Langsung ke konten utama

SYAIR KEMATIAN

Syair Kematian
Oleh: Mahfud Asa

Engkau datang, dari pintu yang tak terketuk: tetapi buatmu lah,  ia teruntuk.
Dan kepada bulan yang purna, di langit luar sana, kita bercerita.
Tentang apa saja, yang berdentam, di dada kita yang remuk redam.
***
Aku membaca ulang salinan pesan kematian di buku sakuku. Aku menemukan pesan itu di TKP kemarin. Memang bukan puisi itu yang dituliskan oleh korban. Aku tak pernah berpikir, seorang yang tengah sekarat akan mampu menuliskan kata-kata indah sepanjang itu. Ia hanya menuliskan sebuah sandi yang hanya diketahui oleh ia dan beberapa orang saja. Dan sandi itu menunjuk pada puisi yang telah aku salin ke buku sakuku.
“Rey, lihat ini,” panggil seseorang kemarin. Ia berada di balik meja tempat korban meregang nyawa. Seketika itu juga aku menghampiri Inspektur Handy yang masih membungkuk mengamati lantai.
“Ada apa inspektur?” Tanyaku setelah tepat berada di belakangnya.
“Kau tahu apa maksudnya ini?” Tanyanya. Ia menunjukkan apa yang tengah ia amati. Noda darah yang membentuk sebuah kode. Noda itu hampir di samarkan oleh tetesan darah dari meja. Tapi cukup terlihat bila dicermati. Noda itu sepertinya ditulis dengan kaki.
“P 13/1.” Aku membaca noda darah itu, mencatatnya di buku saku, “sebuah pesan kematian. Tapi aku tak tahu maksudnya. Seperti kode tertentu.”
“Mungkin salah satu anggota keluarganya tahu kode ini,” usul inspetur.
“Ya aku rasa jika ini sandi keluarga. Atau setidaknya ia pernah berbagi dengan keluarganya,” setujuku.
Kami langsung memanggil keluarga korban yang masih membeku di sudut ruangan. Ngeri dengan kematian tragis Nikola, seorang penyair muda keturunan bangsawan. Karirnya sedang gemilang sebagai penyair. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika dia memiliki berbagai ancaman.
Nikola ditemukan tadi pagi dalam keadaan yang mengenaskan. Pergelangan tangan robek oleh benda tajam, tergeletak tak berdaya di atas meja. Darah dari pergelangan tangannya menggenangi meja. Wajah tertumpu pada meja yang bersimbah darah.
“Apa yang bisa kami bantu?” tanya Willy, adik laki-laki korban setelah mereka berada di tempat korban meninggalkan pesan kematiannya.
“Adakah dari kalian yang tahu maksud dari kode ini?” Tanya inspektur sambil menunjuk kode yang dimaksud.
Sejenak Merry, adik perempuan korban tampak berpikir, “sepertinya aku pernah menerima kode semacam ini dari kakak.” Merry mendekati kode itu. “aku tahu apa maksudnya. Kalau tidak salah itu berbunyi, Puisi ke-13 bait ke-1. Setidaknya seperti itu yang pernah diberitahukan kakak padaku.”
Sandi itulah yang menuntun kami pada pesan kematian sesungguhnya. Merry menunjukkan kepada kami buku berisi kumpulan puisi karya Nikola di rak buku. Membuka lembar demi lembar dan berhenti di sebuah halaman. Di sudut kanan atas halaman tertulis angka 13. Puisi berjudul ‘Cinta dan Derita’ ini adalah puisi ketiga belas yang dimaksud. Mataku langsung tertuju pada bait pertama puisi itu. Tiga baris kalimat menghambur ke mataku. Inilah pesan kematian yang sesungguhnya:
Engkau datang, dari pintu yang tak terketuk: tetapi buatmu lah, ia teruntuk.
Dan kepada bulan yang purna, di langit luar sana, kita bercerita.
Tentang apa saja, yang berdentam, di dada kita yang remuk redam.
