Santa Clues
by Dwipatra
![]() |
Sumber Gambar: klik di sini |
Hampir saja aku memutuskan untuk
berhenti mencari ketika mataku menangkap sebentuk benda kotak di antara
semak-semak. Warna pembungkus kotak itu sebenarnya cukup mudah terlihat di
bawah terangnya lampu taman andai saja tak tertutup oleh rimbunya sesemakan.
Atau mungkin aku saja yang sudah terlalu malas untuk mencari. Apa pun itu,
intinya aku sudah menemukan Petunjuk Santa yang pertama. Yah, Petunjuk Santa―Santa Clues―sebuah permainan yang selalu
dinantikan saat malam Natal menjelang di desa Sunvill, terutama oleh kami yang
usianya masih di bawah 16 tahun.
Kuhampiri kotak kertas
itu, agak terburu, takut seseorang tiba-tiba muncul dan merebutnya dariku. Aku
tak rela jika harus kehilangan kotak ini di tahun terakhir aku bisa mengikuti
permainan ini. Ya, tahun depan umurku sudah 16 tahun. Ditambah lagi, tahun lalu
aku hanya bisa menjadi penonton, karena tak berhasil menemukan petunjuk pertama
itu.
Perlu kalian ketahui,
hanya ada dua belas petunjuk pertama yang disebar di sepenjuru taman. Jadi,
hanya mereka yang menemukan petunjuk pertama yang bisa mengikuti permainan ini.
Petunjuk pertama akan mengantar sang pemain ke petunjuk-petunjuk selanjutnya,
yang jika beruntung akan membawa sang pemain ke suatu tempat rahasia di mana
Santa akan menunggu kehadiran sang pemenang. Konon kabarnya, jika kita bisa
bertemu dengan Santa, kita bisa meminta apa pun padanya. Semoga saja aku bisa
bertemu dengannya malam ini. Ada sebuah permintaan yang harus kuutarakan
padanya.
Kuambil kotak itu.
Perlahan, kurobek pembungkusnya dan kubuka kotak itu. Di dalamnya terdapat
beberapa benda. Sebatang krayon berwarna putih, sebongkah batu, sebuah anak
kunci, dan selembar kertas. Aku tahu fungsi benda-benda itu. Walau tak pernah
berhasil hingga akhir, tapi aku pernah melewati tahap ini. Jadi, aku tak
terlalu asing dengan benda-benda ini.
Kuambil kertas dari
dalam kotak. Seperti biasa, dalam ketas inilah petunjuk untuk menemukan
Petunjuk Santa berikutnya tertulis.
Satu
goresan, cahaya terang akan menuntun langkahmu.
Aku hanya tersenyum
kecut membaca kalimat itu. Aku sudah pernah menemukan petunjuk pertama sebanyak
dua kali, dan tulisannya selalu sama. Sepertinya Santa tidak memiliki banyak
stok kalimat teka-teki.
Karena sudah pernah
menemukan kalimat yang sama sebelumnya, jadi tak butuh banyak berpikir bagiku
untuk mulai beraksi. Kuambil krayon dan batu dari kotak, lalu kukantongi anak
kunci itu di saku celana panjangku. Lekas saja kugoreskan krayon pada bongkah
batu di tanganku.
Satu goresan putih
tercipta. Tiba-tiba dari remang malam, tertoreh di antara pepohonan, memancar
sependar cahaya memanjang berbentuk anak panah. Tidak terlalu terang, tapi
cukup untuk menunjukkan arah padaku. Cahaya itu mengambang beberapa detik di
udara sebelum akhirnya lenyap. Itulah petunjuk arah yang harus aku ikuti.
Bergegas, aku berlari
mengikuti arah yang ditunjuk cahaya tadi. Berpuluh-puluh langkah berikutnya,
aku benar-benar kehilangan arah. Kugoreskan lagi krayon itu. Seberkas sinar
yang sama kembali muncul menunjuk arah yang benar. Hingga akhirnya aku tiba di
petunjuk kedua, aku telah menggoreskan krayonku sebanyak lima kali. Kupandangi
dengan sayang krayon itu. Panjangnya kini tak lebih dari seruas jari.
Untungnya, dari kotak yang kini berada di depanku aku akan mendapatkan krayon
yang lain.
