Langsung ke konten utama

VANDARIA SAGA

Vandaria Saga
Secret of the Dragon Era
Oleh: Mahfud Asa

Sejarah Vandaria memang menyebutkan adanya era kaum naga, tapi tak banyak yang tertulis. Sangat sedikit informasi mengenai keberadaan mereka. Bahkan kemunculan dan kemusnahan mereka pun hanya ditulis dalam satu kata pendek, tiba-tiba. Asal kalian tahu, tak pernah ada sebuah era pun yang lahir dari sebuah kata tiba-tiba. Semua pasti ada penyebabnya, termasuk kebangkitan kaum naga. Karena kamilah yang membangkitkan mereka.
***
Sebenarnya aku tidak terlalu setuju dengan misi ini. Selain merasa tak mampu, aku juga merasa misi ini hanyalah sebuah kemustahilan. Selama ini baik kaum manusia maupun kami kami, kaum Frameless tidak pernah mempercayai keberadaan naga di Vandaria. Naga hanyalah mahluk penghuni dongeng-dongeng yang berkembang di Vandaria. Seperti itulah anggapan kami terhadap naga, yah paling tidak sampai sesaat sebelum Xaverite Dol’Amroth, kepala suku kami menyatakan keinginannya untuk melakukan misi pencarian naga.
“Ini adalah kesempatan emas bagi kita,” ujar Xaverite semangat kala itu di pertemuan akbar suku Dol’Amroth. “Dengan bantuan kaum naga, kita akan meruntuhkan kejayaan negeri Isfaris.”
Sorak sorai kegembiraan langsung menggema di aula berkapasitas lebih dari seribu orang ini. Memang selalu begitu, janji akan keruntuhan negeri Isfaris selalu mendapat sambutan yang luar biasa dari para Frameless. Bagaimana tidak, negeri Isfaris merupakan negeri kaum manusia, mahluk yang dianggap rendah oleh kaum Frameless.
Frameless tidak pernah rela jika ada satu manusia pun yang lebih unggul daripada Frameless. Dan negeri Isfaris kini melakukannya. Dengan kemampuan penangkalan sihir dan kekuatan militer yang tangguh, negeri Isfaris menguasai hampir seluruh daratan utama Vandaria. Dalam pertarungan, sihir Frameless jadi tak berguna di hadapan mereka, padahal para Frameless tidak pernah mendapat latihan untuk pertarungan non-sihir.
“Baiklah,” ujar Xaverite sambil bangkit dari singgasananya. “Aku telah memilih beberapa kesatria yang akan menemaniku terjun dalam misi ini. Aku tidak mengharuskan mereka untuk ikut, tapi aku punya pujian yang pantas untuk mereka jika mereka menolak.”
Aku tersenyum mencibir. Jelas bukan pujian yang akan mereka dapat jika mereka berani menolak. Mungkin aku bisa memperkirakan kata-kata itu. “Menjadi manusia mungkin pilihan yang lebih baik bagimu.” Paling tidak kata-kata semacam itulah yang akan mereka terima jika berani menolak, dan itu adalah ejekan terburuk yang mampu diterima seorang Frameless.
“Brand, Vand, Luften, Jorden,” panggil Xaverite. “Bergabunglah bersamaku dalam misi mulia ini.”
Keempat Frameless itu langsung berdiri, melangkah dengan keanggunan khas Frameless menuju ke arah Xaverite. Tak heran jika mereka dipilih oleh Xaverite. Mereka adalah kesatria-kesatria tangguh Dol’Amroth. Brand dengan sihir elemen apinya, Jorden dengan sihir elemen tanahnya, Vand dengan sihir elemen airnya, dan satu-satunya kesatria wanita pengguna elemen udara, Luften. Keberadaan mereka berempat dalam sebuah misi akan memberikan pasokan tenaga yang luar biasa. Tapi walau bagaimanapun berhadapan dengan naga, jika memang ada, akan lain ceritanya.
“Dan seorang lagi,” tambah Xaverite. “Sind, bergabunglah dengan kami.”
Jantungku langsung berdetak keras, tak ada irama sama sekali di sana. Apa Xaverite tak salah sebut nama? Apa yang bisa aku lakukan? Oke, aku memang punya kekuatan lebih dari rata-rata, tapi bukan kekuatan sihir elemen alam. Sihirku adalah sihir pikiran. Apakah dengan kemampuanku akan mampu melumpuhkan naga-naga yang akan aku temui nanti? Ah, entahlah. Hal terpenting sekarang adalah segera bangkit dan bergabung dengan Xaverite, sebelum hinaan yang sudah aku perkirakan tadi ditimpakan dengan hina padaku.
Walau aku tak begitu yakin, aku bangkit. Melangkah ke arah Xaverite dan kesatria-kesatrianya. Di belakangku, sorak sorai semakin memekakkan telinga. Seharusnya aku bangga. Oh tidak, tiba-tiba pikiran menuduh terbersit dalam benakku. Mungkin aku hanya akan jadi umpan naga. Tak perlulah aku bangga, menjadi umpan naga bukan sesuatu yang patut untuk dibanggakan.
Aku semakin dekat dengan Xaverite. Walau terpaksa aku terus melangkah. Setiap langkah yang aku ambil adalah ungkapan persetujuan yang tak terungkap.
