Langsung ke konten utama

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas

Duka Hades
by Dwipatra

Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka.

Patung Hades dan Persephone

Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

Suatu hari, Pershephone tiba-tiba pulang setelah sekian lama menghilang. Hati Demeter yang terbekukan duka perlahan mulai terhangatkan bahagia. Saat itulah musim dingin mulai berganti. Awan mendung menyingkir, mentari kembali menjamah bumi, air-air kembali reriap bahagia, dan tetumbuhan mulai terjaga dari tidur panjangnya, menunjukkan tunas-tunas kecilnya dengan malu-malu. Lalu, tibalah musim semi. Musim yang membawa bahagia bagi semua orang. Banyak orang bahkan menyebut musim ini adalah musim penuh cinta.
Namun, tahukah kalian bahwa ada yang selalu bersedih saat musim itu datang?
Ya, Hades. Ia selalu bersedih menjelang musim semi, karena musim semi selalu berarti kepergian Persephon dari sisinya. Rasa sedih mana yang jauh lebih menyedihkan dibanding rasa sedih saat semua orang bahagia?
Kini, aku tahu bagaimana perasaan Hades tiap musim semi tiba. Bagaimana ia membenci musim semi. Selayaknya Hades yang selalu murung di dunia bawah, aku juga membenci musim semi. Musim yang mengingatkanku pada banyak kesedihan. Tepatnya kesedihan yang kudapat sejak musim semi tiga tahun yang lalu.
***
Malam itu, tiga tahun yang lalu, aku baru saja pulang dari latihan teater untuk pementasan beberapa minggu lagi. Saat aku hendak membuka pintu apartemenku, aku melihat sebuah amplop putih tergeletak tepat di depan pintu. Sedikit heran, kuambil amplop itu dan kudapati namaku tertulis di atasnya. Kuambil amplop itu dan segera membukanya. Di dalamnya terdapat secarik kertas kecil dengan dua kalimat tertulis rapi di atasnya.

