Langsung ke konten utama

Review Blessed Heart

Review Berkala
Blessed Heart
Adam Aksara


(Review ini akan di-update menyesuaikan progress baca novelnya ^_^ )

Reaksi pertama begitu lihat jumlah halaman ---> @_@ Buset, itu kalo versi cetak mau jadi setebel apa? Mungkin setebal Breaking Dawn yang 800an halaman. But, mari kita lihat dulu apa yang ingin ditulis Adam Aksara dalam naskah setebal ini.
Mari mulai…

( 11 Februari 2013)
Prolog

~Narasinya terlalu berbunga, untuk masalah ini setiap pembaca berbeda-beda dalam menanggapinya. Saya pribadi, agak kurang suka dengan narasi yang terlalu ‘puitis’ seperti ini. Kalimat-kalimat indah tak masalah, asal kadarnya tidak berlebihan. #SeleraPribadi :D

~Kalimat-kalimatnya terlalu panjang, sehingga kadang kurang nyaman dibaca. Mungkin bisa ditambah (,), menghilangkan beberapa kata, atau dibuat menjadi beberapa kalimat. Misalnya kalimat ini:
Menggerakkan jari-jemari, mataku terpukau menatap pada sinar matahari yang mencoba menerobos masuk melalui sela kecil jari jemariku dan membentuk garis-garis cahaya menyilaukan. (Hal.3)
Bisa saja dibuat menjadi seperti ini:
Menggerakkan jemariku, mataku terpukau menatap sinar matahari yang mencoba menerobos sela jemariku, membentuk garis-garis cahaya menyilaukan.

~Satu bab prolog ini tidak ‘bercerita’, jadi saya belum nemuin apa yang bagus dari bagian prolog ini. Sejujurnya, setiap membaca prolog sebuah novel, saya selalu mengharapkan timbulnya rasa penasaran pada bab-bab selanjutnya, tapi tidak dengan prolog ini. Entah kenapa prolog ini hanya berisi kegalauan si tokoh akan hidupnya.
Oke, lanjut dulu…

~( ^_^~) ~( ^_^ )~ ( ~^_^ )~



(20 Februari 2013)
Bab 1

Di awal kejam dulu*keluar tanduk, menyeringai kejam*

~Kalimat yang berpotensi membingungkan masih ada di mana-mana. Beberapa contoh saja pada kalimat-kalimat ini. Coba baca. Apakah anda dapat memahaminya dalam sekali baca? Jika tidak, anda punya masalah yang sama dengan saya…
“Ia langsung berjalan cepat menembus garis pertahanan polisi dan menerobos pintu utama bank dengan dihujani tembakan dari dalam yang membuat tubuhnya terlihat memercikan api.” (hal 8)
---> Yang dihujani tembakan sipenerobos atau pintubanknya? Yang dimaksud penulis pasti sipenerobos, tapi sekilas tampak bahwa yang dihujani adalah pintu banknya.
“Dalam satu gerakan cepat tubuh penyandera itu terlempar jauh hingga jatuh tepat di jalan berbatu di depan bank yang langsung diringkus polisi terdekat.” (hal 9)
---> Yang langsung diringkus jalannya atau penyanderanya? Yang dimaksud penulis tentu adalah penyanderanya, tapi kata ‘yang’ di situ seakan menjelaskan jalan berbatunya.
Dan masih ada beberapa kalimat-kalimat serupa di bab pertama ini. Agak menghambat kecepatan membaca, karena tanpa sadar pikiran akan berpikir ulang untuk mendapati arti sebenarnya kalimat itu.
(_ _ !!)