***
Dan di sinilah aku sekarang. Sebagai konsekuensi atas persetujuanku, kini aku bersama Xaverite dan kesatria yang lain terdampar di sebuah pulau aneh tak berpenghuni, Pulau Lyooth. Pulau Lyooth adalah sebuah pulau kecil di sebelah tenggara daratan utama Vandaria. Berbeda dengan daratan utama yang cenderung gersang, pulau ini begitu subur dan indah. Berbagai tumbuhan yang belum pernah aku lihat tumbuh subur di pulau ini. Hewan-hewan liar berlarian kesana-kemari, menciptakan suasana alami yang indah dan asing.
Tapi di balik keindahan itu, aku merasa ada bahaya yang mengancam. Tak heran jika Xaverite meyakini keberadaan naga di pulau ini. Di sini mitos tentang naga lebih mungkin terjadi dari pada di daratan utama.
“Kita sudah sampai,” seru Xaverite di depan mulut sebuah gua aneh. “Ini adalah gua yang diyakini kakek buyutku sebagai sarang naga.”
Kami menatap tajam ke mulut gua. Tak ada apapun yang mampu aku lihat, kecuali kegelapan. Xaverite melangkah maju mendekati mulut gua. Hampir mencapai bibir gua, ia berbalik ke arah kami. Rambut putih kelabu panjangnya mengibas mengikuti gerakannya. Matanya menatap tajam pada kami. Bola mata asimetrisnya, berwarna biru tua dan biru kehijauan, memancarkan kesungguhan yang kuat.
“Aku yakinkan kalian sekali lagi,” ujarnya dingin. “Mulut gua ini adalah pintu menuju kemenangan bagi kita, tapi juga bisa menjadi pintu menuju kematian.” Xaverite berbalik. Mengankat tangan kanannya dan memunculkan bola api. Lalu dengan mantap melangkah masuk kedalam gua.
Kami meniru Xaverite. Memuncukan bola api di tangan sebagai penerang. Aku memang bukan pengguna sihir api yang handal, tapi kalau hanya sihir pemula seperti ini aku bisa. Pada dasarnya semua Frameless memiliki semua elemen sihir dalam dirinya. Tinggal elemen mana yang dominan dan sesuai bakat.
Dengan sedikit keraguan dan rasa takut yang masih menggelayuti diriku, aku mantapkan diri melangkah masuk ke dalam gua. Terlindung dari sinar matahari, pendar bola api makin kuat menerangi lingkungan gua di sekitar kami.
Dinding gua berupa dinding batu coklat kelam kasar. Lantainya tak kalah kasar. Beberapa batu mencuat di beberapa tempat, sangat tepat sebagai batu sandungan. Dan langit-langit nampak seperti kumpulan batu yang mau runtuh. Melihat hal itu kerisauanku makin menjadi-jadi.
Entah berapa ribu langkah yang sudah kami tempuh saat kami dibingungkan oleh sebuah pecabangan. Di depan kami kini terdapat dua lubang jalan yang arahnya tak jelas ke mana. Yang pasti salah satu dari lubang ini akan membawa kami ke sarang naga.
“Sepertinya kita harus membagi kelompok ini menjadi dua,” usul Brand.
“Aku tidak yakin itu pilihan terbaik,” Luften tidak setuju.
“Sampai kita menemukan ide yang lebih baik, aku rasa memang inilah yang harus kita lakukan,” Xaverite menyetujui usulan Brand.
Xaverite membagi kelompok menjadi dua. Aku, Xaverite, dan Brand berada pada satu kelompok. Jorden, Vand, dan Luften pada kelompok yang lain.
“Ingat jika kalian menemui jalan buntu, kembalilah dan ikuti kami. Kami juga akan melakukan hal yang sama jika kami menemui jalan buntu,” peringat Xaverite pada kelompok Jorden.
“Baik,” jawab Jorden sambil mengikuti Vand dan Luften yang sudah masuk ke dalam lubang.
Aku, Xaverite, dan Brand segera memasuki lubang yang lain. Masih dengan bola api di tangan, aku kembali memperhatikan sekelilingku. Tak banyak yang berubah, hanya nampaknya semakin lembab. Sekilas aku melihat lumut tumbuh di beberapa tempat.
Semakin jauh, aku semakin merasakan kebosanan. Tak ada yang menarik di sini. Perbincangan pun tidak ada. Entah untuk alasan apa, Xaverite melarang kami berbincang-bincang.
Kembalilah, sebuah suara tiba-tiba berdenting di benakku. Sangat nyata, senyata jika aku mendengarnya dengan telinga. Aku sudah sering mengalami hal ini dan aku paham apa ini. Yah, inilah telepati.
Siapa kau? Tanyaku berbalik menelepati.
Itu tidak penting, jawabnya angkuh. Aku peringatkan sekali lagi. Kembalilah atau kalian akan kehilangan kesempatan itu.
Sampai detik ini aku memutuskan hubungan telepatiku. Entah siapa, tapi sepertinya seseorang telah berada di sini terlebih dahulu. Kini ia tengah memperingatkanku, memperingatkan kami semua.
“Apa kalian mendengar peringatan itu?” tanyaku.
Mereka berhenti. Otomatis aku yang berada di belakang mereka juga ikut berhenti. Xaverite menatapku dengan tatapan curiga, “aku tak mendengar seorang pun bicara.”
“Kalian yakin tak mendengar peringatan telepatis itu?”
