Langsung ke konten utama

Santa Clues

Santa Clues
by Dwipatra

Sumber Gambar: klik di sini
Hampir saja aku memutuskan untuk berhenti mencari ketika mataku menangkap sebentuk benda kotak di antara semak-semak. Warna pembungkus kotak itu sebenarnya cukup mudah terlihat di bawah terangnya lampu taman andai saja tak tertutup oleh rimbunya sesemakan. Atau mungkin aku saja yang sudah terlalu malas untuk mencari. Apa pun itu, intinya aku sudah menemukan Petunjuk Santa yang pertama. Yah, Petunjuk Santa―Santa Clues―sebuah permainan yang selalu dinantikan saat malam Natal menjelang di desa Sunvill, terutama oleh kami yang usianya masih di bawah 16 tahun.
Kuhampiri kotak kertas itu, agak terburu, takut seseorang tiba-tiba muncul dan merebutnya dariku. Aku tak rela jika harus kehilangan kotak ini di tahun terakhir aku bisa mengikuti permainan ini. Ya, tahun depan umurku sudah 16 tahun. Ditambah lagi, tahun lalu aku hanya bisa menjadi penonton, karena tak berhasil menemukan petunjuk pertama itu.
Perlu kalian ketahui, hanya ada dua belas petunjuk pertama yang disebar di sepenjuru taman. Jadi, hanya mereka yang menemukan petunjuk pertama yang bisa mengikuti permainan ini. Petunjuk pertama akan mengantar sang pemain ke petunjuk-petunjuk selanjutnya, yang jika beruntung akan membawa sang pemain ke suatu tempat rahasia di mana Santa akan menunggu kehadiran sang pemenang. Konon kabarnya, jika kita bisa bertemu dengan Santa, kita bisa meminta apa pun padanya. Semoga saja aku bisa bertemu dengannya malam ini. Ada sebuah permintaan yang harus kuutarakan padanya.
Kuambil kotak itu. Perlahan, kurobek pembungkusnya dan kubuka kotak itu. Di dalamnya terdapat beberapa benda. Sebatang krayon berwarna putih, sebongkah batu, sebuah anak kunci, dan selembar kertas. Aku tahu fungsi benda-benda itu. Walau tak pernah berhasil hingga akhir, tapi aku pernah melewati tahap ini. Jadi, aku tak terlalu asing dengan benda-benda ini.
Kuambil kertas dari dalam kotak. Seperti biasa, dalam ketas inilah petunjuk untuk menemukan Petunjuk Santa berikutnya tertulis.

Satu goresan, cahaya terang akan menuntun langkahmu.

Aku hanya tersenyum kecut membaca kalimat itu. Aku sudah pernah menemukan petunjuk pertama sebanyak dua kali, dan tulisannya selalu sama. Sepertinya Santa tidak memiliki banyak stok kalimat teka-teki.
Karena sudah pernah menemukan kalimat yang sama sebelumnya, jadi tak butuh banyak berpikir bagiku untuk mulai beraksi. Kuambil krayon dan batu dari kotak, lalu kukantongi anak kunci itu di saku celana panjangku. Lekas saja kugoreskan krayon pada bongkah batu di tanganku.
Satu goresan putih tercipta. Tiba-tiba dari remang malam, tertoreh di antara pepohonan, memancar sependar cahaya memanjang berbentuk anak panah. Tidak terlalu terang, tapi cukup untuk menunjukkan arah padaku. Cahaya itu mengambang beberapa detik di udara sebelum akhirnya lenyap. Itulah petunjuk arah yang harus aku ikuti.
Bergegas, aku berlari mengikuti arah yang ditunjuk cahaya tadi. Berpuluh-puluh langkah berikutnya, aku benar-benar kehilangan arah. Kugoreskan lagi krayon itu. Seberkas sinar yang sama kembali muncul menunjuk arah yang benar. Hingga akhirnya aku tiba di petunjuk kedua, aku telah menggoreskan krayonku sebanyak lima kali. Kupandangi dengan sayang krayon itu. Panjangnya kini tak lebih dari seruas jari. Untungnya, dari kotak yang kini berada di depanku aku akan mendapatkan krayon yang lain.
Tak ingin terlalu banyak membuang waktu, aku langsung mengambil dan membongkar kotak itu menggunakan anak kunci yang kuambil dari kotak pertama tadi. Di dalam kotak itu terdapat benda-benda yang sama seperti yang berada di kotak pertama, ditambah selembar kertas lagi dan minus sebongkah batu. Kuambil benda-benda itu dan kubuang krayon lamaku, karena benda itu tak akan berguna lagi sekarang. Setelah mengantongi anak kunci yang baru, kubaca petunjuk yang tertulis di kertas pertama.