~Masalah typo (salah ketik) dan penggunaan kalimat tak efektif. Dari bab yang berisi sekitar 23 halaman ini, saya menemukan salah ketik dan pemborosan kata sebanyak 15 (itu sejauh yang bisa saya temukan). Karena ini masih versi pra-cetak, semoga editor bisa menghilangkan typo-typo itu *kasih semangat ke editor \(^_^)/*.
Inilah beberapa typo dan pemborosan kata yang saya temukan:
di posisikan (hal 10), saling dorong-mendorong (hal 11), zona yang yang (hal 14), di aktifkan (hal 16), di kehendaki (hal 17), di angkat (hal 19), semuaini (hal 19), di sambut (hal 20), di jual (hal 21), di telusuri (hal25), di tinggali (hal 25), menganas (hal 26), angina (hal 27), disana (hal 28), merambat –maksud penulis sepertinya adalah melambat-(hal 29).
Hampir sebagian besar typo itu adalah karena penggunaan awalan ‘di’ yang tidak tepat. Mudahnya begini:
·         Di + (nama tempat/kata tunjuk tempat) = dipisah.
·         Di + (kata kerja/selain ‘tempat’) = digabung.

~Info berlebihan. Aksara cenderung ingin memperbanyak informasi sebanyak mungkin dalam menulis, sehingga kadang hal yang sebenarnya tak perlu diulas terlalu banyak pun ikut dimasukkan. Hal ini tampaknya salah satu alasan kenapa novel ini begitu tebal. Selain ketebalan, info berlebihan ini juga membuat cerita berjalan lambat. Bagi sebagian orang yang tidak sabaran, cerita lambat dapat menimbulkan kebosanan, yang pada akhirnya dia tak berkenan menyelesaikan novel itu. Ia tak peduli apakah kelanjutannya bagus atau tidak.
Jadi, saran saya. Kurangilah info-info yang agak tak terlalu mendukung cerita. Sebagai contoh dalam bab ini adalah penjelasan tentang yogi, kundalini, penjelasan sains sang guru, moto-moto, dan sebagian lelucon tentang babtisan. Tak perlu dihilangkan semua, hanya porsinya mungkin agak dikurangi saja. Hilangkan hal-hal yang tak mendukung cerita secara langsung.

Negatif terus yang dibahas dari tadi. Kini giliran positifnya \(^_^)/

~Pembukaan kisah yang bagus. Menurut saya, jika bagian prolog dihilangkan pun tak masalah. Bab ini sudah cukup bagus (atau malah lebih bagus) menjadi pembuka (dengan catatan bagian-bagian yang disebutin di atas diperbaiki).
~Konsep ceritanya seru, walau tak terlalu orisinil. Makhluk-makhluk super ala-ala X-Men, Fantastic 4, dan Heroes bergabung dalam satu dunia karena sebuah kiamat kecil. Aku selalu suka dengan cerita macam ini ~(^_^)~
~Akhir bab berupa pancingan ke bab berikutnya adalah strategi yang bagus untuk menarik minat pembaca ke bab berikutnya. Dan Aksara melakukannya dengan bagus di bab ini. Nice job (^_^)b

Kutipan untuk sedikit penyegaran ahihi…
Tangannya seketika mencengkeram kuat kemaluan Daniel yang membuat Daniel berteriak keras kesakitan.<---- adegan apahhh inihhh @_@ itu si Jess ngerjain atau modus terselubung? :D
Sekian dulu, nanti disambung di episode selanjutnya (yang belum bisa ditentukan waktunya, map lama) ^_^ *langsung melipir pergi sebelum si empunya novel dateng*
Semoga, repiu ini bisa menjadi bahan perbaikan untuk versi cetak novel ini.

~( ^_^~) ~( ^_^ )~ ( ~^_^ )~

 
-->
(21 Februari 2012)
Bab 2

Positif:
Narasi makin lancar dan semakin enak dinikmati. Kalimat-kalimat panjang nan membingungkan di bab-bab sebelumnya juga sudah tak kutemukan. Bab ini menunjukkan kemajuan yang bagus. Semoga ini berlanjut ke bab-bab berikutnya, atau bahkan lebih baik.

Hanya ada sedikit typo dalam bab ini, hanya 4. Wow, penurunan yang drastic bukan? Berikut daftarnya: di pisahkan (hal 37), di wawancara (hal 44), kampunkgu (hal 46), lembam (hal 48). Untuk yang terakhir, tampaknya bukan salah ketik karena setelah kucek ternyata kata lembam ini juga digunakan untuk menunjukkan hal yang sama di bagian-bagian lain. Mungkin penulis menganggap ‘lembam’ = ‘lebam’. Yang dimaksud kalimat ini pastilah ‘lebam’ bukan ‘lembam’. Menurut KBBI, lembam dan lebam itu beda. Kusalinin dari KBBI ya?
Lembam:
lem·bam a tidak tangkas; lamban; malas.
lem·bam, ke·lem·bam·an n Fis sifat materi yg menentang atau menghambat perubahan keadaan gerak benda materi itu; inersia.
Lebam:
le·bam a biru kehitam-hitaman (spt warna bekas kena pukul).