“Telepatis?” Xaverite tampak terkejut. “Tak salah lagi itu pasti sang naga.”
Brand menampakkan raut muka tak percaya. Aku pun demikian, mahluk mitologi yang selama ini tidak pernah aku percayai telah berbicara padaku, “tapi kenapa hanya aku yang mendengarnya?”
“Itulah alasan kenapa aku memilihmu. Tidak semua orang bisa berbicara dengan naga. Hanya sihir pikiran setingkat dirimulah yang mampu melakukannya,” jawab Xaverite. Aku merasa malu mendengar jawaban Xaverite. Ternyata selama ini aku telah berprasangka buruk. “Sebaiknya kita tak terlalu lama di sini. Aku yakin para naga sudah tidak sabar menanti kedatangan kita.” Tambah xaverite seraya berlari meninggalkanku dan Brand yang masih mematung.
Tak lama berselang, Brand pun bergegas menyusul Xaverite. Aku pun tak mau tertinggal dan terpaksa tersesat sendiri di gua ini. Jika tak beruntung mungkin aku akan bertemu naga. Menjadi santapan naga bukan alternatif kematian yang aku pilih.
Terus berlari, aku berhasil menyusul Xaverite dan Brand. Entah Cuma perasaanku saja atau memang nyata, aku merasakan lubang gua ini semakin terang. Walau remang-remang aku bisa merasakan perbedaannya.
Oh, memang bukan hanya perasaanku. Setelah berlari lebih jauh, di depan kami mulai nampak setitik cahaya putih. Kami tahu apa artinya itu. Pintu keluar sudah tampak. Semakin dekat, lubang itu semakin jelas. Cahaya yang berjejalan masuk semakin banyak. Merasa sudah tak diperlukan, aku mematikan bola api di tanganku.
Dalam beberapa langkah lagi kami akan segera menembus lubang itu. Semakin dekat aku merasakan serbuan rasa takut yang luar biasa. Pikiranku kacau, dipenuhi pikiran-pikiran menakutkan. Bagaimana kalau di balik lubang itu seribu naga telah menunggu untuk membantai kami?
Ketakutan memaksaku untuk memelankan langkahku hingga berhenti. Aku telah tertinggal dari Xaverite dan Brand yang sepertinya tak peduli dengan apa yang ada di balik lubang itu. Mereka sudah sangat dekat dengan pintu keluar. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, dan mereka hilang ditelan kumpulan cahaya putih keemasan.
Aku masih membeku dalam ketakutan saat tiba-tiba terdengar jeritan kesakitan dan raungan buas dari balik lubang. Menjalar masuk ke lorong gua tempatku berada dan menyumbat telingaku. Luften?
Seandainya kondisi psikisku sedang damai, mungkin aku akan gemetar ketakutan. Tapi sudah kepalang basah, kondisi psikisku sudah kacau. Bukannya gemetar ketakutan, aku justru berlari ke ujung lubang. Rasa penasaran akan keadaan teman-temanku menyeretku untuk menembus kumpulan cahaya ini.
Perbedaan intensitas cahaya membuat mataku kehilangan orientasi untuk sementara. Selama beberapa saat aku hanya mampu melihat warna putih. Berangsur-angsur, sejalan dengan adaptasi yang dilakukan oleh mataku, aku mulai bisa menyerap detil tempat baruku.
Tempat baruku sangat mengejutkan. Sangat jauh berbeda dari seluruh gua yang sudah aku lalui. Tempat ini sangat tidak pantas disebut gua, aula istana mungkin lebih tepat.
Tak ada dinding batu kasar, tak ada lantai penuh batu sandungan, dan tak ada langit-langit dengan batu-batu yang akan runtuh. Sebaliknya, dinding berupa dinding batu mulus tanpa cela, kecuali dua lubang masuk ke tempat ini. Lantai berupa tatanan batu kotak-kotak yang tertata rapi. Dan langit-langit berubah menjadi langit-langit tinggi melengkung seperti bagian dalam kubah yang dipuncaki oleh lubang besar tempat cahaya matahari dengan leluasa menerobos masuk.
Yang lebih mengagumkan lagi adalah tujuh buah pilar raksasa penyangga langit-langit berlubang. Berjajar melingkar mengelilingi lantai bagian tengah yang posisinya sedikit lebih tinggi dari tempat di sekelilingnya. Aku memperkirakan tingginya puluhan kali lebih tinggi daripada tubuhku.
Yah, itu adalah hiburan yang menyenangkan di tengah kenyataan pahit yang harus aku temui di tempat luar biasa ini. Kenyataan yang luar biasa mengerikan.
Dua ekor reptil bersayap terbang rendah di antara pilar-pilar, menghindari serangan dari Frameless-Frameless di bawah mereka. Seekor naga berkulit coklat mengkilap mencoba menghindari sebuah kilatan cahaya menyerupai petir. Sedangkan naga lain, yang berkulit kelam, mengepakkan sayap bersisiknya, membumbung tinggi ke atas para Frameless. Ekor panjang berdurinya menggantung tegang di belakangnya.
Para Frameless terus menyerang. Kadang semburan api, kadang bongkahan-bongkahan batu berujung tajam, kadang kilatan cahaya yang membutakan. Tapi tak sekali pun aku melihat semburan air Vand dan serangan badai udara Luften.
