Langsung ke konten utama

[Cerpen] INGKAR RASA



Cuap-cuap pembukaan dulu ya sebelum masuk cerpennya? hehehe~ *dikira pidato*
Baiklah. Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Rabu tanggal 27 November 2013, saya mendapat kabar gembira dari Penerbit Diva Press. Kabar gembira ini bukan tentang naskah, tapi tentang sesuatu yang lebih menggembirakan, yaitu kabar tentang lolosnya saya dalam seleksi cerpen program #KampusFiksi Reguler yang diadakan oleh penerbit tersebut setiap 2 bulan sekali. Bagi kalian yang ingin tahu seperti apa program kampus fiksi itu, bisa pantengin lini masa penerbit Diva Press di @divapress01, atau follow CEOnya di @edi_akhiles. Kedua akun itu akan dengan loyal berbagi info terkait program #KampusFiksi baik Regular atau pun Roadshow.
Untuk seleksi program #KampusFiksi, penyelenggara mensyaratkan setiap pendaftar untuk mengirimkan sebuah cerpen roman baik roman remaja atau pun dewasa. Persyaratan ini dimaksudkan untuk menilai kemampuan dasar para pendaftar.
Berikut ini saya sertakan cerpen yang telah membantu saya mendapatkan tempat di #KampusFiksi9 yang akan dilaksanakan bulan September 2014 nanti bersama 19 peserta yang lain (yang ternyata didominasi oleh peserta perempuan. Cowoknya cuma 2 dari 20 peserta #KampusFiksi9. Saya salah satunya hehehe~).
Selamat membaca. Semoga menghibur.

*********************************************************************************

INGKAR RASA
by Dwipatra

Sumber Gambar: Klik di sini

“Jika bukan kau yang kulihat, apakah aku akan mati jika menikah denganmu?”
“Ya. Begitulah tradisi yang kita percayai.”