Tak ingin terlalu
banyak membuang waktu, aku langsung mengambil dan membongkar kotak itu
menggunakan anak kunci yang kuambil dari kotak pertama tadi. Di dalam kotak itu
terdapat benda-benda yang sama seperti yang berada di kotak pertama, ditambah
selembar kertas lagi dan minus sebongkah batu. Kuambil benda-benda itu dan
kubuang krayon lamaku, karena benda itu tak akan berguna lagi sekarang. Setelah
mengantongi anak kunci yang baru, kubaca petunjuk yang tertulis di kertas
pertama.
Separuh
bagian depan, separuh bagian belakang.
Kalimat yang sama,
lagi. Santa benar-benar tak kreatif. Positifnya, ini justru mempermudah. Aku
tak perlu bersusah payah memikirkan arti kaimat itu, karena aku sudah
mengetahuinya dengan pasti. Separuh bagian depan, separuh bagian belakang.
Salah satu ujung krayon akan memandu kita ke arah petunjuk selanjutnya,
sedangkan ujung yang lain akan mengarahkan kembali ke petunjuk sebelumnya.
Begitulah artinya.
Setelah puas
mengeluhkan, sekaligus mensyukuri ketidakkreatifan Santa, aku langsung beralih
ke kertas kedua.
Belum
terlambat untuk pergi. Tak ada hadiah yang menantimu di ujung pencarian.
Derita? Mungkin. Malam ini tak seperti malam-malam sebelumnya. Kembalilah.
***
Kalimat-kalimat dalam kertas kedua itu
benar-benar baru buatku. Ini ironis. Sebelumnya, baru saja aku mengeluhkan
kalimat Santa, tapi sekarang aku malah dibuat bertanya-tanya―sedikit takut,
malah―dengan kalimat di kertas kedua. Sepertinya itu bukan teka-teki. Apakah
itu peringatan? Mungkin saja, tapi aku tak bisa mundur. Apa pun yang terjadi
aku harus pergi. Aku harus bertemu dengan Santa. Aku sudah terlanjur perjanji
dengan adikku yang kini tengah terbaring sakit di rumah.
“Kakak,” panggil
Moran―adik laki-lakiku yang baru berumur 8 tahun―lemah, siang tadi saat aku
menghias pohon Natal mini di kamarnya.
“Ya?” Aku menoleh
padanya. Kuhentikan kegiatanku, lalu aku duduk di samping tempat ia terbaring.
“Apakah nanti malam
kakak akan pergi?” tanya Moran lagi.
Aku mengangguk sedih,
sebenarnya aku tak ingin pergi andai saja aku punya pilihan. “Kakak harus
pergi.”
Batuk kecil menyela
saat ia ingin melanjutkan pertanyaannya. “Jika kakak bertemu Santa nanti,
apakah kakak mau memintakan sesuatu untukku?”
“Tentu saja,” jawabku.
“Alasan kakak ingin menemui Santa karena kakak tidak punya hadiah Natal untukmu
besok. Memangnya apa yang ingin kau minta pada Santa?”
Dengan susah payah,
Moran berusaha bangkit. Aku mencegahnya, tapi ia bersikeras, sehingga aku
membantunya duduk lebih tegak. Tangannya terjulur ke arah meja di samping
ranjang.
“Apa yang ingin kau
ambil?” tanyaku hendak membantu, merasa kasihan melihat tangannya yang gemetar.
“Buku gambar itu,”
jawabnya masih berusaha meraih buku itu.
Tahu apa yang ia inginkan,
kusambar buku itu dan kuberikan pada adikku. Dengan tangan yang masih gemetar,
ia membolak-balik halaman demi halaman buku gambarnya. Berbagai gambar
warna-warni berkelebat di depan mataku, hingga akhirnya ia berhenti di sebuah
halaman. Di halaman itu, terdapat sebuah gambar pria tua bertubuh bulat dengan
kumis dan janggut putih tebal. Pakaian merah dengan selingan putih di beberapa
bagian diwarnai dengan cantik oleh Moran. Aku tahu siapa sosok itu. Sosok
seperti itulah yang sering diceritakan orang-orang mengenai Santa.
Setelah memandangi
gambarnya, tiba-tiba ia menarik halaman itu hingga terlepas dari buku. Ia
menyerahkan gambar itu padaku. Aku menerimanya dalam diam, masih tak tahu apa
yang diinginkan Moran.
“Maukah kakak
memintakan tanda tangan Santa di gambar itu?” pinta Moran.