Mataku langsung nyalang mencari dan menelanjangi sosok para Frameless. Tak ada Vand dan Luften di area pertarungan. Beralih ke tempat lain, aku akhirnya menemukan mereka tergolek tak berdaya di dekat pilar, terlindung dari para naga. Oh tidak, ini bahkan lebih buruk. Naga memang bukan musuh yang ringan. Aku merasa pertarungan yang sedang terjadi akan berakhir buruk bagi Frameless.
“Grahh…”
Auman keras keluar dari mulut naga berkulit coklat yang kini tengah terkapar di lantai. Mulutnya terbuka lebar, menampakkan deretan gigi tajam nan mengerikan. Tampaknya tidak butuh energi lebih untuk sekedar merobek kulit pucat para Frameless.
 Naga itu pasti terkena sihir cahaya Xaverite. Sihir cahaya Xaverite merupakan sihir yang merepotkan, bisa jadi mematikan. Pasalnya jika sihir itu mengenai Frameless, maka untuk beberapa saat semua energi sihir akan luntur dari tubuh Frameless tersebut. Sedangkan bagi manusia sihir itu akan menghancurkan koordinasi gerak anggota tubuh. Sepertinya itu juga berlaku untuk naga.
Sementara itu naga kulit kelam masih terus menghindari serangan dari para Frameless sambil berkali-kali menyemburkan api dari mulutnya. Para Frameless dengan lihai menghindari serangan balasan itu sambil terus melontarkan serangan.
Jorden kini tengah memunculkan puluhan tombak batu dari dinding. Dengan cepat, tombak-tombak itu meluncur ganas ke sang naga. Sang naga mengibaskan sayapnya kuat-kuat. Tiba-tiba badai udara menghantam tombak-tombak batu yang sedang meluncur ke arahnya, menyebabkan gerak tombak menjadi labil dan pada akhirnya berjatuhan ke lantai.
Belum selesai direpotkan oleh Jorden, sang naga harus kembali bekerja keras menghalau serangan dari Brand dan Xaverite. Bola api raksasa berkali-kali meluncur ke sang naga. Sementara itu kilatan petir mulai menyambar-nyambar di udara. Sampai tahap ini sang naga masih bisa bertahan, tapi aku tak tahu kelanjutannya.
Aku telah memejamkan mata saat terdengar raungan kesakitan sang naga. Bunyi berdebum keras mengiringi. Sang naga telah takluk.
Aku terus memejamkan mata. Berkonsentrasi menemukan energi psikis naga yang tadi berbicara padaku. Pasti bukan salah satu dari naga-naga itu, mungkin ada yang lain. Tak berhasil menemukannya, aku mencoba mengirim pesan telepatis. Apakah kau salah satu dari naga yang tengah bertarung dengan teman-temanku?
Tidak terlalu lama ia menjawab, bukan. Aku masih di singgasanaku.
Singgasana? Apa kau sang raja?
Ya, jawabnya. Mereka hanya dua dari ratusan prajurit yang aku miliki.
Ratusan?
Ya, jawabnya tegas.
Baik, ujarku mencoba menenangkan diri. Sebenarnya kami datang kemari hanya untuk menawarkan kerjasama dengan kalian. Aku tak yakin dengan diplomasiku, tapi ini patut dicoba. Kami butuh kalian untuk melawan manusia.
Kalian ingin menjadikan kaumku sebagai senjata perang?
Sekutu perang jika aku boleh mengoreksi, kataku mencoba mengurangi ketegangan.
Sang raja tidak langsung menjawab. Cukup lama aku menunggu hingga akhirnya ia kembali bicara, jika kalian menyanggupi syarat kami.
Kita bisa membicarakannya, kataku. Tapi kumohon suruh prajuritmu untuk bersikap ramah pada tamu.
Kalian juga. Bersikaplah sopan di rumahku.
Kita hentikan peperangan kecil ini, ujarku menyetujui.
Aku membuka mata. Memfokuskan pandangan pada teman-temanku yang tengah bergulat dengan naga kulit kelam yang sudah kembali ke kondisi tempurnya. Aku mengirim pesan telepati kepada mereka, berhentilah bertarung! Membunuh mereka tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Yang kita butuhkan adalah berbicara pada raja mereka.
Mereka terkesiap memandangku. Lalu kembali mewaspadai para naga yang sudah sedikit tenang, sepertinya mereka  juga sudah mendapat peringatan.
Apa maksudmu?
Mereka hanya dua dari ratusan prajurit sang raja, jawabku. Sebagai ganti pertarungan ini, aku telah menawarkan diplomasi pada sang raja.
Apa kau yakin? Brand bertanya curiga.
Aku yakin, jawabku mantap. Lihatlah naga-naga itu. Mereka juga telah diperingatkan.
Mereka memandang tak percaya pada naga kulit kelam. Agresifitas telah luntur darinya. Ia kini berdiri tenang dengan keempat kakinya. Sayap ditekuk di samping tubuh besarnya. Melihat hal itu teman-temanku mengendurkan serangannya.
Bola-bola api tiba-tiba lenyap dari tangan Brand. Ratusan pisau yang mengambang di sekitar Jorden tiba-tiba meluncur ketangannya dan lenyap begitu menyentuh kulit Jorden. Sementara itu Xaverite menarik sihir cahaya dari naga kulit coklat. Merasa bebas, naga itu bangkit dan memposisikan diri persis seperti temannya.