***
Salah satu tugasku saat ini adalah menemukan arti di balik pesan itu. Seperti yang aku lakukan sejak 19 jam yang lalu. Aku kembali membaca kalimat-kalamat indah itu untuk yang ke dua-puluh-satu kali. Tapi aku baru bisa menyingkap satu dari tiga kalimat itu, kalimat pertama. Yeah aku memang memiliki sedikit masalah dengan estetika berbahasa. Memikirkan teka-teki dalam sebuah puisi adalah tantangan sendiri bagiku.
Setelah tak menemukan ide apa pun dengan dua baris kalimat berikutnya, aku merasa perlu istirahat. Aku tengah mempernyaman diri di kursi putarku saat ponselku berdering. Aku meraih ponsel dalam jangkauanku dengan malas. Melihat nomor yang menghubungi, lalu menerimanya.
“Detektif Rey,” sapa seseorang dari balik telepon. Aku mengenal suara itu, salah seorang anak buah inspektur Handy. “Kami butuh kehadiran anda di TKP. Ada hal baru yang kami temukan.”
“Ya, aku kan segera ke sana?” kataku menyetujui.
Aku memutus telepon sebelum ia sempat mengatakan salam penutup. Memasukan buku saku ke dalam saku kanan jaket kulit hitamku dan mengambil kunci mobil dari saku yang lain. Aku bergegas menuju garasi sebelum akhirnya meluncur tanpa jeda ke rumah Nikola, ke TKP.
Aku mendapati orang-orang bergerombol dalam kelompok-kelompok di ruang tamu saat aku tiba di sana. Satu kelompok beranggotakan keluarga korban dan seorang polisi yang tengah berbincang-bincang dengan mereka. Kelompok kedua beranggotakan para petugas kepolisian.
“Apa yang kalian temukan?” tanyaku pada Inspektur Handy setelah aku bergabung dengan kelompok kedua.
“Kami menemukan ini,” jawabnya sambil menunjukkan sebuah barang yang sudah dibungkus plastik. Sebuah buku bersampul kulit hitam mengkilap. Tulisan The Moon tercetak tebal dan besar di atas cover tersebut. Warna emasnya tampak kontras dengan warna cover. Sepertinya buku penting. Asumsiku adalah buku harian. “Juga ini,” katanya menunjukkan temuan lain. Puluhan puntung rokok terbungkus dalam plastik transparan. “Kami menemukan keduanya di laci terbawah meja bacanya yang terkunci.”
“Keduanya dalam satu tempat?” tanyaku. Agak aneh menemukan dua hal yang sangat berseberangan itu disimpan dalam tempat yang sama. “Dan terkunci?”
“Ya,” jawabnya. “Aku pikir buku harian bisa membantu penyelidikan kita. Tapi aku tidak yakin dengan puntung-puntung rokok ini.”
“Bagaimana kau menemukannya? Dan kuncinya?” tanyaku penasaran dengan proses penemuan itu.
“Aku tengah melakukan pengecekan ulang saat menemukan laci yang terkunci. Cukup aneh melihat hanya ada satu laci yang terkunci dari enam laci yang ada di kedua sisi meja kerjanya. Aku pikir ada hal aneh yang disembunyikan korban. Dan memang ada. Juga cukup aneh, terutama puntung-puntung rokok ini,” jawabnya. “Dan untuk kuncinya aku mendapatkan dari Merry.”
“Sudahkah kau mendapat penjelasan tambahan mengenai ini dari keluarga korban?”
“Ya. Menurut Willy, Nikola adalah perokok aktif. Tapi setahu dia ia sudah berhenti sejak dinyatakan menderita radang paru-paru.”
“Bolehkah aku membawa diary itu.  Juga sedikit sample dari puntung rokok itu,” pintaku. “Mungkin aku bisa menemukan beberapa hal penting.”
“Bawalah. Memang itu yang aku inginkan,” jawabnya. “aku berharap kau bisa memberi pencerahan pada kasus buntu ini.”