Aku memandang Moran dan
gambar itu bergantian. Sedikit tak yakin apakah aku benar-benar bisa menemui
Santa nanti malam. Tapi memangnya pilihan apa yang kupunya. Jika ini yang
diinginkan Moran sekarang, maka inilah hadiah Natal yang sangat diinginkannya.
Untuk itu, apa pun yang terjadi aku harus bisa bertemu dengan Santa dan
memenuhi permintaan Moran.
Aku tersenyum padanya,
mengelus rambutnya. “Tentu saja, kakak berjanji akan membawakan tanda tangan
Santa untuk hadiah Natalmu esok hari.”
***
Setelah menghabiskan jatah krayon
separuh bagian depan ditambah menebak-nebak arah yang benar, akhirnya aku
sampai di kotak petunjuk ketiga. Ini adalah pencapaian terbesarku. Selama ini,
pencarianku selalu berakhir di tengah jalan ke petunjuk ketiga. Tadi juga
hampir seperti itu, untungnya kenekatanku untuk berjalan tanpa petunjuk
ternyata tak mengecewakan.
Terlalu bersemangat
dengan prestasi baru ini, aku segera membongkar kotak petunjuk ketiga. Hanya
ada dua benda di dalam kotak itu, sebuah lonceng dan selembar kertas. Tak ada
kunci. Berarti kotak di petunjuk selanjutnya tak terkunci. Dan satu lagi, tak
ada krayon. Jadi, kupikir batu di tanganku tak akan berguna lagi, tapi aku
enggan membuangnya. Mungkin saja ini akan berguna.
Seperti biasa, sebelum
menggunakan benda-benda yang lain, kertas adalah benda yang pertama kali
kulihat. Kubaca isinya.
Lima
gema, dan hidupmu akan berakhir.
Petunjuknya makin aneh
saja. Juga makin terdengar menakutkan. Kubaca sekali lagi untuk memastikan
bahwa tulisan itu benar-benar petunjuk, bukan peringatan berbahaya. Jika
menghubungkan kalimat itu dengan benda yang ditinggalkan di kotak, sepertinya
aku tahu maksud petunjuk itu. Kuambil lonceng dari dalam kotak untuk menguji
dugaanku.
Kugoyangkan lonceng di
tanganku. Lonceng berbunyi. Aku terdiam, menyatu dalam senyap malam, menunggu
dugaanku terbukti. Sepersekian detik berikutnya, dari tempat yang agak jauh
terdengar bunyi lonceng yang lain. Dugaanku tepat. Entah bagaimana caranya,
bunyi lonceng ini berreaksi dengan lonceng yang kupikir berada di tempat
petunjuk keempat berada. Tapi jika apa yang dituliskan dalam kertas itu benar,
maka aku tak bisa memboroskan suara lonceng. Lima gema. Itu pastilah jatahku.
Suara lonceng itu kini
sudah berhenti. Aku berjalan sambil mengingat-ingat arah suara lonceng tadi
terdengar. Aku cukup yakin bahwa arah yang kutuju benar, tapi setelah cukup
banyak langkah kuambil, keraguan tiba-tiba menghinggapi. Dengan terpaksa,
kugoyangkan loncengku sekali lagi. Gema lonceng yang sama terdengar dari arah
yang kini kutuju. Yang ini sedikit lebih keras dari gema pertama tadi.
Kupercepat langkahku menuju suara itu, tak ingin kehilangan arah lagi.
Jatah suara loncengku
berkurang satu lagi saat aku kembali kehilangan arah. Suara lonceng terdengar,
aku langsung lari menyongsongnya. Tapi tiba-tiba ada seseorang yang menabrakku
dari arah yang berlawanan. Aku terpental kebelakang dan teronggok di tanah.
Orang itu juga sama tak selamatnya. Bangkit duduk, aku mendapati orang yang
menabrakku adalah seorang bocah laki-laki yang beberapa tahun lebih muda
dariku. Wajahnya tampak begitu ketakutan. Bocah laki-laki itu langsung bangkit
dan berlari. Tapi ia berhenti ketika aku memanggil namanya.
“Sham?” panggilku. Ia
menoleh padaku, masih tampak ketakutan. “Apa yang terjadi? Kenapa kau tampak
begitu ketakutan?”
Ia memandang bingung
padaku. Mulutnya terlihat bergetar. Tampaknya hendak mengatakan sesuatu, tapi
tak ada yang keluar dari mulutnya. Setelah mengatur nafasnya yang berantakan,
akhirnya ia mampu berkata-kata.
