Judul : Gadis 360 Hari yang Lalu
Penulis : Sayfullan, dkk.
Penerbit : deTEENs (Diva Press Group)
Tebal : 376 Halaman
Tahun terbit : Juni 2014
"Gadis 360
Hari yang Lalu" adalah kumpulan cerpen karya alumnus terpilih #KampusFiksi
angkatan 1-5 yang dikumpulkan dalam #KampusFiksiEmas. Banyak penulis dalam
antologi ini yang sudah melahirkan novel pribadi, sebagian besar, setahu saya.
Saya ngasih 3.5/5
sebenarnya, tapi saya bulatkan ke atas menjadi 4 di goodreads.com.
Cerpen-cerpen yang ada di antologi Gadis 360 Hari yang Lalu ini memiliki satu kesamaan, yaitu mengangkat kearifan lokal dari sudut-sudut wilayah Indonesia. Beberapa tempat mungkin sudah cukup dikenal, tapi beberapa tempat mungkin sangat baru bagi pembaca. Oke, tanpa berpanjang-panjang lagi, mari kita mulai komentar-komentar tentang kumcer ini...
Secara
keseluruhan, saya takjub dengan kumpulan cerpen ini. Bukan lantaran ceritanya
yang wah luar biasa, tapi berbagai setting (lokal) yang dihadirkan dalam
kumpulan cerpen ini berhasil membuat saya sadar betapa kayanya budaya
Indonesia. Banyak dari tempat itu yang sangat asing di telinga saya. Setting
yang paling nemplok di benak saya adalah setting yang dipakai Devi Eka dalam
cerpennya Istana Api, walau ceritanya sendiri saya kurang suka. Sorry.
Secara cerita,
tema yang diangkat hampir-hampir sama antara satu cerita dengan cerita yang
lain. Semuanya hampir berputar pada masalah "cinta
terlarang"/"cinta beda suku"/"cinta berbentur adat".
Hanya beberapa cerpen saja yang mengambil tema lain selain tema yang sudah saya
sebutkan di atas. Salah satunya adalah cerpen Farrahnanda, yang judulnya Darah Koteklema dan Air Mata Lama Fa.
Saya agak sulit
ngasih review panjang untuk kumcer. Jadi, ngasih komennya yang umum-umum aja,
ya (alesan). Meski begitu, dari 20 cerpen yang ada, saya punya 5 cerpen favorit
(versi saya), yaitu:
1.
Gadis 360 Hari yang Lalu, karya Sayfullan
Yang paling
menonjol dari cerpen pemenang #KampusFiksiEmas ini adalah teknik penyajiannya
yang dibuat mundur, entah apa sebutannya. Di cerpen ini juga pertama kalinya
saya ketemu cerita yang endingnya di depan. Nah lho, makin bingung, kan?
2.
Wajah Petaka dan Teladan, karya Adiyarakhman
Cerpen ini bagus
banget, syairnya apa lagi. Bahasa yang digunakan bikin iri penulis pemula. Rada
gelap. Pokoknya mesti baca untuk tahu. Sampai sekarang saya masih bingung
memutuskan cerpen mana yang lebih bagus antara cerpen ini dengan Cerpen Mas
Sayfullan.
3.
Kabar untuk Galuh dari Lumpang, karya Reza Nufa
Tida berbeda
jauh dengan karya Mas Sayfullan dan Mas Adit, bahasa yang dipakai Mas Reza juga
bikin iri. Kadang perlu beberapa kali baca untuk benar-benar menangkap
maksudnya. Tapi, yang paling saya suka dari cerpen ini adalah endingnya.
4.
Darah Koteklema dan Air Mata Lama Fa, karya Farrahnanda.
Ditengah
cerpen-cerpen yang membahas cinta antarmanusia, pria-wanita, cerpen ini muncul
dengan keunikan tersendiri berupa kisah cinta seorang anak laki-laki dengan
seekor paus. Saya suka bagaimana Farrah mengenalkan tokoh-tokohnya,
memperkenalkan keakraban tokoh utama dengan paus itu, ditambah dengan dialek
khas timur Indonesia, nuansa lokal cerpen ini lengkap sudah.
5.
Pelangi; Sekeping Kebahagiaan di Balik Kabut, karya Elisa S.
Yang saya suka
dari cerpen ini adalah bagaimana penulis menggambarkan kecemburuan dua
bersahabat itu, yang persahabatannya harus renggang karena suatu masalah.
Pokoknya saya suka cerpen ini. Titik. (Alasan nggak mutu :P)
Untuk
cerpen-cerpen lain, saya hanya sekedar menikmati (atau sebal, pada beberapa).
Tapi, setiap cerpen memberikan gambaran kepada saya betapa Indonesia begitu
kaya dengan tempat yang perlu dieksplorasi.
Salam,
Dwipatra
Komentar
Posting Komentar