Yeah, kasus ini memang cukup buntu. Sampai sekarang kami belum memiliki daftar tersangka, orang yang dicurigai pun belum. Sehingga kami baru bisa menghimpun keterangan dari keluarga korban.
***
Aku menengok ke arah jam dinding di sisi kanan ruang kerjaku. Sudah pukul sebelas malam. Pantas mataku sudah perih dan ngantuk. Aku sudah mempelajari semua penemuan baru ini hampir seharian. Aku menemukan beberapa hal.
            Berkaitan dengan puntung-puntung rokok itu. Aku menemukan setidaknya dua hal penting. Pertama, rokok ini bukan jenis yang beredar di pasaran. Aku sudah mengecek di internet, tapi tak satu info pun berkaitan dengan produk rokok bergambar jangkar itu kutemukan. Sehingga aku mengasumsikan produk tersebut adalah produk khusus. Kedua ada bahan khusus yang ditambahkan pada rokok itu. Aku mengenali aroma yang tersisa sebagai aroma ganja. Tanaman yang dilarang peredarannya. Tidak heran jika korban menyembunyikannya.
Sedangkan berkaitan dengan diary korban aku hanya bisa menemukan daftar nama yang perlu diselidiki. Aku berharap nama-nama ini akan memberikan pencerahan nanti. Aku benar-benar butuh istirahat. Mungkin akan ada penjelasan tambahan besok pagi.
***
Pagi ini aku penuh semangat. Bukan karena istirahatku cukup. Sebaliknya, aku merasa kurang istirahat. Setelah memutuskan untuk tidur tadi malam, aku tidak langsung jatuh tertidur. Aku malah terjaga sampai hampir pukul dua dini hari dalam pikirn-pikiran yang spekulatif. Tapi mencerahkan.
            Itulah yang membuatku semangat pagi ini. Malam tadi aku telah menemukan arti-arti dari pesan kematian itu. Semuanya. Walaupun aku belum yakin seutuhnya, tapi paling tidak aku telah menemui jalan terang. Kini aku hanya tinggal membuktikan kebenaran pikiranku. Meyakinkannya hingga benar-benar seratus persen.
Aku meraih ponselku. Menekan speed dial yang terhubung dengan nomor ponsel Inspektur Handy. Menunggu, sampai akhirnya ia menjawab dari balik telepon.
“Ada apa Rey?” Tanyanya malas. “Kau membangunkanku terlalu pagi.”
“Kupikir pukul 05.45 tidak terlalu pagi untuk orang yang harus bertugas pukul 07.00,” candaku.
Aku mendengarnya menguap sebelum ia bertanya padaku lagi, “ya kurasa. Tapi biasanya aku akan bangun 15 menit lagi. Aku selalu tepat waktu.”
“Oke terserah. Kau boleh meneruskan tidurmu setelah aku selesai berbicara.”
“Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Aku sudah berhasil menemukan arti dari pesan kematian itu,” kataku semangat. “Aku ingin kau melakukan beberapa hal hari ini. Aku telah mengirimkan daftarnya ke e-mailmu. Aku akan menemuimu di TKP pukul 09.00.”
“Ya,” dengusnya. “Sepertinya aku memang harus bangun sekarang. Kantukku sudah hilang.”
“Itu lebih baik,” kataku. “Sampai ketemu di TKP. Kita akan segera mengetahui siapa pelakunya.”
***
Sepertinya inspektur Handy telah melakukan apa yang aku inginkan. Bersamanya telah ada orang-orang baru. Aku menghampiri mereka.
            “Ini yang kau butuhkan,” katanya sambil menyerahkan berkas dalam amplop coklat tertutup. “Apakah sudah cukup?”
“Aku masih butuh satu tahap lagi,” kataku. “Aku ingin melakukan sedikit bincang-bincang dengan mereka di ruang tertutup. Sebelumnya aku telah menyiapkan ruangan itu. Dan aku pinjam salah satu anak buahmu.”
“Danny,” perintah Handy.
“Siap pak,” jawab Danny tegas.