“Apa kau baru mau
menemui Santa?” Ia justru balas bertanya dengan ekspresi ketakutan yang masih
belum memudar.
Aku mengangguk.
“Bukankah memang itu tujuan kita mengikuti permainan ini?”
Ia menengok ke kanan
dan ke kiri, seakan takut seseorang tengah mencuri dengar. Lalu ia menjawab
pertanyaanku dengan suara rendah yang tak lebih dari sekedar bisikan.
“Sebaiknya kau urungkan niatmu, Roan. Kau tak akan mendapatkan apa pun di
sana.”
“Kenapa?” tanyaku
bingung. “Bukankah…?”
“Santa ternyata tak
seperti yang kita bayangkan selama ini,” potong Sham tiba-tiba. “Ia berbeda.”
***
Sebenarnya aku merasa takut juga
mendengar apa yang dikatakan Sham tadi, tapi janjiku pada Moran membuatku
menyangkal apa pun yang dikatakan Sham. Setelah mengatakan kalimat terakhirnya,
ia pergi begitu saja tanpa menoleh lagi padaku. Butuh beberapa saat bagiku
untuk meyakinkan diri bahwa aku harus bertemu dengan Santa. Aku tak bisa
membayangkan bagaimana kecewanya Moran saat mendapati diriku tanpa hadiah
seperti yang diharapkannya, apalagi jika ia tahu bahwa penyebab kegagalanku
hanyalah sebuah ketakutan tak pasti.
Dengan perasaan yang
belum tenang sepenuhnya, aku melanjutkan perjalananku. Beberapa langkah
berikutnya, aku sudah harus menggunakan bunyi lonceng keempatku. Gema dari
lonceng itu semakin terdengar sekeras bunyi aslinya. Itu berarti tempat itu
sudah dekat. Tak lagi ingin membuang banyak waktu lagi, akhirnya aku berlari.
Terus berlari, hingga aku tiba di sebuah rumah kayu kecil. Kubunyikan suara
terakhir loncengku untuk memastikan rumah itulah tempatnya. Setelah lonceng
berbunyi, maka sudah dipastikan. Itulah tempatnya.
Rumah itu mungil,
tampak ganjil, berada tak jauh dari taman, aku yakin. Aku tak mungkin berjalan
begitu jauh, tapi entah kenapa aku tak pernah melihat rumah itu. Mungkin rumah
itu semipermanen, yang memang dibuat khusus untuk permainan ini.
Aku berjalan melewati
pagar rendah rumah itu. Semakin dekat, aku merasa ada aura aneh yang menakutkan
dari rumah itu, walau gemerlap lampu warna-warni menghiasi sepenjuru rumah.
Sampai di beranda, aku ragu-ragu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah
petunjuk berikutnya ada di dalam rumah? Atau berada di sekitar rumah ini?
Sebelum aku sempat memutuskan, tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. “Masuklah,
nak.”
Aku terkejut dan
langsung menoleh ke pintu yang ternyata sudah terbuka. Seorang pria―tidak
terlalu tua―berpakaian ala Santa berdiri di ambang pintu. Aku mengamati pria
itu. Tidak ada janggut putih tebal, tak ada perut bulat, yang ada hanyalah pria
besar berpakaian Santa. Apakah ini yang dimaksud Sham tentang Santa yang
berbeda? Kupikir ia terlalu penakut jika ia ketakutan hanya karena wujud Santa
yang tak sesuai dengan yang selama ini digambarkan orang-orang.
“Apa kau Santa?”
tanyaku ragu-ragu. Tak terlalu yakin bahwa pria ini benar-benar Santa. Sampai
sekarang, aku masih membayangkan Santa sebagai pria tua bertubuh bulat dengan
janggut putih tebal, seperti di gambar Moran. Tak sedikit pun terlintas di
benakku bahwa Santa tampak semuda ini.
Pria itu tertawa, lalu
mengangguk. “Ya, akulah Santa.”
“Kupikir…”
“Aku tahu,” jawab
Santa. “Orang-orang memang sering membuat dugaan-dugaan aneh terhadap apa yang
tak pernah bisa mereka lihat.” Aku hanya mengangguk menyetujui. “Ayo masuklah.
Aku yakin kau sudah tak sabar ingin mengutarakan permintaanmu padaku. Aku tak
bisa mengabulkan permintaanmu di beranda rumah. Itu sangat tidak sopan.”