Sekarang bagaimana? Tanyaku pada sang raja. Dimana kita bisa berunding dengan tenang?
Naiklah ke Arexa dan Zarha. Mereka akan mengantar kalian padaku.
Kuasumsikan itu adalah nama-nama prajuritmu.
Aku tak mendapat jawaban apa pun lagi. Itu berarti persetujuan. Dengan cepat, sedikit menggunakan sihir udara, aku berlari ke arah teman-temanku. Saat melewati tubuh Vand dan Luften, aku menyadari satu hal. Mereka masih hidup, tapi sepertinya dalam keadaan yang tidak baik. Aku paham perbedaan Frameless yang masih hidup dan yang sudah mati. Selalu ada cahaya yang terpancar dari kulit Frameless. Walau tidak berpendar terang, tapi mata Framelessku bisa melihatnya. Cahaya itu akan lenyap bila nyawa sudah meninggalkan tubuh Frameless. Vand dan Luften masih memancarkan cahaya itu.
Bukannya tambah semangat, tiba-tiba keraguan yang entah muncul dari mana semerbak di perasaanku. Aku menghawatirkan keberhasilan diplomasi ini. Sejujurnya aku tidak tahu apa yang akan aku negosiasikan. Tadi, aku hanya ingin menghentikan peperangan yang sempat terjadi. Tapi aku yakin Xaverite punya rencana lain selain bertarung dengan para naga. Buktinya ia tidak memprotes ketika aku mengumumkan diplomasi ini.
“Naiklah ke naga-naga itu,” perintahku seketika setelah aku bergabung dengan mereka. “Mereka akan mengantar kita ke sang raja.”
“Kau ikut denganku,” ajak Xaverite padaku. “Brand, kau dengan jorden.”
Brand dan jorden mengangguk dalam diam. Tanpa peringatan, tiba-tiba jorden melakukan atraksi dengan sihir andalannya. Atraksinya juga memberikanku ide bagaimana menaiki naga yang tingginya hampir dua kali tubuhku.
Jorden menyihir lantai tempatnya berpijak, mengangkatnya hingga setinggi tengkuk sang naga. Otomatis tubuhnya juga ikut terangkat. Menyeimbangkan tubuh, Jorden melompat ke tengkuk sang naga kulit coklat. Xaverite dan Brand melakukan lompatan tinggi dengan sihir udara. Xaverite mendarat di tengkuk naga kulit kelam dan Brand bergabung dengan Jorden. Sedangkan diriku meniru jorden dan bergabung dengan Xaverite di tengkuk naga kulit kelam.
Tanpa perintah, naga-naga itu mulai menjalankan tugasnya. Terbang rendah, mereka berputar masuk ke dalam barisan pilar melingkar. Pelan-pelan para naga menaikkan ketinggiannya. Kepakan demi kepakan sayap semakin membawa kami membumbung tinggi. Sampai tahap ini aku sama sekali tidak memiliki gambaran apa yang akan dilakukan oleh sang naga.
Kami hampir mencapai separuh tinggi pilar saat sang naga berhenti, mengarahkan pandangan ke lantai, seakan mencari sesuatu yang hanya tampak dari ketinggian.
Berpeganglah kuat-kuat, perintah sebuah suara dalam kepalaku. Bukan sang raja naga, bukan pula teman-temanku. Yang bisa aku pikirkan hanyalah naga yang kami tunggangi.
“Aku tak tahu apa yang akan mereka lakukan, tapi mereka menyuruh kita untuk berpegangan,” teriakku pada teman-temanku.
Aku sendiri belum sempat berpegangan ketika sang naga menghujamkan dirinya ke bawah. Dengan susah payah, aku meraih tubuh Xaverite dan menjadikannya pegangan. Sampai-sampai aku luput memperhatikan tingkah sang naga. Aku terlalu sibuk menenangkan diri.
Saat kembali fokus, kudapati pemandangan yang lebih tidak menyenangkan. Dari mulut sang naga tersembur api yang luar biasa dahsyat, memanggang lantai di bagian tengah ruangan. Semburan api semakin menggila seiring meningkatnya kecepatan luncur sang naga.
Ini baru masalah pertama, masalah berikutnya ada pada kecepatan dan lantai yang semakin dekat. Aku ragu sang naga akan menubrukkan diri ke lantai, tapi sepertinya tak ada opsi lain yang mampu aku pikirkan.
Jarak ujung tanduk naga dengan lantai tak sampai setinggi tubuhku dan aku belum melihat niat sang naga untuk mengurangi kecepatannya. Justru, dari terpaan anginnya, aku merasa kecepatannya meningkat. Dan prasangkaku terbukti ketika aku merasakan hentakan yang luar biasa. Suara menggelegar mengiringi tumbukan kepala dua ekor naga dengan lantai batu. Aku semakin kuat mencengkeram Xaverite, mencoba mengimbangi getaran yang timbul.
Lantai batu hancur. Debu mengepul, menciptakan pandangan yang mengabur. Di balik kepulan debu, aku melihat lubang besar terbentuk di lantai. Lubang itu seperti sumur yang menghubungkan ruangan ini dengan suatu tempat di bawah. Tanpa jeda, sang naga melesakkan diri ke lubang itu. Menyusuri lorong vertikal itu masih dalam kecepatan yang tinggi.