“Kau ikut aku,” ajakku pada Danny. Aku berjalan menuju ruangan di sebelah kanan ruang tamu ini. Tepat di sebelah ruang kerja korban. “Kita akan melakukan beberapa persiapan di dalam.”
“Baik,” katanya sambil mengikutiku.
Ruangan itu tidak terlalu besar. Bahkan lebih kecil dari ruang kerjaku. Sebuah meja kerja panjang mendominasi ruangan ini. Tiga buah kursi berbusa mengelilingi meja itu. Satu rak berisi penuh buku menutupi sisi kanan ruangan.
“Aku berharap kau bisa menulis dengan cepat. Aku ingin kau mencatat semua yang dikatakan oleh orang-orang yang akan kita ajak berbincang-bincang,” kataku pada Danny.
“Aku cukup mumpuni untuk tugas ini,” jawabnya bangga.
“Kupikir kita akan jadi partner yang hebat,” pujiku. “Sementara aku bersiap-siap, aku ingin kau memanggil salah satu dari mereka. Siapa pun boleh.”
“Baik pak,” jawabnya sambil bergegas keluar. Saat ia menghilang di balik pintu, aku langsung mengeluarkan perangkat kerjaku dari tas pinggang yang sengaja aku bawa khusus untuk hari ini. Aku membawa beberapa barang tambahan.
Aku mengaduk-aduk tas pinggangku. Mengeluarkan buku saku, pena, sebuah foto ukuran 3R, dan sebungkus rokok lengkap dengan pemantik dan asbaknya. Menata barang-barang tersebut pada posisi yang sesuai.
“Anda sudah siap?” kepala Danny menyembul dari balik pintu saat aku mengecek isi amplop dari inspektur Handy.
“Ya, bawa dia masuk.”
Danny berjalan masuk. Di belakangnya mengekor seorang jangkung dengan tampang panik. Aku menyadari ia berkeringat, lebih daripada seharusnya.
“Silakan duduk,” aku mempersilakannya duduk.
“Ya,” jawabnya singkat, sambil duduk di kursi tepat di depanku. Sedangkan Danny mengambil posisi berdiri di sampingku.
“Kami ingin mendengar beberapa cerita dari anda,” aku memulai. “Bisakah anda memperkenalkan diri?”
“Y-ya,” suaranya gugup. “Aku Aditya Wisnu. Aku seorang designer grafis.” Tangan rampingnya berkali-kali mengelap keringat di keningnya yang lebar.
“Apa hubungan anda dengan korban?” Selidikku.
“Aku adalah cover illustrator karya-karya Nikola,” jawabnya singkat. Aku tak tahu rasa takut seperti apa yang ia rasakan sehingga wajah putihnya memucat sedemikian parah.
Aku mengambil sebatang rokok, menyalakannya. “Kau tampak sangat tegang. Mungkin sebatang rokok bisa mengendurkan keteganganmu,” kataku sambil menunjuk bungkus rokok yang telah aku siapkan di samping meja.
“Aku tidak merokok.”
“Oh, maaf,” kataku tampak menyesal. “Mungkin lebih bijaksana jika aku tak menahanmu terlalu lama di sini. Mungkin satu pertanyaan lagi cukup.”
Aku mengambil foto yang telah aku persiapkan tadi, menunjukkan padanya. “Apa kau pernah melihat ini sebelumnya?”
Ia mengamati lekat-lekat foto itu. Tampak berfikir. Lalu wajahnya berubah serius, “aku belum penah melihanya.”
“Baiklah,” kataku akhirnya. “Anda boleh meninggalkan ruangan ini. Terima kasih atas kerjasamanya.”
Ia mengangguk, lalu tanpa pamit segera pergi meninggalkan aku dan Danny.
“Mungkin ini kali pertamanya berhubungan dengan polisi,” komentar Danny setelah Aditya menghilang di balik pintu. “Tapi jelas ini pengalaman pertamaku terlibat dalam interogasi yang berlangsung kurang dari 10 menit.”
“Sebagian besar materi interogasi standar telah kalian tanyakan tadi pagi,” balasku menanggapi protesnya. “Jadi untuk apa membuang terlalu banyak waktu.” Ia tak berkomentar lagi. “Kau bisa memanggil yang selanjutnya,” perintahku.