***
Biasanya, matahari terbenam akan mampu menghilangkan gundah yang kurasa. Saat lingkar kemerahan itu amblas di balik muka laut yang tenang, gulanaku seakan ikut tenggelam bersamanya. Namun, kali ini tidak. Saat gelap akhirnya menyergap, tak ada lagi tenang yang biasa kurasa.
Aku beranjak dari dermaga kecil ini, berjalan menyusuri lantai kayu yang saling berkeriut saat kuinjak. Tak sedikit pun kupedulikan suara keriut mengerikan itu, pikiranku terlalu sibuk memikirkan upacara yang akan kujalani malam nanti. Bukan sebuah upacara biasa, tapi upacara untuk menentukan siapa calon suamiku.
Di desa pesisir tempatku tinggal, masih hidup berbagai kepercayaan kuno hingga sekarang. Salah satunya terkait perjodohan. Saat seorang gadis telah menginjak usia 20 tahun, ia harus melakukan upacara ini untuk menentukan siapa jodohnya. Laut akan memilihkan seorang pria untuknya. Konon, jika pada akhirnya gadis itu tak menikah dengan lelaki yang laut pilihkan untuknya, kemalangan akan menemani di sisa usianya.
Bagi para gadis yang patuh, upacara ini mungkin adalah hal yang paling ditunggu selama hidupnya, saat akhirnya mereka tahu siapa yang pantas untuk mereka miliki. Namun, bagi mereka yang tengah terlibat hubungan cinta, upacara ini sungguh merisaukan. Bagaimana jika orang yang ia cintai ternyata bukan jodohnya? Bagaimana hubungan itu akan berlanjut? Haruskah mereka mengakhirinya?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang tengah membebaniku sedari tadi. Sekarang, aku tengah terlibat hubungan cinta dengan seorang pria. Jika dalam upacara nanti laut memilih pria lain untukku. Aku tahu, akan ada dua hati yang retak, atau bahkan remuk tak berbentuk.
***
“Tak biasanya kau menjadi sependiam ini?” tanyaku pada Arung beberapa hari yang lalu, saat terakhir kali kami bertemu. Memang kata-kata kadang menjadi begitu sulit keluar saat perpisahan adalah satu-satunya hal yang bisa diperbincangkan. “Apa kau masih meyakini bahwa aku tak akan pernah melihatmu dalam upacaraku beberapa hari lagi?”
Arung memandangku. Sorot senja membuat matanya yang gelap menjadi sedikit terang. Angin laut menerpa, menggoyangkan helaian rambutnya yang hitam lurus.
“Jika mampu, aku benar-benar tak ingin meyakini hal itu,” jawabnya mengakui. “Tapi, kemungkinan kau akan melihatku sangat kecil. Ada ratusan pria di desa ini, dan pria mana pun bisa muncul dalam mimpimu.”
“Kemungkinanmu memang kecil, tapi bukan tidak mungkin, kan? Kesempatanmu akan sama besar dengan kesempatan pria-pria lain di desa ini.”
“Memang,” balas Arung akhirnya. “Tapi, hubungan yang telah kita jalin selama ini membuatku merasa lebih berhak memilikimu. Itu yang membuatku merasa kemungkinanku menjadi jauh lebih kecil dari seharusnya.”
Sejenak, diam menyusup. Aku mengalihkan pandang ke laut yang tenang, berbias warna senja yang kemerahan.
“Arung,” panggilku memecah keheningan. “Jika bukan kau yang kulihat, apakah aku akan mati jika menikah denganmu?”
“Ya.” Ia ikut menatap jauh ke tengah laut. “Begitulah tradisi yang kita percayai.”
***
Gunungan sesaji baru saja dilarung. Tumpukan hasil bumi itu masih terlihat mengambang, bergoyang mengikuti aliran ombak yang akan membawanya ke tengah samudra. Setelah doa-doa dipanjatkan dan berbagai pujian dilantunkan, orang-orang mulai menaburkan sejumput bunga padaku. Dimulai dari orang-orang terdekatku, ibu, ayah, kerabat, hingga para tetangga yang ikut mengantarku.
Kini, setelah semua orang menaburkan bunga padaku, tinggal satu hal lagi yang harus aku lakukan untuk menyempurnakan rangkaian upacara ini. Rangkaian upacara terakhir yang akan menunjukkan siapa pria yang harus kunikahi.
“Anindya,” kudengar ayah memanggilku. “Tempat tidurmu sudah siap.”
“Ya,” jawabku seraya berjalan mengikuti ayah ke sebuah gubuk kayu kecil tak jauh dari garis pantai.
Inilah rangkaian terakhir upacaraku. Aku hanya perlu tidur di gubuk kecil itu. Ayah dan beberapa kerabat laki-lakiku akan menjaga gubuk itu, menjaga tidurku. Menjagaku yang akan bermimpi menemui pria yang ditunjukkan laut untukku.
***
Aku berjalan menyusuri pantai seorang diri. Kudengar kuak camar di kejauhan. Aku berhenti sesaat, memandang jauh ke deretan ombak yang bergulung-gulung. Sesaat kemudian, gulungan ombak itu melebur di pantai, mencium kakiku yang telanjang. Aku merasakan sensasi terseret saat sisa-sisa pecahan ombak itu kembali hanyut ke lautan.
Aku kembali berjalan, tak tahu akan berhenti di mana. Aku bahkan tak tahu kenapa aku menyusuri garis pantai seorang diri. Tapi, aku tak peduli.
Mungkin lebih dari seratus langkah telah kuambil saat aku mendengar seseorang berteriak. Mulanya teriakan itu terdengar samar, melebur di antara suara ombak dan kuak camar. Semakin aku mencermati, suara itu terdengar makin jelas. Makin jelas pula apa maksud teriakan itu, teriakan meminta tolong.