Separuh bagian depan, separuh bagian belakang.

Kalimat yang sama, lagi. Santa benar-benar tak kreatif. Positifnya, ini justru mempermudah. Aku tak perlu bersusah payah memikirkan arti kaimat itu, karena aku sudah mengetahuinya dengan pasti. Separuh bagian depan, separuh bagian belakang. Salah satu ujung krayon akan memandu kita ke arah petunjuk selanjutnya, sedangkan ujung yang lain akan mengarahkan kembali ke petunjuk sebelumnya. Begitulah artinya.
Setelah puas mengeluhkan, sekaligus mensyukuri ketidakkreatifan Santa, aku langsung beralih ke kertas kedua.

Belum terlambat untuk pergi. Tak ada hadiah yang menantimu di ujung pencarian. Derita? Mungkin. Malam ini tak seperti malam-malam sebelumnya. Kembalilah.

***

Kalimat-kalimat dalam kertas kedua itu benar-benar baru buatku. Ini ironis. Sebelumnya, baru saja aku mengeluhkan kalimat Santa, tapi sekarang aku malah dibuat bertanya-tanya―sedikit takut, malah―dengan kalimat di kertas kedua. Sepertinya itu bukan teka-teki. Apakah itu peringatan? Mungkin saja, tapi aku tak bisa mundur. Apa pun yang terjadi aku harus pergi. Aku harus bertemu dengan Santa. Aku sudah terlanjur perjanji dengan adikku yang kini tengah terbaring sakit di rumah.
“Kakak,” panggil Moran―adik laki-lakiku yang baru berumur 8 tahun―lemah, siang tadi saat aku menghias pohon Natal mini di kamarnya.
“Ya?” Aku menoleh padanya. Kuhentikan kegiatanku, lalu aku duduk di samping tempat ia terbaring.
“Apakah nanti malam kakak akan pergi?” tanya Moran lagi.
Aku mengangguk sedih, sebenarnya aku tak ingin pergi andai saja aku punya pilihan. “Kakak harus pergi.”
Batuk kecil menyela saat ia ingin melanjutkan pertanyaannya. “Jika kakak bertemu Santa nanti, apakah kakak mau memintakan sesuatu untukku?”
“Tentu saja,” jawabku. “Alasan kakak ingin menemui Santa karena kakak tidak punya hadiah Natal untukmu besok. Memangnya apa yang ingin kau minta pada Santa?”
Dengan susah payah, Moran berusaha bangkit. Aku mencegahnya, tapi ia bersikeras, sehingga aku membantunya duduk lebih tegak. Tangannya terjulur ke arah meja di samping ranjang.
“Apa yang ingin kau ambil?” tanyaku hendak membantu, merasa kasihan melihat tangannya yang gemetar.
“Buku gambar itu,” jawabnya masih berusaha meraih buku itu.
Tahu apa yang ia inginkan, kusambar buku itu dan kuberikan pada adikku. Dengan tangan yang masih gemetar, ia membolak-balik halaman demi halaman buku gambarnya. Berbagai gambar warna-warni berkelebat di depan mataku, hingga akhirnya ia berhenti di sebuah halaman. Di halaman itu, terdapat sebuah gambar pria tua bertubuh bulat dengan kumis dan janggut putih tebal. Pakaian merah dengan selingan putih di beberapa bagian diwarnai dengan cantik oleh Moran. Aku tahu siapa sosok itu. Sosok seperti itulah yang sering diceritakan orang-orang mengenai Santa.
Setelah memandangi gambarnya, tiba-tiba ia menarik halaman itu hingga terlepas dari buku. Ia menyerahkan gambar itu padaku. Aku menerimanya dalam diam, masih tak tahu apa yang diinginkan Moran.
“Maukah kakak memintakan tanda tangan Santa di gambar itu?” pinta Moran.
Aku memandang Moran dan gambar itu bergantian. Sedikit tak yakin apakah aku benar-benar bisa menemui Santa nanti malam. Tapi memangnya pilihan apa yang kupunya. Jika ini yang diinginkan Moran sekarang, maka inilah hadiah Natal yang sangat diinginkannya. Untuk itu, apa pun yang terjadi aku harus bisa bertemu dengan Santa dan memenuhi permintaan Moran.
Aku tersenyum padanya, mengelus rambutnya. “Tentu saja, kakak berjanji akan membawakan tanda tangan Santa untuk hadiah Natalmu esok hari.”

