gadis di depanku. “Kalau kamu memang baik-baik saja, ayo kita ke sebelah sana.”
Gadis berdarah Indonesia itu menunjuk sudut lain Acropolis Museum. Ke sebuah tempat dengan patung-patung Dewa Yunani yang anggota badannya tak lagi utuh. Beberapa patung sudah kehilangan tangan, kepala, bahkan kakinya. Tapi, ada beberapa patung yang masih cukup utuh. Sesampainya di tempat itu, Zara langsung meneliti setiap patung sambil mengatakan sesuatu yang tak berhasil kuperhatikan. Benakku tengah sibuk memikirkan cara menyelesaikan masalahku. Lalu, begitu aku memandang potongan-potongan relief di dinding tak jauh dari area pamer utama, sebuah ide hinggap di benakku.
“Za, sudah dapat ide untuk tugas akhirmu?” celetukku saat Zara mengamati sebuah patung tanpa kepala.
“Kamu mengabaikan celotehanku lagi?” Ia menoleh padaku, wajahnya mengumbarkan tanya menuduh. “Aku baru saja mengeluhkan hal itu padamu.”
“Maaf.” Aku memasang wajah menyesal. Aku ragu sesaat. Ide ini mungkin bisa jadi berbahaya jika ada orang lain yang tahu. “Apakah aku boleh mengusulkan sebuah ide untukmu?”
Ia menatapku bingung. “Tentu saja. Sejak kapan aku melarang orang menyumbang ide saat aku benar-benar butuh?”
“Tapi, berjanjilah padaku, kamu tak akan mengatakan ide ini berasal dariku.”
“Ya, aku janji.” Zara tampak ragu. “Memang apa idemu?”
Lalu, kukatakan ide itu padanya. Walau masih diliput ragu, ia menerima ide dariku.
***
Keesokan harinya, Zara langsung mengonsultasikan ide dariku pada Mr.Demetriau, dosen pembimbingnya. Mr.Demetriau menyetujui dengan beberapa saran tambahan di beberapa bagian, seperti jenis kayu yang akan dipakai, ukuran kayu tiap panelnya. Tak masalah bagiku. Saran-saran tambahan itu tak akan mengubah apa pun dari tujuan utamaku.
Oh iya, kemarin aku memberikan ide pada Zara untuk membuat ukiran kayu tentang kisah Boreas, sang Dewa Angin Utara untuk tugas akhirnya di Jurusan Seni Patung. Kenapa kisah itu? Aku tak punya alasan khusus, sebenarnya. Hanya saja, kisah itu adalah kisah yang cukup dekat dengan masyarakat Athena, tempat Zara nanti akan memamerkan hasil karyanya.
“Jadi, dari mana kita mulai?” tanya Zara antusias.
“Sewajarnya, kita mulai dari membuat sketsa untuk ukiranmu,” jawabku. “Tapi, biar aku yang mengerjakan bagian ini. Kamu bisa menyiapkan yang lain.”
“Urusan sketsa memang lebih tepat diserahkan ke anak seni lukis,” balas Zara. Sepertinya ia bermaksud bercanda, tapi wajahnya sama sekali tak menunjukkan keinginan untuk bercanda. “Tapi, Donisio, kenapa kamu begitu bersemangat membantu tugas akhirku? Dan, kenapa juga harus ada rahasia untuk ide ini?”
Zara mulai penasaran. Aku tak bisa menyalahkannya, tapi aku juga tak bisa memberitahunya sekarang. “Pertanyaan pertama, karena kamu adalah pacarku. Pertanyaan kedua, suatu saat kamu akan mengetahuinya.”
***
Sejak saat itu, Zara tak pernah lagi menanyakan perihal rahasia itu. Sepertinya, ia mulai benar-benar fokus untuk melancarkan tugas akhirnya.
Semalam, aku sudah selesai mengerjakan sketsa untuk ukiran Zara. Aku membagi kisah Boreas dalam sembilan panel ukuran 60 senti kali 90 senti, seperti yang telah disepakati sebelumnya. Dalam masing-masing panel, aku telah menyelipkan potongan-potongan rahasia yang akan kutitipkan pada Zara. Potongan-potongan rahasia yang akan ia ketahui suatu hari nanti, jika aku terpaksa pergi darinya.
***
Sial! Kupikir aku punya lebih banyak waktu untuk mempersiapkan segalanya.
Dua bulan telah berlalu sejak aku menyerahkan sketsa buatanku pada Zara. Kini, baru tiga panel yang telah berhasil ia selesaikan. Masih ada enam panel lagi. Namun, semalam aku mendapat kabar dari informan terpercayaku bahwa rahasia yang kutitipkan pada Zara harus kutinggalkan sebelum tiap kepingannya benar-benar utuh.
Sesorang yang selama ini mengincarku telah mengetahui bahwa aku tinggal di Athena. Selama bertahun-tahun ini ia telah mengincar nyawaku, demi sebuah harta karun keluarga, yang sayangnya tak bisa kuberikan dengan mudah padanya. Orang itu adalah kakakku sendiri, kakak tiriku sebenarnya. Setelah mengetahui di mana aku tinggal, ia hanya butuh waktu beberapa hari untuk benar-benar menemuiku dengan pisau yang siap menikamku. Jadi, paling tidak, besok aku harus sudah pergi dari Athena, dan malam ini aku harus menyelesaikan potongan lain dari rahasia itu, yang menjadi bagianku.