Akhirnya aku berjalan
memasuki ruang tamu rumah itu. Di ruang tamu terdapat sebuah pohon Natal
sederhana yang penuh dengan hiasan lampu dan ornamen khas Natal. Berpuluh-puluh
kado dalam bungkus warna-warni bertumpuk-tumpuk di beberapa tempat. Di bawah pohon
Natal, di sudut ruangan, di atas meja, bahkan ada di bawah kursi. Setidaknya
orang-orang benar tentang ini. Santa memang punya banyak hadiah.
“Apa yang ingin kau
minta?” tanya Santa setelah mempersilakanku duduk di kursi kayu sederhana di
ruangan itu.
Aku merogoh saku
jaketku untuk mengelurkan gambar Moran. Saat aku meluruskan lipatan kertas itu,
tiba-tiba Santa berteriak padaku.
“Jangan minta apa pun
darinya! Pergilah sekarang!”
Aku memandang bingung
padanya. Ia tampak aneh. Seperti ada yang berubah dari ekspresi wajahnya.
“Maaf, apakah kau tadi bilang…?”
“Oh, tidak,” jawabnya
agak aneh. Aku yakin ia tengah mencoba menutupi sesuatu. Tiba-tiba saja
ketakutan di wajah Sham berkelebat di benakku. “Lupakan saja, bukan apa-apa?”
Tiba-tiba ia meringis seperti tengah menahan sesuatu. “Apa permintaanmu?”
Aku mengulurkan kertas
gambar Moran dengan ragu-ragu. “Aku ingin…”
Lagi-lagi kata-kataku
harus terpotong oleh teriakan Santa. “Jangan katakan apa pun! Cepat pergi!”
“Apa maksudmu?” tanyaku
benar-benar khawatir.
Aku memandang wajah
Santa, dan mendapati jelas ada yang berbeda dari raut wajahnya. Ekspresi itu
seperti menampilkan orang lain dalam wajah yang sama. Wajah santai Santa telah
lenyap, digantikan wajah penuh ketakutan.
“Aku tak punya banyak
waktu untuk…” Tiba-tiba suaranya menghilang, bersamaan dengan bergantinya
ekspresi di wajah Santa. “Oh, maafkan aku, nak. Sepertinya aku kebanyakan
minum. Kalau kau tak keberatan, maukah kau segera mengatakan permintaanmu.
Sepertinya aku butuh istirahat.”
Walau bingung setengah
mati, akhirnya aku mengatakan permintaanku. “Maukah kau menandatangani gambar
ini?”
Santa mengamati gambar
itu, lalu memandangku, dan tiba-tiba tersenyum.
“Ini permintaan
adikku,” aku buru-buru mengoreksi saat menyadari bahwa Santa tengah
menertawakan diriku. Mungkin aku terlihat kekanak-kanakan dengan permintaan
ini.
“Oh, tentu saja,” jawab
Santa akhirnya. “Apakah hanya ini permintaanmu? Hanya untuk adikmu? Apa kau…”
Entah kalimat apa yang ingin ia katakan. Apa pun itu, kalimat itu lagi-lagi
terpotong. Sepersekian detik ia terdiam, ekspresinya mengeras. Aku masih
kebingungan saat ia tiba-tiba berteriak mengusirku lagi. “Ambil gambar itu!
Pergi sekarang! Jangan biarkan ia mengabulkan permintaanmu!”
Aku tengah mencoba
meraih kembali gambar Moran saat tangan Santa menghentikan tanganku.
“Bukankah aku belum
mengabulkan permintaanmu?” tanya Santa sudah dengan suara lembutnya. Ia telah
kembali menjadi Santa yang pemurah. Aku benar-benar bingung dengan sifatnya.
“Kupikir kau tadi
mengusirku?” jawabku sambil meletakkan kembali kertas gambar itu.
“Oh, maafkan aku, nak,”
jawab Santa tampak menyesal. “Aku benar-benar butuh istirahat segera.”
Ia lalu mengambil
sebatang pena dari sela-sela tumpukan hadiah di atas meja. Membuka penutup
penanya, ia hendak mulai membubuhkan tanda tangannya di atas kertas gambar
Moran. Tapi entah kenapa, sepertinya ada sesuatu yang menahan tangan itu.
Sampai beberapa detik kemudian, ujung pena masih menggantung beberapa millimeter
di atas kertas.