Perjalanan udara tidak berlangsung lama. Sang naga menapakkan kakinya di sebuah ruang bawah tanah yang tak kalah hebat dengan ruangan di atas. Luas ruangan ini hampir dua kali lipat, pilar-pilar semakin banyak di sini. Berbaris rapi dalam jarak yang cukup lebar. Di ujung yang cukup jauh terdapat panggung rendah. Di atasnya berdiri dengan angkuh seekor naga menyeramkan dengan tanduk bercabang. Kupikir itulah sang raja.
Penerangan dari puluhan obor yang bertengger di tiap-tiap pilar memberikan gambaran yang jelas tentang keadaan di sini. Selain sang raja, ternyata ada naga lain di sini. Dari balik pilar-pilar raksasa, bermunculan naga-naga lain.
Sekarang apa yang ingin kalian tawarkan? Suara sang raja kembali menggema di benakku.
Aku memandang Xaverite, “Apa kau sama sekali tidak bias mendengar apa yang mereka katakan?”
“Tidak. Aku sama sekali tidak bisa mendengar kata-kata mereka,” jawab Xaverite.
“Lalu bagaimana negosiasi ini akan berjalan? Aku sama sekali tidak tahu apa yang akan kita tawarkan.”
“Bukan kau yang akan bernegosiasi, tapi aku,” jawabnya mantap. “Kau akan menjadi perantara komunikasi kami.”
“Bagaimana caranya?”
“Kau hanya perlu menghubungkan energi psikis kita bertiga. Dengan begitu aku akan bisa berbicara langsung dengannya.”
“Baiklah,” setujuku. Sebelum menjalankan tugasku, aku sempatkan menjawab pertanyaan sang Raja yang sempat tepotong obrolan kami, ketua kami yang akan bernegosiasi denganmu.
Bawa dia kehadapanku, perintahnya.
Arexa, Zarha, bawa kami kehadapan sang raja, perintahku. Mereka langsung melaksanakan perintahku. Dalam beberapa langkah panjang kami tiba di hadapan sang raja.
Aku bersiap-siap mengeluarkan energi psikisku dan melontarkannya ke Xaverite dan sang raja. Dengan energi yang cukup besar akhirnya aku bisa menghubungkannya. Selain itu aku juga menghubungkannya dengan energi psikis Jorden dan Brand. Aku bertaruh mereka juga penasaran.
Baik Xaverite, sekarang cobalah berkomunikasi pada sang raja, perintahku.
Ia tak menggubrisku. Sebaliknya ia malah melompat dari tengkuk sang naga. Aku, Brand, dan Jorden tetap bertahan di tempat kami sambil menyaksikan Xaverite berlutut di hadapan sang Raja.
Aku adalah Xaverite Dol’Amroth, ketua suku Dol’Amroth, kenalnya pada sang raja. Suaranya menggema lebih keras daripada telepati biasa.
Tak perlu basa-basi. Cepat utarakan apa yang ingin kalian minta dari kami, jawab sang raja dengan angkuh.
Kami butuh bantuan dari kaum naga, jawab Xaverite.
Apa yang bisa kau tawarkan?
Apapun syarat darimu dan sebuah kebebasan. Aku bersyukur sepertinya Xaverite benar-benar paham dengan misi ini.
Kebebasan kaum kami adalah salah satu syaratnya, ujar sang raja.
Xaverite tersenyum, syarat lainnya?
Setiap anggota sukumu harus menyerahkan sebagian energi sihirnya pada kaumku.
Aku terhenyak. Jika aku jadi Xaverite, aku akan menolak syarat ini. Syarat ini jelas-jelas akan membuat Dol’Amroth kehilangan banyak kesatria. Sihir tingkat tinggi akan mustahil dilakukan tanpa sihir penuh. Aku melirik Jorden dan Brand. Mereka tampaknya juga tak setuju.
Xaverite terdiam, tampaknya ia berpikir keras. Aku hanya bisa berharap, apa pun keputusan yang dia ambil benar-benar telah melalui pertimbangan yang serius.
Aku setuju jika kau mau menerima syaratku, ujar Xaverite serius.
Apa syaratmu?
Untuk selamanya, kaummu harus melindungi kaumku dan keturunannya. Jika kau setuju dengan syarat ini, aku akan segera memberikan kebebasan untukmu dan kaummu.
Untuk sesaat sang Raja terdiam. Ya. Aku setuju dengan syaratmu. Sekarang lakukanlah ritual pembebasan itu.
Dimana aku harus meletakkan persembahanku?
Kau lihat ceruk-ceruk di lantai dekat kakiku? Taruhlah persembahanmu di sana.
Xaverite memasukkan tangannya ke saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah kantong kulit kusam. Berdiri, ia berjalan lebih dekat ke arah sang raja. Lalu dengan hati-hati menuangkan isi kantong. Cairan kental berwarna merah kehitaman mengalir lancar dari kantong dan memenuhi salah satu dari tiga ceruk yang tersedia.
Suasana begitu sunyi. Sepertinya semua sadar suara sekecil apa pun dapat mengganggu kesakralan ritual aneh ini. Aku terus memperhatikan Xaverite dengan rasa bertanya-tanya yang besar.