Ia pergi dan kembali tak lama kemudian. Di belakangnya seorang berkacamata bejalan santai. Sangat kontras dengan tingkah laku orang pertama tadi.
“Aku Rendra. Aku seorang editor. Aku menangani karya Nikola,” jelasnya saat aku menyuruhnya memperkenalkan diri. Jawabanya terdengar mantap.
“Apa yang kau lakukan saat malam kematian Nikola,” tanyaku bertujuan memperpanjang durasi.
“Sepertinya pertanyaan ini telah ditanyakan tadi pagi. Tapi tak apa, mungkin ada yang terlewat.” Ia menceritakan kegiatan malam itu dengan detail. Ia pergi makan malam bersama keluarganya. Menyebut beberapa orang, aku yakin untuk memantapkan alibi. Aku hanya mengangguk sesekali, memasang tampang tertarik.
“Kau merokok?” tawarku sambil menunjuk bungkusan rokok yang sama dengan yang kutawarkan kepada Aditya.
Ia mengambil sebatang. Menyalakannya. Tapi baru beberapa hembusan ia sudah mematikan rokok itu. Meninggalkannya tergeletak di asbak. “Maaf aku lupa kalau aku sedang mengurangi rokok.”
“Satu pertanyaan terakhir buat anda.” Aku memperlihatkan foto yang sama dengan yang aku perlihatkan ke Aditya, “Apakah anda pernah melihat ini sebelumnya?”
Ia hanya sejenak mengamati foto itu sebelum akhirnya menyerah, “aku tidak ingat pernah melihat foto seperti ini.”
Ia keluar dan secara cepat digantikan oleh orang terakhir. Seorang dengan tubuh ceking. Ia memiliki bola mata yang dalam. Kepercayaan dirinya tak jauh berbeda dengan Rendra.
“Aku Milo,” kenalnya. “Aku manager seorang penulis yang kebetulan sedang melakukan kerjasama dengan Nikola.”
Setelah beberapa pertanyaan aku ajukan, aku menawarinya rokok. Ia mengambil sebatang dan menandaskan selama perbincangan. Perbincangan dengan Milo berlangsung menarik. Ia orang yang cukup humoris. Kadang pertanyaan seriusku dijawab dengan sedikit guyonan.
“Pertanyaan terakhir,” kataku sambil menyodorkan foto padanya. “Apa kau pernah melihat ini?”
Sekilas aku memperhatikan senyum di wajahnya meredup. Ya hanya sekilas. Kemudian ia kembali menjadi dirinya lagi. Masih dalam rekahan senyum ia menjawab pertanyaan terakhirku, “aku tak pernah melihat itu sebelumnya. Mungkin kau akan mendapatkan jawaban ya jika kau bertanya pada Sinbad.”
“Ya aku juga pernah berfikir untuk bertanya padanya,” balasku bercanda. “Sekarang kau boleh meninggalkan ruangan ini. Terima kasih atas kerja samanya.”
Aku memastikan Milo benar-benar telah menutup pintu dengan rapat saat aku berbicara dengan Danny. “Mana hasil kerjamu?” ia menyerahkan catatannya. “Sekarang kau keluar dan kumpulkan semuanya di ruang tamu, termasuk keluarga korban. Aku sudah menemukan pelakunya.”
***
Semua telah menungguku saat aku muncul kembali di ruang tamu beberapa menit kemudian. Aku telah menyiapkan sekenario terbaik untuk mengungkap tindak kejahatan ini. Semua barang bukti dan peralatan sudah tersimpan rapi di tas pinggangku.
“Aku telah mengetahui siapa pelakunya,” aku memulai pertunjukanku. Semua orang mematung menunggu. “Sebelumnya aku ingin mengungkap maksud dari pesan kematian yang ditinggalkan korban.”