“Ambil kertas gambarmu
sekarang!” Kembali, Santa tiba-tiba meneriakiku. Aku benar-benar tak tahu apa
yang sedang terjadi pada dirinya.
Aku mencoba mengambil
kertas itu, tapi tangan kiri Santa yang masih bebas menahan kertas itu.
“Kau menahan kertasku,”
kataku memberitahu. Ekspresi wajahnya berganti-ganti dengan cepat. Beberapa
detik santai, sedetik kemudian penuh ketakutan. Kedua tangannya juga sepertinya
punya dua kehendak yang berbeda. Tangan kanannya tampak enggan membubuhkan
tanda tangannya, sedangkan tangan kirinya kukuh menahan kertas gambarku. Aku
memberinya tatapan khawatir. “Apa kau benar-benar hanya bermasalah dengan
minuman?”
“Dia bukan Santa! Dia
bukan aku!” teriaknya lagi, tampaknya sama sekali tak peduli dengan
pemberitahuanku. “Dia mengambil tubuhku. Dia…” terdiam sejenak, lagi. Ketakutan
mulai menjalari seluruh tubuhku. Jangan-jangan apa yang ditakutkan Sham memang
benar. Ia mendengus. “Maafkan aku, nak. Aku benar-benar kacau malam ini.”
Tangan kanannya kembali
bergerak. Satu coretan tanda tangan sudah tertoreh pada kertas itu. Beberapa
lengkungan dan coretan lagi menemani. Setelah membubuhkan titik, tanda tangan
itu selesai dibuat.
“Sudah selesai,” ujar
Santa puas. “Silakan kau ambil.”
Dengan takut, aku
mengambil kertas gambar itu. Memandanginya sesaat, lalu tiba-tiba mataku
membelalak melihat tanda tangan yang tertoreh di kertas gambar itu. Tanda
tangan itu membunyikan sebuah nama.
***
Aku tak peduli lagi dengan apa pun
disekitarku. Setelah mengetahui siapa sebenarnya yang telah mengabulkan
permintaanku, aku langsung berlari meninggalkan rumah Santa.
Devoil. Dialah yang
telah mengabulkan permintaanku. Bukan Santa. Devoil menggunakan raga Santa.
Devoil. Kami
mengenalnya sebagai iblis pengabul permintaan. Tapi ia selalu meminta tebusan
atas terkabulnya permintaan itu. Kalian tahu pasti apa yang selalu diminta oleh
iblis. Ya, jiwa. Nyawa.
Aku tak tahu sudah
berapa lama aku berlari hingga akhirnya aku sampai di depan rumahku. Dari luar,
semua lampu masih terlihat menyala. Dengan tergesa, kudobrak pintu masuk yang
sebenarnya tidak terkunci. Saat ini, hanya ada satu tempat yang kupikirkan.
Kamar Moran. Semoga aku tak terlambat.
Kujeblak pintu kamar
Moran, tapi…
“Sayang sekali, nak,
kau terlambat.”
Suara itu memupus
harapan terakhirku. Sesosok makhluk berkulit hitam dengan tanduk kambing
melengkung berdiri pongah di samping tempat tidur Moran. Devoil sudah mengambil
Moran dariku.
Aku sudah tak punya
harapan lagi. Air mataku luruh seketika. Kudekati Moran, sangat berharap ia
akan membuka mata. Kembali memandangku dan mengucapkan namaku. Mengucapkan
selamat Natal padaku. Tapi aku sadar harapanku tak akan pernah terpenuhi. Itu
tak akan pernah terjadi. Moran telah pergi, ia tak mungkin kembali. Atau…
Aku memandang Devoil
yang masih berdiri di tempatnya semula.
“Kau,” kataku pada
Devoil. “Maukah kau mengabulkan permintaanku sekali lagi?”
Ia memberiku senyum
yang menakutkan. “Tentu saja. Mintalah apa pun yang kau mau.”
Kupandang Moran sekali
lagi sebelum aku mengucapkan permintaanku. “Maukah kau mengembalikan adikku?”
Sejenak, ia tampak
terkejut sebelum akhirnya memberiku senyum penuh kepuasan. “Pilihan yang bijak,
nak. Aku lebih suka budak yang lebih dewasa.”
~selesai~
Note: Cerita ini diikutsertakan dalam CerBul Kasfan Desember 2012
Komentar
Posting Komentar