Xaverite membuang kantong yang sudah kosong. Kemudian dengan sihir tanahnya, ia mengeluarkan sebuah belati dari lantai batu. Menangkapnya dan menggenggamnya erat. Lalu dalam gerakan cepat, Xaverite mengiris pergelangan tangan kirinya. Darah segar mengalir lancar dari bekas sayatan. Xaverite memposisikan aliran darahnya hingga tepat mengisi ceruk kedua. Begitu merasa cukup, Xaverite merenggut dengan paksa lengan jubahnya hingga putus. Ia mengikatkan kain itu pada lukanya untuk menghentikan darah yang masih lancar mengalir.
Sekarang giliranmu, ujar Xaverite pada sang raja.
Kau pahamkan dengan hukuman yang akan menimpa orang yang berani memusnahkan sihir pelindung di pulau ini? Tanya sang raja serius.
Ya. Aku paham, jawab Xaverite mantap.
Begitu Xaverite diam, sang raja tiba-tiba memegang salah satu cabang tanduknya, menariknya hingga patah dan menghujamkan ke salah satu kakinya. Cairan hitam mengalir dari luka hujaman, membasahi lantai tempat sang raja berada. Dengan perlahan, seperti ada alurnya, darah naga itu mengalir ke ceruk yang masih kosong. Begitu hampir penuh, sang naga mencabut potongan tanduk dari kakinya, menyisakan lubang tusukan yang cukup besar. Tapi walau demikian sepertinya sang raja akan cepat kembali normal.
Dengan kecepatan yang tidak wajar, lubang tusukan itu berangsur-angsur merapat. Dalam waktu yang cepat, kulit mengkilap telah menutup luka tusukan itu dengan sempurna. Mungkin ini salah satu kelebihan kaum naga.
Sekarang selesaikan tugasmu! Perintah sang raja.
Xaverite kembali berlutut, lalu mengucapkan kata-kata aneh dalam teriakan. “Bersama darah manusia, Frameless, dan darah naga, aku persembahkan diriku untuk kebebasan kaum naga.”
Kata-kata aneh itu seperti kunci yang membuka pintu keajaiban dan keanehan. Begitu kata-kata itu berakhir, berbagai hal aneh tiba-tiba terjadi. Semuanya hampir bersamaan, sehingga aku tidak tahu yang mana yang lebih dulu terjadi.
Cahaya warna-warni bermunculan dari tubuh Frameless, terbang ke udara, lalu melesak menumbuk para naga. Cahaya kuning dariku meluncur menubruk naga yang aku tunggangi, cahaya merah Brand menumbuk naga berkulit kemerahan di sudut ruangan, dan cahaya kecoklatan Jorden melesak ke tubuh naga yang ia tunggangi. Perang cahaya ternyata belum selesai. Dari lubang buatan di atas, meluncur cahaya putih dan biru. Itu pasti cahaya Luften dan Vand. Cahaya-cahaya itu meluncur ke arah dua naga di dekat pilar.
Di balik lalu lalang cahaya sihir, aku melihat Xaverite diam tak bergerak. Memandang lekat ke darah di ceruk yang nampak bergerak-gerak seperti mendidih. Semakin lama darah-darah itu meletup-letup keras, lalu tiba-tiba membumbung ke udara seperti dikendalikan dengan sihir air.
Darah-darah itu bercampur di udara, membumbung rendah, dan meluncur dengan cepat ke arah Xaverite. Xaverite tak menghindar, akibatnya seluruh tubuhnya terselimuti oleh darah. Seperti punya kehendak sendiri, darah-darah itu menyelusup kebawah pakaian Xaverite, melumuri seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. Darah di seluruh tubuh Xaverite mengering. Menampakkan lapisan darah yang mengkilap. Semakin lama lapisan darah itu semakin nampak seperti sisik.
Tiba-tiba tubuh Xaverite mengejang. Ia meronta-ronta. Dari punggungnya tumbuh sepasang sayap reptil yang tampak kokoh. Tubuhnya membesar berpuluh-puluh kali lipat dari tubuh aslinya. Kaki dan tangannya juga membesar, menyesuaikan dengan proporsi tubuhnya. Dari kaki dan tanganya tumbuh kuku-kuku tajam. Sebuah ekor berduri juga tumbuh dari bagian belakangnya.
Tanpa melihat wajahnya yang telah berubah menjadi wajah monster, aku tahu apa yang terjadi dengan Xaverite. Ia telah menerima hukumannya. Hukuman sebagai pencabut sihir pelindung pulau Lyoont. Xaverite berubah menjadi naga.
Sepertinya perubahan baru Xaverite sangat menyakitkan. Ia meronta-ronta. Dengan  tubuh besarnya ia mengguncang ruangan, cakar-cakar tajamnya mencakar-cakar lantai, sayap mengepak-kepak hendak terbang, dan ekor berdurinya terkibas liar. Geraman liar semakin mewarnai kekalutannya.
Cepat tinggalkan tempat ini. Bawa pasangan kalian masing-masing, kata sang raja entah kepada siapa.
Apa…, kata-kataku terpotong oleh hentakan yang ditimbulkan oleh gerakan tiba-tiba naga yang aku tunggangi. Tanpa peringatan sang naga meluncur ke udara menyusul seekor naga yang telah mengudara terlebih dahulu. Naga coklat, naga yang ditunggangi Brand dan Jorden.
Naga itu kini berada di atasku. Entah disengaja atau tidak, tiba-tiba aku melihat sang naga coklat menjatuhkan sesuatu. Aku memandang lekat benda itu dan langsung berteriak begitu tahu apa yang jatuh, “Brand!”