Semua orang masih diam menunggu, aku melanjutkan. “Baris pertama. Engkau datang, dari pintu yang tak terketuk: tetapi buatmu lah, ia teruntuk. Syair ini menunjukkan bagaimana pelaku datang ke rumah ini. Kedatangan pelaku dirahasiakan oleh korban dari anggota keluarga yang lain.”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Willy.
“Aku harap kau pernah mendengar kata mengetuk pintu dalam sebuah puisi yang dimaksudkan untuk mengatakan datang berkunjung. Kakakmu juga menggunakannya untuk maksud yang sama. Sedangkan kata pintu tak terketuk bisa berarti datang secara diam-diam. Pada umumnya seseorang yang bertamu akan mengetuk pintu atau memencet bel agar sang tuan rumah tahu kedatangannya. Untuk lebih jelasnya aku akan mengungkap detailnya nanti.”
Tak ada protes, aku melanjutkan ke baris berikutnya. “Baris kedua, Dan kepada bulan yang purna, di langit luar sana, kita bercerita. Baris ini menunjuk pada buku diary ini, tepatnya pada tulisan yang tertanggal tertentu,” kataku menunjukkan buku harian Nikola. “Kita bisa menyusun ulang kalimat ini menjadi dua kalimat pendek: kepada bulan kita bercerita dan bulan yang purna di langit luar sana. Susunan kalimat pertama mengacu pada buku harian ini dan kalimat kedua mengacu pada tanggal di buku harian ini. Kalau boleh aku bertanya, kata apa yang sering digunakan untuk menggantikan kata menulis saat seseorang ingin menulis diary?”
“Curhat atau bisa juga bercerita,” jawab Merry.
“Ya, tepat sekali. Bercerita. Dan puisi tersebut juga menggunakan kata yang bercerita untuk menunjukkan kata menulis. Perlu kalian tahu bahwa di cover depan diary ini ada tulisan yang ditulis dengan huruf ekstra besar. Aku mengasumsikan bahwa itu adalah nama yang diberikan Nikola pada diarynya. Tulisan itu berbunyi The Moon yang berarti bulan. Sehingga jika kita gabungkan kalimat pertama akan berbunyi menulis di Bulan (The Moon) atau menulis di diary.”
Sepertinya semua masih tampak meresapi apa yang aku bicarakan. Mereka diam, tapi aku tak punya terlalu banyak waktu untuk menunggu komentar mereka. “Sekarang kalimat kedua menunjukkan waktu. Bulan yang purna atau Purnama, yang terjadi beberapa hari yang lalu. Tepatnya pada tanggal 17 Juli kemarin. Coba kita baca tulisan pada tanggal itu.”
Aku membalik-balik halaman demi halaman. Dan berhenti di halaman bertanggal 17 Juni. Aku membacakan apa yang tertulis di sana.
17 Juli
Ah sial…
Hari ini aku kesel banget, saat bingung nyari ide untuk puisi terakhirku. Malah ada gangguan terus…
Pertama, editorku. Rendra Wibawa, pagi-pagi udah ngingetin deadline….
Kedua, cover ilustratorku. Aditya Wisnu. Ngotot minta gambaran seperti apa yang mau di tampilkan di cover…
Terakhir temanku, Milo Denata. Mengingatkan akan kebututuhan akutku…

 “Berdasarkan inilah kalian dipanggil,” kataku pada para tersangka. “Baris ketiga akan memperjelas siapa sebenarnya yang dimaksud korban.”
 “Tentang apa saja, yang berdentam, di dada kita yang remuk redam,” baca inspektur Handy. “Apa yang bisa kau dapat dari ini?”
“Baris ketiga berhubungan dengan ini,” kataku sambil menunjukkan berkas di amplop coklat yang aku dapat dari inspektur Hendy. Mengeluarkan semua isinya. Empat buah hasil foto X-Ray kini berada di tanganku. Juga selembar surat dari rumah sakit tempat mereka melakukan pemeriksaan. “Fokusku adalah lima kata terakhir, dada kita yang remuk redam. Ini menunjukkan kesamaan penyakit dalam yang diderita keduanya.