Temui aku di Kuil Parthenon besok jam 2 siang. Penting.
Hector

Kemisteriusan surat itu sukses membuatku penasaran hingga pagi. Apalagi pengirim surat itu adalah seorang yang dulu begitu lekat dengan hidupku. Hector, dia adalah teman lama yang akhir-akhir ini tak jelas bagaimana kabarnya.
Akhirnya, setelah diam-diam meminta ijin kepada Ello untuk tak mengikuti latihan hingga akhir, aku bergegas pergi ke Bukit Acropolis, ke Kuil Parthenon yang dengan angkuh bertengger di puncak Bukit Acropolis. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, aku sampai di reruntuhan paling terkenal di Athena itu, lebih cepat sekitar seperempat jam dari waktu yang dijanjikan.
Kuhujamkan pandang ke sana-kemari untuk mencari seorang yang kukenal. Menelisik di antara puluhan pengunjung yang tengah mengagumi julangan pilar-pilar raksasa Kuil Parthenon. Namun, tak ada seorang pun yang mirip Hector. Aku hanya berharap wajah Hector tak terlalu banyak berubah sejak terakhir kami bertemu.
Di musim semi, kuil ini memang menjadi objek wisata yang ramai dikunjungi. Bagi para pengagum benda purbakala, kuil ini adalah secuil surga di dunia. Termasuk bagiku, juga Hector. Aku selalu saja kagum dengan pilar-pilar raksasa yang masih terpancang menantang langit, tatanan batunya, bahkan pahatan-pahatannya. Dengan mudah dapat kubayangkan bagaimana megah dan agungnya kuil ini pada masa jayanya.
Aku masih terpesona dengan agungnya patung-patung Athena yang menjulang beberapa meter di depanku saat seseorang tiba-tiba menyapaku dengan suara rendah yang terdengar tak asing bagiku. Aku berbalik. Butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari bahwa pria di depanku adalah Hector.
“Ke mana separuh tubuhmu yang lain?” Itu adalah komentar pertamaku padanya setelah bertahun-tahun tak bertemu. Aku ingat betul bahwa wajah itu jelas adalah wajah Hector. Alis tebal menaungi matanya yang biru pucat. Rambutnya hitam sedikit mengombak. Namun, Hector yang dulu kukenal adalah Hector yang tubuhnya nyaris selebar pintu―maaf, itu hanya guyonanku padanya. Namun, sekarang yang tampak di depanku adalah pria ramping yang sedikit berotot dengan wajah Hector di kepalanya.
“Oh, tadi aku bertemu dengan kakek-kakek tua yang kurus sekali di jalan, aku menyumbangkan padanya,” jawabnya membalas candaanku.
Aku tersenyum seraya memeluknya. Aku merindukannya, sebagai teman.
Ia balas memelukku. “Bagaimana kabarmu?”
Dan, perbincangan kami bergulir pada hal-hal umum seputar pekerjaan, tempat tinggal, dan pasangan.
“Kau bilang kau ingin membicarakan hal penting padaku,” ujarku mengubah alur pembicaraan, tapi ternyata itu salah. Kehangatan yang telah tercipta tiba-tiba lenyap, berganti dengan kecanggungan yang terasa datang terlalu cepat.
Tak langsung menjawab, Hector tiba-tiba merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil. Tanpa memberi kesempatan padaku untuk menerka apa isi kotak kayu kecil itu, tiba-tiba…
“Menikahlah denganku,” ujar Hector sambil menunjukkan isi kotak kayu itu, membuatku tersentak.
Selama sepersekian detik, aku lupa bagaimana cara bernapas dan benakku kacau. Lalu, lambat laun pikiran warasku mengambil alih. “Kau tidak sungguh-sungguh, kan?”
“Apa aku terlihat tengah bercanda?”
Jawabannya tidak. Hector terlihat begitu serius. Bagi wanita-wanita sepertiku, yang seorang pengagum berat puing-puing sejarah, pastilah merasa terharu jika dilamar di antara pilar-pilar Parthenon, tapi yang kurasakan saat ini adalah sebuah kebingungan. Sejak dulu kami memang dekat, tapi kami tak dekat dalam artian sebagai sepasang kekasih. Lagi pula, beberapa tahun terakhir ini kami tak pernah bertemu. “Kenapa?”
“Ini permintaan ibumu.”
“Huh?” Aku semakin tak tahu apa maksudnya.
Lalu, Hector menceritakan semuanya. Saat ia mengunjungi ibuku yang tengah sakit, ibu mengutarakan permintaannya pada Hector agar segera melamarku. Namun bukan hanya permintaan lamaran itu yang membuatku terkejut. Kenyataan bahwa ibu sama sekali tak memberitahuku bahwa ia sempat sakit juga membuatku tak habis pikir.
Hari itu, aku dan Hector perpisah tanpa ada jawaban dariku akan lamarannya. Aku menggantung jawabanku hingga beberapa hari kemudian.
“Aku akan tinggal di kota ini untuk beberapa waktu,” ujar Hector sebelum kami berpisah. “Hubungi aku jika kau sudah punya jawaban untukku.”
Malam harinya, aku langsung menelepon ibuku untuk meminta penjelasan darinya.
“Ibu hanya ingin melihatmu segera menikah,” jawab ibuku di ujung telepon. “Setidaknya, sebelum ibu meninggal, ibu bisa mendampingimu di pelaminan. Umur ibu mungkin tak akan lama lagi.”