***
“Apa-apaan ini?!”
Zara marah, juga ketakutan. Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk matanya.
Aku baru saja memberitahunya bahwa aku harus pergi dari Athena besok. Kujelaskan padanya kenapa aku harus pergi. “Maafkan aku,” bisikku sambil memeluknya.
Ia tak menjawab. Aku hanya bisa merasakan getaran bahunya yang terguncang oleh tangis. “Kenapa harus setiba-tiba ini?”
“Karena aku tak pernah benar-benar bisa jujur tentang semua ini,” jawabku. “Aku takut masalahku hanya akan menjadi beban bagimu.”
Guncangan tubuhnya makin tak terkendali. Ia terisak makin keras. Aku pun mulai terpengaruh. Rasa panikku berubah menjadi sedih. Mataku memanas dan mengabur. Untuk waktu yang sangat lama, kami saling terdiam dalam pelukan satu sama lain. Menyadari bahwa setelah pelukan ini terlepas, mungkin tak akan ada pelukan lain di antara kami.
Perlahan, kulepas pelukan itu. Kutegakkan tubuh Zara yang masih bergetar hebat. Kupandangi wajahnya dalam-dalam, kuharap bukan untuk terakhir kalinya.
Kuambil sebuah anak kunci dari dalam saku celanaku, lalu kuangsurkan ke tangan Zara yang lemas. “Kutitipkan kunci ini padamu.”
“Kunci apa ini?” tanya Zara lemah.
“Kunci tempatku menyimpan benda berharga yang kulindungi,” jawabku. Aku tak terlalu berharap Zara akan benar-benar mampu menyerap detail kata-kataku. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Ini satu-satunya kesempatan yang kumiliki. “Kamu akan mendapatkan petunjuk di mana letak tempat itu setelah panel-panel ukiranmu selesai. Saat kamu susun dengan posisi seperti yang dulu sempat kita diskusikan, kamu akan tahu ke mana kamu harus pergi mencari tempat itu.”
Zara masih terdiam. Membisu dengan wajah tertunduk.
“Tapi, jika kamu tak mau menerima kunci ini, tak masalah. Akan…”
“Kenapa aku?” potong Zara tiba-tiba. “Kenapa tak kamu serahkan saja benda itu pada kakak tirimu?”
“Aku tak bisa. Aku tak akan pernah rela menyerahkan harta terakhir ibuku pada ayah dan kakak tiriku. Mereka telah dengan kejam membunuh ibuku demi benda itu. Aku lebih rela menyerahkan benda itu pada orang lain daripada kepada mereka. Dan, aku memilihmu.”
***
Gadis itu mematung di depan deretan loker karatan itu. Di tangannya, tergenggam sebuah anak kunci yang beberapa bulan lalu diangsurkan oleh seorang pemuda padanya, pemuda yang hendak meninggalkannya, dan memang benar-benar meninggalkannya. Bahkan, hingga kini, pemuda itu masih tak terdengar kabarnya.
Semalam, gadis itu telah menyelesaikan seluruh panel ukiran yang mesti ia selesaikan. Ia langsung sigap menyusun panel-panel ukirannya di lantai, hanya untuk menguak sebentuk benda yang tak asing baginya. Dari potongan-potongan panel itu, di antara tebaran sosok Boreas, Oreithyia, dan para Boreads, sebuah benda kotak menyembul. Gadis itu mengenalinya benda kotak itu, sebuah loker yang dulu sering ia gunakan bersama pemuda itu. Bukan loker biasa tentunya, itu adalah loker rusak yang kini teronggok di belakang kampus mereka.
Dan, di depan deretan loker bobrok itulah gadis itu mematung sekarang. Pelan, gadis itu mulai mendekati salah satu loker bobrok itu. Ia telah hapal dengan pasti letaknya. Tiga dari kanan. Anak kunci dimasukkan, diputar dengan usaha melebihi keharusan, dan pintu loker itu terkuak.
Sebuah kotak kayu langsung menyerang pandangan gadis itu, tampak mencolok di dalam loker kusam itu. Gadis itu meraih benda itu, membukanya. Sengatan listrik seakan menjalari tubuhnya ketika ia melihat apa yang ada di dalam kotak itu. Segala jenis batu mulia yang pernah dibayangkan gadis itu ada di dalam sana. Rubi, safir, lapis lazuli, zamrud, bahkan batu-batu berkilau lain yang tak diketahui gadis itu. Tapi, di balik semua itu, ada satu hal yang jauh lebih menyengat. Sebuah pesan dalam selembar kertas kecil.

Jika aku belum menghubungimu lagi sebulan setelah aku meninggalkanmu, maka itu hanya berarti satu hal: aku telah pergi dari dunia ini.

~Selesai~


Note: Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan #KalimatPertama @KampusFiksi, tiga kalimat pertama diambil dari novel Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k