“Dokter telah memcocokkan hasilnya. Di surat ini sudah ada rekomendasi resmi dari rumah sakit yang menyatakan bahwa ada seseorang yang memiliki penyakit yang sama dengan korban. Itu berarti pelaku juga memiliki penyakit yang sama dengan korban.”
Aku mengamati para tersangka. Wajah mereka tak ada satu pun yang menyenangkan. Semua tampak tertekan. Aditya makin kacau, aura intelektual musnah dari wajah Rendra, dan humor Milo sudah tidak tercium lagi. Semua pasti sedang mengalami tekanan psikis. Walau sebenarnya hanya satu yang patut mencemaskan keadaanya. Tak baik terlalu menyiksa batin mereka seperti ini.
“Bukan begitu Milo,” kataku sambil memandangnya tajam. Semua mata tertuju pada Milo yang masih dilanda kekagetan. “Kau memiliki radang paru-paru bukan?”
“Em…, iya. Tapi mungkin itu cuma kebetulan atau kau pasti salah menerjemahkan baris ketiga,” sangkalnya.
“Ah aku tersinggung kau tidak menghargai kepandaianku dalam menerjemahkan puisi,” candaku. “Tapi aku tak hanya bermodal sebait puisi untuk menangkap penjahat. Aku masih punya cukup bukti untuk menjeratmu. Bahkan mungkin dengan hukuman ganda.”
Aku meletakkan foto-foto X-Ray di meja, lalu mengaduk-aduk tas pinggangku lagi. Mengeluarkan foto yang aku tunjukkan di interogasi tadi. Lalu mengeluarkan satu benda penting lagi. Sekantong puntung rokok penemuan inspektur Handy. Barang inilah yang memicuku menyimpulkan baris ketiga.
Pertama aku menunjukkan puntung-puntung itu, “Kau familier bukan dengan ini? Ini adalah alasan kenapa pertemuan antara korban dan pelaku dirahasiakan. Mereka telah melakukan transaksi terlarang. Rokok ini adalah produk rokok khusus yang di dalamnya telah dicampur dengan sejumlah tertentu ganja. Aku pikir prosentasenya besar, karena baunya masih bisa tercium bahkan dari puntungnya saja.”
Aku semakin yakin untuk terus berbicara saat melihat kebingungan diwajah Milo. “Aku yakin kau menggunakan produk itu. Aku telah melakukan dua pembuktian akan dugaanku. Pertama dengan rokok yang aku tawarkan padamu tadi. Juga pada Aditya dan Rendra. Aku telah menambahkan sedikit ganja pada rokok itu. Aditya, aku yakin dia memang tidak merokok, karena seorang perokok cenderung akan menerima tawaran rokok baik dalam keadaan apa pun. Rendra, dia menerima tawaranku, tapi ia merasakan ada yang aneh dengan rokok yang aku tawarkan. Ia melontarkan alasan bahwa ia sedang mengurangi rokok, padahal alasan itu hanya untuk menutupi alasan sebenarnya. Dan Milo, kau menandaskan rokok itu tanpa keluhan apa pun. Senagkan kau mengira itu hanya rokok biasa. Kau tidak merasakan kenehan karena kau sudah terbiasa pada ganja dengan kadar tinggi. Yang kedua adalah dengan foto ini.”
Aku menunjukkan foto itu. Sebuah foto bergambar jangkar berwarna hijau. Di sekeliling jangkar itu dua tali abu-abu saling membelit membentuk lingkaran mengurung jangkar itu. “Foto ini memuat gambar yang hampir sama dengan apa yang tercetak pada puntung rokok ini,” aku menunjuk kantong puntung rokok. “Aku melihat perubahan ekspresimu. Sepintas aku menangkap ekspresi kekagetan. Kau pasti mengira melihat foto logo produk terlarangmu yang sangat rahasia. Tapi saat kau menyadari ada perbedaan di foto ini ekspresimu kembali seperti sebelumnya. Logo sebenarnya seharusnya ada tiga tali yang membelit. Apakah kau masih mau menyangkalnya?”