“Apa maksud ibu?” tanyaku tak mengerti. Aku terdiam, namun ibu tak menjawab. Entah kenapa seharian ini orang-orang seakan mengatakan hal tak masuk akal padaku. “Aku dan Hector hanya teman,” lanjutku setelah cukup lama terdiam. “Lagi pula, aku sudah punya calon sendiri.”
“Apakah pria pilihanmu mau segera menikahimu?” tantang ibu. “Apa kau sudah cukup mengenalnya? Sejauh kau mengenal Hector?” Jika aku jujur, jawaban semua pertanyaan itu adalah aku tidak tahu. “Pikirkan lagi, Calista.”
Dan, benar. Pertanyaan-pertanyaan ibu terus terngiang di benakku hingga beberapa hari.
Apakah Bastien mau segera menikahiku? Jawabannya adalah tidak.
Beberapa hari setelah pertemuanku dengan Hector, aku mencoba memberanikan diri untuk menanyakan perihal pernikahan ini pada Bastien. Tidak secara terang-terangan tentu saja. Aku hanya menanyakan hal-hal umum tentang pernikahan padanya, dan dari jawabannya aku tahu ia belum siap jika kuminta untuk menikahiku segera. Kesalahan terbesarku adalah tak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Aku takut masalah ini akan bertambah runyam jika Bastien tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Lalu, apakah aku sudah mengenal Bastien sejauh aku mengenal Hector? Tentu saja tidak. Aku berpacaran dengan Bastien baru sekitar enam bulan. Sementara hubungan persahabatanku dengan Hector sudah terjalin sejak umurku belum mencapai enam tahun. Sudah jelas siapa yang lebih kukenal.
“Kau butuh orang yang benar-benar peduli padamu dalam berumah tangga,” nasehat ibu kemudian, saat aku meneleponnya lagi. “Cinta itu bisa tumbuh seiring waktu, seiring kebersamaan kalian, juga seiring bertambahnya tanggung jawab di antara kalian.”
Akhirnya, malam itu kuputuskan untuk menghubungi Hector. Aku gelisah saat menunggu teleponku diangkat. Ada keinginan untuk menutupnya langsung begitu terdengar sapaan di ujung telepon. Setelah menguatkan diri, akhirnya kata-kata keluar dari mulutku. “Baiklah Hector, kita coba.”
Lewat kalimat pendek itu, aku baru saja memaksa Bastien untuk memerankan Hades dalam drama kehidupan kami.
***
Ibu benar untuk banyak hal. Memang selalu seperti itu.
Ia benar tentang cinta yang akan tumbuh seiring waktu. Seiring kebersamaanku dengan Hector, aku mulai bisa belajar mencintainya. Seiring bertumbuhnya putra kami, cinta itu semakin menguat. Ibu juga benar telah memaksaku menikah segera, karena tak ada setahun setelah pernikahanku dengan Hector, ibu meninggal karena kanker payudara yang tak pernah ia beritahukan padaku. Aku tak tahu sebesar apa rasa sesal yang akan kutanggung jika saat itu aku tak pernah menerima permintaannya.
Namun, ada satu hal yang kusesali dari pernikahanku dengan Hector. Penyesalan yang selama ini terus menghantuiku.
Sampai saat ini, aku belum bisa benar-benar menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada Bastien. Sempat beberapa kali kukirim email padanya, tapi tampaknya ia tak pernah membaca email dariku. Mungkin ia langsung men-delete email-email-ku sebelum ia baca.
Hari ini, di awal musim semi ini, akhirnya aku punya kesempatan untuk menemuinya, untuk benar-benar menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padaku.
Beberapa hari yang lalu, aku memberanikan diri untuk membuat janji temu dengan Bastien. Saat itu, ia baru saja selesai mementaskan peran Boreas yang luar biasa bersama teater Ello, tempatku dulu mengadu bakat dengannya.
Kini, di sudut sebuah café di Monastiraki, aku tengah duduk sendirian menunggunya. Aku tak terlalu banyak berharap ia akan datang. Mungkin masalah ini tak penting lagi untuknya. Aku sudah yakin penantianku akan sia-sia, saat tiba-tiba lonceng di atas pintu masuk café berdenting lembut. Aku menoleh berharap Bastien yang masuk. Benar saja, orang itu memang Bastien, yang tengah celingak-celinguk mencari sesuatu, mungkin keberadaanku.
Aku berdiri hanya untuk menunjukkan di mana aku duduk. Setelah melihatku, ia langsung berjalan ke arah meja yang kutempati.
Ia duduk di depanku. Aura kecanggungan di antara kami tiba-tiba menyeruak. Pekat. Kami terdiam cukup lama. Saling menghindari tatapan satu sama lain.
“Aku mau menjelaskan semuanya padamu,” ujarku akhirnya. Sedikit kutundukkan wajahku untuk menghindari tatapnya. Detak jantungku berderu makin kencang. Aroma harum dari kopi di depanku tak lagi menenangkan.
“Tak perlu. Aku sudah melupakannya,” jawab Bastien mengejutkanku. Aku mencoba menelisik kemarahan di wajah dan matanya, tapi tak ada sedikit pun yang tampak. “Aku ke sini bukan untuk mendengar kau memamerkan suamimu.” Yang lebih membuatku terkejut, ia mampu melontarkan guyonan padaku. “Aku memutuskan menemuimu karena ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”
Kelegaan tiba-tiba membanjiri diriku. Kecanggungan di antara kami sedikit demi sedikit mulai terangkat. “Tentang?”