***

Setelah menghabiskan jatah krayon separuh bagian depan ditambah menebak-nebak arah yang benar, akhirnya aku sampai di kotak petunjuk ketiga. Ini adalah pencapaian terbesarku. Selama ini, pencarianku selalu berakhir di tengah jalan ke petunjuk ketiga. Tadi juga hampir seperti itu, untungnya kenekatanku untuk berjalan tanpa petunjuk ternyata tak mengecewakan.
Terlalu bersemangat dengan prestasi baru ini, aku segera membongkar kotak petunjuk ketiga. Hanya ada dua benda di dalam kotak itu, sebuah lonceng dan selembar kertas. Tak ada kunci. Berarti kotak di petunjuk selanjutnya tak terkunci. Dan satu lagi, tak ada krayon. Jadi, kupikir batu di tanganku tak akan berguna lagi, tapi aku enggan membuangnya. Mungkin saja ini akan berguna.
Seperti biasa, sebelum menggunakan benda-benda yang lain, kertas adalah benda yang pertama kali kulihat. Kubaca isinya.

Lima gema, dan hidupmu akan berakhir.

Petunjuknya makin aneh saja. Juga makin terdengar menakutkan. Kubaca sekali lagi untuk memastikan bahwa tulisan itu benar-benar petunjuk, bukan peringatan berbahaya. Jika menghubungkan kalimat itu dengan benda yang ditinggalkan di kotak, sepertinya aku tahu maksud petunjuk itu. Kuambil lonceng dari dalam kotak untuk menguji dugaanku.
Kugoyangkan lonceng di tanganku. Lonceng berbunyi. Aku terdiam, menyatu dalam senyap malam, menunggu dugaanku terbukti. Sepersekian detik berikutnya, dari tempat yang agak jauh terdengar bunyi lonceng yang lain. Dugaanku tepat. Entah bagaimana caranya, bunyi lonceng ini berreaksi dengan lonceng yang kupikir berada di tempat petunjuk keempat berada. Tapi jika apa yang dituliskan dalam kertas itu benar, maka aku tak bisa memboroskan suara lonceng. Lima gema. Itu pastilah jatahku.
Suara lonceng itu kini sudah berhenti. Aku berjalan sambil mengingat-ingat arah suara lonceng tadi terdengar. Aku cukup yakin bahwa arah yang kutuju benar, tapi setelah cukup banyak langkah kuambil, keraguan tiba-tiba menghinggapi. Dengan terpaksa, kugoyangkan loncengku sekali lagi. Gema lonceng yang sama terdengar dari arah yang kini kutuju. Yang ini sedikit lebih keras dari gema pertama tadi. Kupercepat langkahku menuju suara itu, tak ingin kehilangan arah lagi.
Jatah suara loncengku berkurang satu lagi saat aku kembali kehilangan arah. Suara lonceng terdengar, aku langsung lari menyongsongnya. Tapi tiba-tiba ada seseorang yang menabrakku dari arah yang berlawanan. Aku terpental kebelakang dan teronggok di tanah. Orang itu juga sama tak selamatnya. Bangkit duduk, aku mendapati orang yang menabrakku adalah seorang bocah laki-laki yang beberapa tahun lebih muda dariku. Wajahnya tampak begitu ketakutan. Bocah laki-laki itu langsung bangkit dan berlari. Tapi ia berhenti ketika aku memanggil namanya.
“Sham?” panggilku. Ia menoleh padaku, masih tampak ketakutan. “Apa yang terjadi? Kenapa kau tampak begitu ketakutan?”
Ia memandang bingung padaku. Mulutnya terlihat bergetar. Tampaknya hendak mengatakan sesuatu, tapi tak ada yang keluar dari mulutnya. Setelah mengatur nafasnya yang berantakan, akhirnya ia mampu berkata-kata.
“Apa kau baru mau menemui Santa?” Ia justru balas bertanya dengan ekspresi ketakutan yang masih belum memudar.
Aku mengangguk. “Bukankah memang itu tujuan kita mengikuti permainan ini?”
Ia menengok ke kanan dan ke kiri, seakan takut seseorang tengah mencuri dengar. Lalu ia menjawab pertanyaanku dengan suara rendah yang tak lebih dari sekedar bisikan. “Sebaiknya kau urungkan niatmu, Roan. Kau tak akan mendapatkan apa pun di sana.”
“Kenapa?” tanyaku bingung. “Bukankah…?”
“Santa ternyata tak seperti yang kita bayangkan selama ini,” potong Sham tiba-tiba. “Ia berbeda.”