“Ya. Semua yang kau katakan memang luar biasa, tapi itu tak lebih dari teori biasa,” sangkalnya lagi.
“Oh, rupanya aku mesti mengeluarkan jurus terakhirku,” kataku tampak kecewa. “Sebagai perokok aktif, aku yakin kau tidak ingin jauh-jauh dari benda yang satu itu. Karena sudah sekian lama kau mengonsumsi rokok khusus itu, maka aku yakin kau membawa serta benda itu sekarang. Kalau kau berkenan, aku bisa menggeledah tasmu.”
Ia diam. Sepertinya ia telah kehabisan kata sangkalan. Ia menunduk, menjatuhkan diri ke sofa di dekatnya. “Kau tak perlu susah-susah mengaduk-aduk tasku. Kau memang akan menemukan barang itu di sana.” Ia terdiam lagi, kali ini tidak terlalu lama sampai ia berbicara lagi, “aku tidak menyangka tindak balas dendamku akan terbongkar oleh sebait puisi karya adikku.”
“Adikmu? Apa maksudmu?” Willy bersungut-sungut marah, sekaligus kaget.
“Asal kalian tahu, tiga puluh puisi dari seratus puisi yang terbit atas nama Nikola adalah karya adikku. Termasuk puisi itu. Rencana awalnya mereka akan menerbitkan atas nama bersama, tapi setelah terbit. Nama adikku tak pernah tersebut di buku itu. Dan saat dia mengkonfirmasi ke Nikola jawaban yang dia dapat adalah penghinaan. Ini adalah balas dendamku untuknya.
“Sebenarnya aku telah lama merencanakan ini. Tapi aku tak langsung melancarkan tindak pembunuhan. Aku menjerumuskan dan mengambil keuntungan darinya. Produk khusus ini menjadi senjataku. Aku bisa mengambil untung darinya dengan menjual ini kepadanya, tentu dengan tidak mengungkap siapa diriku sebenarnya. Kau tahu sendiri bagaimana orang yang sangat butuh dan beruang banyak. Sekarang dendam adikku telah terbalas. Silakan tangkap aku.” Ia menyerahkan dirinya tanpa perlawanan.
***
“Dimana anda mendapatkan ganja untuk campuran rokok itu?” Danny masih penasaran dengan tindakanku.
Aku tengah sibuk membakar sebungkus rokok jebakan yang aku buat, “aku melobi pimpinan penjaga barang bukti. Ada sedikit ganja hasil sitaan yang belum dimusnahkan.”
“Dan rokok yang anda hisap tadi juga sama?”
“Itu cuma rokok biasa. Lagi pula aku tidak benar-benar menghisapnya. Aku masih konsisten untuk tidak mencicipi sebatang rokok pun,” jawabku. “Dengan mengesampingkan tindakan tadi.”
“Aku benci mengatakan ini. Tapi kau luar biasa tadi.”
Aku tersenyum, “kurasa sensitifitas sastraku mulai membaik.”
~selesai~

Catatan:
Naskah ini adalah naskah tantangan dari seorang teman di grup FB, ia memberikan sebait puisi. Dari puisi itu ia menantang siapa pun yang bisa menciptakan cerpen yang unik.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah café, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

[Review] Morning, Gloria

Judul                : Morning, Gloria Penulis             : Devi Eka Editor               : Floria Aemilia Desain cover    : Aan Retiree Penerbit            : deTEENs (Diva Press Group) Tebal                : 310 halaman Tahun cetak      : April 2014 Sebenarnya saya sempat ragu untuk nulis review ini, karena mungkin akan banyak kata yang menyinggung nantinya. Tapi, tak apalah. Siapa tahu bisa jadi koreksi untuk penulisnya. Secara keseluruhan, saya kurang suka dengan Morning Gloria (MG). Ada terlalu banyak hal yang kurang sreg bagi saya, jadi dengan terpaksa saya hanya bisa kasih nilai 2/5 untuk MG. Oke, tak perlu berpanjang lebar lagi. Mari kita mulai review MG ala saya ini.