Negatif:
Setting, emm.… agak bingung. Seperti apa sebenarnya dunia tempat Jaime ini hidup. Sepanjang cerita yang terbayang di benakku adalah sebuah desa-desa ‘post-apocalyptic’ gitu. Tapi, jika dicermati lagi, kayaknya desa itu damai-damai saja, walau baru beberapa tahun sebelumnya sebuah ‘kiamat’ berupa limpahan energi baru saja menghantam bumi. Peristiwa ini baru berlangsung kurang dari 6 tahun, tapi tampaknya selain muncul para super-hero, tak ada efek lain.
Kondisi psikologis para manusianya juga tampak normal-normal saja. Hidup mereka masih berjalan normal. Sekolah, berkelahi tiap hari, dll. Makin menunjukkan bahwa peristiwa pembabtisan masal itu bukanlah peristiwa yang besar.

Sifat para tokohnya. Entah kenapa, penulis seakan ingin menonjolkan karakter Jaime sedemikian rupa dengan mem-‘buruk’-kan tokoh lain. Bahkan ayah Jaime pun dibuat tak berperasaan. Coba baca dialog ini:

Ayahku menjadi marah dan segera mengusirku keluar rumah sembari berteriak, “Kalau kamu tidak memukulnya kembali, kamu tidak usah pulang.” (hal 33).

Bisa dibayangkan bagaimana perangai si ayah? Dan di bagian selanjutnya, penulis menuturkan bahwa hal seperti itu adalah biasa. OMG!!! Pantesan anak-anak di situ punya hobi berkelahi. Ayahnya saja ngajarinnya seperti itu.
Selain sang ayah, guru Jaime juga menjadi korban sang penulis. Berikut kutipan untuk sang guru:

“Yang benar itu persis seperti ini, semua jalan, rumus, titik, koma dan angka-angkanya jangan protes lagi!” (hal 34).

Mungkin tak terlalu aneh jika hanya dilihat dari kutipan itu, tapi kemudian si penulis menambahkan bahwa Jaime telah menggunakan cara yang berbeda (rumus baru) untuk mengerjakan soal itu. Di sini jelas bagaimana sifat guru itu. Jika dia benar-benar seorang guru, maka seharusnya mau mendengarkan penjelasan Jaime, bukan malah mengatai dan memarahinya.
Jika maksud penulis adalah untuk menonjolkan sifat ‘baik’ Jaime, maaf Bro cara ini tak terlalu berhasil. Cara ini justru menunjukkan bahwa Jaime seorang penggerutu ulung. :D

Ucapan benak atau entah apa sebutannya terasa tak penting dibedakan. Bukankah ini disampaikan lewat POV 1, sehingga apa pun yang tertulis adalah hasil pemikiran tokoh utama. Apa perlunya membedakan dengan cetak miring?

Hal-hal lain yang tak terlalu penting :D
~Hal 36-38, penataan marginnya berubah #TakPenting
~“Ada apa dengan kejadian tadi?” (Hal 43). Merasa aneh gak dengan kalimat ini? Lebih enakan mana dengan kalimat ini? “Apa yang terjadi tadi?”
~Pembesar suara? (hal 45). Lazimnya ‘pengeras suara’
~Sifat Jaime nampaknya merupakan cerminan sang penulis *Digeplak Aksara Karena Nebak Sembarangan*

Terakhir, seperti biasa. Kutipan intermeso :D
“Lagipula tidak ada apa pun yang menarik untuk dikerjakan di desa pada saat malam hari, di mana hanya ada kesunyian panjang dan udara yang sangat dingin sehingga membuat anak adalah hiburan tetap tiap kepala keluarga.” <----- Errrr….

~( ^_^~) ~( ^_^ )~ ( ~^_^ )~

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k