***

Sebenarnya aku merasa takut juga mendengar apa yang dikatakan Sham tadi, tapi janjiku pada Moran membuatku menyangkal apa pun yang dikatakan Sham. Setelah mengatakan kalimat terakhirnya, ia pergi begitu saja tanpa menoleh lagi padaku. Butuh beberapa saat bagiku untuk meyakinkan diri bahwa aku harus bertemu dengan Santa. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kecewanya Moran saat mendapati diriku tanpa hadiah seperti yang diharapkannya, apalagi jika ia tahu bahwa penyebab kegagalanku hanyalah sebuah ketakutan tak pasti.
Dengan perasaan yang belum tenang sepenuhnya, aku melanjutkan perjalananku. Beberapa langkah berikutnya, aku sudah harus menggunakan bunyi lonceng keempatku. Gema dari lonceng itu semakin terdengar sekeras bunyi aslinya. Itu berarti tempat itu sudah dekat. Tak lagi ingin membuang banyak waktu lagi, akhirnya aku berlari. Terus berlari, hingga aku tiba di sebuah rumah kayu kecil. Kubunyikan suara terakhir loncengku untuk memastikan rumah itulah tempatnya. Setelah lonceng berbunyi, maka sudah dipastikan. Itulah tempatnya.
Rumah itu mungil, tampak ganjil, berada tak jauh dari taman, aku yakin. Aku tak mungkin berjalan begitu jauh, tapi entah kenapa aku tak pernah melihat rumah itu. Mungkin rumah itu semipermanen, yang memang dibuat khusus untuk permainan ini.
Aku berjalan melewati pagar rendah rumah itu. Semakin dekat, aku merasa ada aura aneh yang menakutkan dari rumah itu, walau gemerlap lampu warna-warni menghiasi sepenjuru rumah. Sampai di beranda, aku ragu-ragu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah petunjuk berikutnya ada di dalam rumah? Atau berada di sekitar rumah ini? Sebelum aku sempat memutuskan, tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. “Masuklah, nak.”
Aku terkejut dan langsung menoleh ke pintu yang ternyata sudah terbuka. Seorang pria―tidak terlalu tua―berpakaian ala Santa berdiri di ambang pintu. Aku mengamati pria itu. Tidak ada janggut putih tebal, tak ada perut bulat, yang ada hanyalah pria besar berpakaian Santa. Apakah ini yang dimaksud Sham tentang Santa yang berbeda? Kupikir ia terlalu penakut jika ia ketakutan hanya karena wujud Santa yang tak sesuai dengan yang selama ini digambarkan orang-orang.
“Apa kau Santa?” tanyaku ragu-ragu. Tak terlalu yakin bahwa pria ini benar-benar Santa. Sampai sekarang, aku masih membayangkan Santa sebagai pria tua bertubuh bulat dengan janggut putih tebal, seperti di gambar Moran. Tak sedikit pun terlintas di benakku bahwa Santa tampak semuda ini.
Pria itu tertawa, lalu mengangguk. “Ya, akulah Santa.”
“Kupikir…”
“Aku tahu,” jawab Santa. “Orang-orang memang sering membuat dugaan-dugaan aneh terhadap apa yang tak pernah bisa mereka lihat.” Aku hanya mengangguk menyetujui. “Ayo masuklah. Aku yakin kau sudah tak sabar ingin mengutarakan permintaanmu padaku. Aku tak bisa mengabulkan permintaanmu di beranda rumah. Itu sangat tidak sopan.”