“Dione,” jawab Bastien mantap. Tiba-tiba ada sedikit rasa cemburu yang menyeruak, tapi rasa itu langsung lenyap ditelan lega yang masih meraja. “Apa kau tahu siapa dia sebenarnya? Kenapa ia bisa begitu mirip denganmu?”
“Dia adalah saudari kembarku,” jawabku setelah terdiam sesaat. Seperti seharusnya, Bastien terlihat begitu terkejut.
Reaksi seperti itu juga yang terjadi padaku beberapa tahun lalu, saat ibu memberitahuku bahwa aku punya saudara kembar, beberapa hari sebelum ia meninggal. Ia menceritakan bagaimana kami bisa berpisah, hingga tak mengetahui satu sama lain.
Keluargaku tengah berada di kondisi ekonomi terburuk saat aku dan Dione lahir. Ayah dan ibu nyaris tak mampu membayar biaya persalinan ibu. Membesarkan dua anak sekaligus menjadi sesuatu yang ditakutkan saat itu. Hingga akhirnya, sepasang suami istri, salah satunya adalah dokter yang menangani persalinan ibu, mendatangi ayah dan ibu. Pasangan itu adalah pasangan yang telah lama menikah, tapi tak kunjung dikaruniai keturunan. Mereka menawarkan hendak merawat salah satu dari kami jika diijinkan.
Akhirnya, setelah melalui diskusi yang sangat panjang, ayah dan ibu mengijinkan pasangan itu untuk merawat Dione, dengan syarat tak ada larangan bagi ayah dan ibu untuk menemui Dione kapan pun. Setelah surat-surat perjanjian dan berkas-berkas adopsi dilengkapi, resmilah Dione pindah ke keluarga pasangan itu. Hingga kini.
“Berbekal namanya dan nama orang tua angkatnya, diam-diam aku mulai mencari keberadaan Dione,” lanjutku menceritakan kehidupan persaudaraan ini pada Bastien. “Tak kusangka, ternyata ia juga mendalami teater sepertiku. Ia tergabung dalam sebuah kelompok teater kecil di Pireas, salah satu kota tetangga Athena. Aku sempat menonton pertunjukannya sekali. Lalu, melalui email yang kudapat dari internet, kusarankan teater Ello padanya. Dan, di kota inilah dia sekarang.”
Bastien terdiam. Ia tampak tak punya kata-kata untuk menanggapi cerita panjangku.
“Ada hal lain yang kau ketahui tentang Dione?” tanya Bastien setelah terdiam. Ada sedikit nada penasaran yang kutangkap dari kata-kata itu. Aku belum bisa memastikan, tapi sepertinya ia mulai menaruh rasa pada Dione.
“Ya,” jawabku. Sedikit senyum kusunggingkan di akhir kata itu. “Ia tengah menyukai seorang pria.”
Bastien tampak salah tingkah, padahal aku sama sekali tak menyebut bahwa pria yang disukai Dione adalah dirinya. “Siapa?”
“Itu bukan rahasia banyak orang,” jawabku mengelak.
“Kau benar.” Ia tampak kecewa.
Sejenak terdiam. “Tampaknya, tak ada lagi yang perlu kusampaikan.” Aku bangkit. “Aku harus pergi sekarang. Dua jam lagi aku akan terbang ke India. Suamiku dipindahtugaskan ke Mumbay.”
“Baiklah.” Bastien ikut bangkit.
Aku melangkah keluar dari kursiku, lalu memeluknya. “Terima kasih, Bastien.” Ia balas memelukku, menepuk punggungku dengan lembut sebelum melepaskan pelukanku beberapa saat kemudian. “Selamat tinggal.”
Ia hanya mengangguk dan melambaikan tangan.
Aku berjalan meninggalkan Bastien, tapi tiba-tiba ada keinginan untuk menjawab pertanyaan terakhir Bastien tadi. Aku berhenti dan berbalik, namun begitu mataku bersitatap dengan matanya, kata yang keluar dari mulutku justru berbeda dengan apa yang kupikirkan. “Jaga Dione untukku.”
Untuk sesaat Bastien tampak terkejut, sebelum akhirnya mengangguk dan menunjukkan sebentuk senyum padaku. Aku berbalik dan kembali melanjutkan jalanku. Beberapa langkah kecil kuambil, tapi tiba-tiba langkahku terhenti oleh suara isak seorang gadis. Aku menoleh, memandang ke sofa merah tempat gadis itu duduk. Aku mematung, benakku kacau.
“Kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku?” tanya gadis itu dalam isakan. Walau gadis itu tak memandangku, tapi aku tahu pertanyaan itu ia utarakan padaku.
Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Pikiranku tiba-tiba buntu, seakan semua kosa kata yang pernah kupelajari lenyap dari benakku. Satu-satunya kalimat yang akhirnya keluar dari mulutku hanyalah sebuah permintaan maaf untuk gadis itu. “Maafkan aku, Dione.”
Aku sadar, duka Hades yang baru saja kucabut dari Bastein secara tak sengaja kutancapkan ke hati yang lain, hati Dione. Aku baru saja menanamkan duri kesedihan di hatinya, yang akan selalu ia ingat bersama setiap kedatangan musim semi di bumi Athena ini.

Bersambung…


Note: Tulisan ini dibuat untuk tantangan #KisahEmpatMusim #SpringStory dari @KampusFiksi. Kisah ini masih akan berlanjut. Kisah mitos apalagi yang akan menelusup masuk mengisi lubang kisah Bastien, Dione, Calista, Ello, dan Hector? Tunggu di kisah musim panas dan musim gugur mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k