Belum selesai aku berteriak, tiba-tiba seekor naga menyambarnya. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi entah kenapa aku tidak merasakan bahaya seperti tadi, aku merasa seperti sudah berada di antara teman-temanku.
Naga-naga semakin membumbung tinggi, melewati lubang buatan. Melewati ruangan dimana Vand dan Luften pingsan, para naga tidak berhenti. Mereka terus menuju lubang kubah.
Bagaimana dengan teman-temanku? Salah satu dari kalian harus menjempu mereka, kataku menelepati siapapun yang bisa menerima pesanku.
Tenang saja. Naga mereka akan mengurusnya, jawab suara yang sudah aku kenal. Tapi aku tidak tahu suara siapa, mungkin salah satu diantara naga itu.
Apa maksudmu?
Akan kujelaskan nanti, setelah kita bebas dari gunung ini.
Gunung?
Yah memang gunung. Suara itu tak perlu menjawab pertanyaan terakhirku, karena begitu keluar dari lubang kubah, aku sadar dari mana kami muncul. Ternyata ruangan-ruangan luar biasa tadi berada di dalam gunung, yang kini nampak kecil di bawahku. Gunung itu tidak terlalu besar. Kalau boleh aku mengoreksi, gunung itu lebih pantas disebut sebagai bukit. Bukit yang besar dan hijau. Dari puncak sampai kaki bukit ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan yang menyegarkan pandangan.
Aku memandang sekeliling. Brand telah nangkring dengan santainya di atas sebuah naga berkulit kemerahan. Jorden masih dengan naga kulit coklatnya. Dan tak lama kemudian dua naga lagi bergabung dengan kami. Masing-masing naga mencengkeram Vand dan Luften.
Inilah yang dimaksud dengan pasangan, kata suara yang dari tadi berbicara padaku. Mulai sekarang setiap anggota suku kalian akan memiliki partner seekor naga.
Suara itu terdiam, lalu melanjutkan dengan perkenalan. Aku Arexa, nagamu, naga yang kini tengah kau tunggangi.
Kau? Tanyaku kaget. Aku memandang sang naga yang sedikit memutar pandangannya ke arahku. Kau nagaku?
Ya, jawabnya santai. Energi sihir yang kalian bagikan telah menciptakan ikatan yang kuat dianta kita. Sang pemelihara dan sang naga.
Aku terdiam, tak mempunyai kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaan aneh yang tiba-tiba menohok ulu hatiku. Merasa canggung dengan kebisuan yang tiba-tiba menguasai, aku mencoba menanyakan hal yang dari tadi ingin aku ketahui. Sebenarnya siapa yang mengurung kalian di sini?
Manusia dan Frameless, jawabnya murung. Merekalah yang mengurung kami ribuan tahun yang lalu.
Manusia dan Frameless? Tanyaku tak percaya. Bagaimana bisa? Bahkan mereka tidak pernah bisa hidup bersama?
Memang, tapi mereka menganggap keganasan kaum kami sebagai musuh besar yang mengancam. Jadi hanya untuk tujuan ini mereka bekerjasama. Mereka melakukan gencatan senjata untuk mengalahkan kami. Berkat kerjasama mereka akhirnya kaum kami terjebak di pulau ini. Tertahan oleh sihir pelindung.
Sekilas, aku memandang ke arah teman-temanku. Wajah mereka serius, seperti sedang berkonsentrasi pada sesuatu..
Apakah mereka juga bisa berkomunikasi dengan naga mereka? Tanyaku pada Arexa.
Tentu.
Bagaimana dengan Xaverite?
Kita lihat saja apa yang akan terjadi.
Seperti mendengar perbincangan kami, sebuah raungan menggelegar terdengar dari dalam bukit. Tak lama kemudian dua ekor naga muncul dari lubang bukit. Arexa menyingkir, memberi jalan bagi sang raja dan Xaverite, naga baru berkulit merah darah. Xaverite tampaknya sudah lebih tenang dibanding saat kami meninggalkannya.
Bersiaplah untuk meninggalkan pulau terkutuk ini, kata sang raja di kepalaku. Mungkin di kepala kami semua.
Tiba-tiba 7 ekor naga yang ada di sekelilingku, termasuk Xaverite, menengadahkan kepala ke langit. Mulut mereka terbuka, melontarkan raungan liar ke udara. Bergaung-gaung memenuhi udara. Mungkin ini luapan kegembiraan para naga, tanda kebebasan atau semacamnya.
Bukan! Aku salah. Ini adalah panggilan. Begitu gema raungan menghilang di udara, dari seluruh penjuru pulau, dalam koloni-koloni, muncul mahluk-mahluk bersayap lain. Naga-naga lain. Luar biasa. Ternyata jumlah mereka sangat banyak.
Xaverite berputar ke arah barat daya. Bersama sang raja, ia memimpin penerbangan ke daratan utama vandaria.
Inilah era baru kami. Era baru Dol’Amroth dan era kaum naga.

~The End~

Catatan: Naskah ini telah diikutserakan dalam "kontes cerita pendek" vandaria saga dan masuk dalam 25 besar kontes cerpen Vandaria.

Komentar

  1. woogh! good luck yah di kontesnya.
    salam dari @andrychang di http://fantasindo.blogspot.com

    BalasHapus
  2. thanks....good luck juga untuk nyanyian alamnya...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k