Akhirnya aku berjalan memasuki ruang tamu rumah itu. Di ruang tamu terdapat sebuah pohon Natal sederhana yang penuh dengan hiasan lampu dan ornamen khas Natal. Berpuluh-puluh kado dalam bungkus warna-warni bertumpuk-tumpuk di beberapa tempat. Di bawah pohon Natal, di sudut ruangan, di atas meja, bahkan ada di bawah kursi. Setidaknya orang-orang benar tentang ini. Santa memang punya banyak hadiah.
“Apa yang ingin kau minta?” tanya Santa setelah mempersilakanku duduk di kursi kayu sederhana di ruangan itu.
Aku merogoh saku jaketku untuk mengelurkan gambar Moran. Saat aku meluruskan lipatan kertas itu, tiba-tiba Santa berteriak padaku.
“Jangan minta apa pun darinya! Pergilah sekarang!”
Aku memandang bingung padanya. Ia tampak aneh. Seperti ada yang berubah dari ekspresi wajahnya. “Maaf, apakah kau tadi bilang…?”
“Oh, tidak,” jawabnya agak aneh. Aku yakin ia tengah mencoba menutupi sesuatu. Tiba-tiba saja ketakutan di wajah Sham berkelebat di benakku. “Lupakan saja, bukan apa-apa?” Tiba-tiba ia meringis seperti tengah menahan sesuatu. “Apa permintaanmu?”
Aku mengulurkan kertas gambar Moran dengan ragu-ragu. “Aku ingin…”
Lagi-lagi kata-kataku harus terpotong oleh teriakan Santa. “Jangan katakan apa pun! Cepat pergi!”
“Apa maksudmu?” tanyaku benar-benar khawatir.
Aku memandang wajah Santa, dan mendapati jelas ada yang berbeda dari raut wajahnya. Ekspresi itu seperti menampilkan orang lain dalam wajah yang sama. Wajah santai Santa telah lenyap, digantikan wajah penuh ketakutan.
“Aku tak punya banyak waktu untuk…” Tiba-tiba suaranya menghilang, bersamaan dengan bergantinya ekspresi di wajah Santa. “Oh, maafkan aku, nak. Sepertinya aku kebanyakan minum. Kalau kau tak keberatan, maukah kau segera mengatakan permintaanmu. Sepertinya aku butuh istirahat.”
Walau bingung setengah mati, akhirnya aku mengatakan permintaanku. “Maukah kau menandatangani gambar ini?”
Santa mengamati gambar itu, lalu memandangku, dan tiba-tiba tersenyum.
“Ini permintaan adikku,” aku buru-buru mengoreksi saat menyadari bahwa Santa tengah menertawakan diriku. Mungkin aku terlihat kekanak-kanakan dengan permintaan ini.
“Oh, tentu saja,” jawab Santa akhirnya. “Apakah hanya ini permintaanmu? Hanya untuk adikmu? Apa kau…” Entah kalimat apa yang ingin ia katakan. Apa pun itu, kalimat itu lagi-lagi terpotong. Sepersekian detik ia terdiam, ekspresinya mengeras. Aku masih kebingungan saat ia tiba-tiba berteriak mengusirku lagi. “Ambil gambar itu! Pergi sekarang! Jangan biarkan ia mengabulkan permintaanmu!”
Aku tengah mencoba meraih kembali gambar Moran saat tangan Santa menghentikan tanganku.