Gelombang kejut melandaku. Aku berlari dengan sedikit rasa panik yang mulai merayap. Kucoba mencari pemilik suara itu. Kutengok setiap jengkal pantai. Kusisir di antara gelombang yang saling memecah dan melebur. Tapi, tak berhasil kutemukan apa pun. Pantai ini tetap kosong, sekosong sebelumnya.
Kuhujamkan kembali pandanganku ke segala arah, terus menelisik di antara gelombang, hingga mataku menangkap sesosok pemuda yang tengah berjuang melawan arus. Sesekali kepalanya menyembul dan tenggelam dalam air.
“Sabrang!” teriakku. Aku mengenali pemuda itu. Dia adalah salah satu pemuda di desaku. Pemuda yang terkenal tak waras. Ya, dia gila.
Rasa panikku semakin menjadi. Tak ada orang lain di sini selain diriku. Bagaimana aku harus menolongnya? Aku tak berani jika harus menceburkan diri ke laut. Aku juga takut tenggelam.
Saat pikiran panikku masih terus meneriakkan berbagai pertanyaan, tiba-tiba sebuah gelombang menyapu Sabrang. Seluruh tubuh pemuda itu tertelan air laut. Aku tercekat. Berharap ia akan bertahan, tapi setelah beberapa lama, ia tak kunjung muncul. Laut telah menelannya.
***
Aku terdiam. Memperhatikan ibuku yang tengah menggelung rambutku lewat cermin. Untungnya ibu tidak banyak bertanya tentang siapa yang kuimpikan semalam. Ia hanya bertanya sekali, tapi aku menolak menjawabnya. Memikirkan mimpiku membuat hatiku nyeri oleh rasa bersalah. Masih tergambar jelas wajah ketakutan Sabrang di benakku. Sulit mengenyahkan gambaran itu begitu saja. Untungnya itu hanya sebuah mimpi.
“Apakah sebelumnya pernah ada yang menolak menikah dengan pria yang ia lihat?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka mulut.
Ibuku tampak ragu sebelum menjawab. “Memangnya kenapa? Jangan pernah berpikir untuk melakukan itu.”
Aku menggeleng, dan perbincangan kecil ini berakhir tanpa ada jawaban untukku. Keheningan kembali menyergap.
“Ayo,” ajak ibu memecah keheningan. “Orang-orang sudah menunggu kita.”
Aku bangkit. Meninggalkan kamar, kami berjalan ke beranda rumah. Di sana, hampir semua warga desa sudah berkumpul. Hari ini aku harus mengumumkan siapa pria yang kulihat semalam kepada semua penduduk desa.
Aku menyapukan pandangan ke kumpulan orang di depanku. Dilema langsung menyerbu ketika aku melihat dua wajah itu, wajah Arung dan Sabrang.
Melihat Arung yang tampak sedih semakin menguatkan keinginanku untuk mengingkari apa yang aku lihat tadi malam, tapi itu berarti aku akan mematri kemalangan seumur hidup pada diriku. Beralih ke Sabrang yang tengah digamit ibunya, bayangan mimpi semalam kembali muncul mengiringi rasa bersalah yang kembali hadir. Namun, aku juga membayangkan kehidupan rumah tanggaku akan begitu menyedihkan.
Bagaimana aku bisa menjalani hidupku bersama seorang yang cacat pikir? Apa kata teman-teman sebayaku nanti? Mereka pasti akan menertawakanku, membandingkan Sabrang dengan suami mereka, yang jelas-jelas jauh lebih sempurna. Sebenarnya, aku kasihan melihat Sabrang. Tapi, jujur saja. Aku benar-benar tak ingin punya seorang suami yang bahkan tak bisa berpikir dengan benar.
“Katakan siapa yang kau lihat semalam, Anindya,” perintah ayah kemudian.
Sekali lagi kupandangi dua wajah itu, tapi tetap saja aku masih kesulitan untuk memutuskan. Ragu masih terus membelenggu.
Aku menghela nafas panjang. Jika memang tak ada pilihan yang menguntungkan bagiku, aku harus mengambil keuntungan yang ada. Sesedikit dan setidak adil apa pun itu. Demi kebahagiaanku.
Dadaku bergemuruh, detak jantungku terpacu oleh jawaban yang akan kuberikan. Setelah sehela nafas, akhirnya aku memutuskan. “Aku melihat Arung dalam mimpiku.”
Dan, kemalangan telah mulai mengintaiku sekarang.
***
Waktu berlalu satu edaran bulan penuh. Sebuah peristiwa luar biasa tiba-tiba terjadi, menggemparkan desa yang biasanya sepi. Seorang gadis, tanpa diketahui penyebabnya, tiba-tiba menenggelamkan dirinya ke laut. Pencarian mayat sang gadis dilakukan, tapi hasilnya nihil. Tak seorang pun berhasil menemukannya. Gadis itu lenyap tak berbekas ditelan lautan.
Sejak peristiwa itu, mulut-mulut seakan berubah latah, menggunjingkan peristiwa itu hingga ke sudut-sudut terjauh desa.
“Padahal tak lama lagi mereka akan menikah,” ujar seorang wanita paruh baya. “Kasihan sekali calon suaminya.”
“Kau kenal gadis itu?” tanya lawan bicaranya, yang juga seorang wanita seusianya.
“Tidak, sih, tapi aku tahu namanya.”
“Siapa?”
Wanita itu terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan tengah memastikan bahwa tak ada seorang pun yang akan mendengar kata-katanya. Kemudian wanita itu menyebut sebuah nama dalam bisikan. “Anindya.”

~Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k