“Bukankah aku belum mengabulkan permintaanmu?” tanya Santa sudah dengan suara lembutnya. Ia telah kembali menjadi Santa yang pemurah. Aku benar-benar bingung dengan sifatnya.
“Kupikir kau tadi mengusirku?” jawabku sambil meletakkan kembali kertas gambar itu.
“Oh, maafkan aku, nak,” jawab Santa tampak menyesal. “Aku benar-benar butuh istirahat segera.”
Ia lalu mengambil sebatang pena dari sela-sela tumpukan hadiah di atas meja. Membuka penutup penanya, ia hendak mulai membubuhkan tanda tangannya di atas kertas gambar Moran. Tapi entah kenapa, sepertinya ada sesuatu yang menahan tangan itu. Sampai beberapa detik kemudian, ujung pena masih menggantung beberapa millimeter di atas kertas.
“Ambil kertas gambarmu sekarang!” Kembali, Santa tiba-tiba meneriakiku. Aku benar-benar tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya.
Aku mencoba mengambil kertas itu, tapi tangan kiri Santa yang masih bebas menahan kertas itu.
“Kau menahan kertasku,” kataku memberitahu. Ekspresi wajahnya berganti-ganti dengan cepat. Beberapa detik santai, sedetik kemudian penuh ketakutan. Kedua tangannya juga sepertinya punya dua kehendak yang berbeda. Tangan kanannya tampak enggan membubuhkan tanda tangannya, sedangkan tangan kirinya kukuh menahan kertas gambarku. Aku memberinya tatapan khawatir. “Apa kau benar-benar hanya bermasalah dengan minuman?”
“Dia bukan Santa! Dia bukan aku!” teriaknya lagi, tampaknya sama sekali tak peduli dengan pemberitahuanku. “Dia mengambil tubuhku. Dia…” terdiam sejenak, lagi. Ketakutan mulai menjalari seluruh tubuhku. Jangan-jangan apa yang ditakutkan Sham memang benar. Ia mendengus. “Maafkan aku, nak. Aku benar-benar kacau malam ini.”
Tangan kanannya kembali bergerak. Satu coretan tanda tangan sudah tertoreh pada kertas itu. Beberapa lengkungan dan coretan lagi menemani. Setelah membubuhkan titik, tanda tangan itu selesai dibuat.
“Sudah selesai,” ujar Santa puas. “Silakan kau ambil.”
Dengan takut, aku mengambil kertas gambar itu. Memandanginya sesaat, lalu tiba-tiba mataku membelalak melihat tanda tangan yang tertoreh di kertas gambar itu. Tanda tangan itu membunyikan sebuah nama.
 
  “Tidak mungkin,” kataku tak percaya. Ia memberiku senyum kemenangan yang menakutkan. “Kau?”

***

Aku tak peduli lagi dengan apa pun disekitarku. Setelah mengetahui siapa sebenarnya yang telah mengabulkan permintaanku, aku langsung berlari meninggalkan rumah Santa.
Devoil. Dialah yang telah mengabulkan permintaanku. Bukan Santa. Devoil menggunakan raga Santa.
Devoil. Kami mengenalnya sebagai iblis pengabul permintaan. Tapi ia selalu meminta tebusan atas terkabulnya permintaan itu. Kalian tahu pasti apa yang selalu diminta oleh iblis. Ya, jiwa. Nyawa.
Aku tak tahu sudah berapa lama aku berlari hingga akhirnya aku sampai di depan rumahku. Dari luar, semua lampu masih terlihat menyala. Dengan tergesa, kudobrak pintu masuk yang sebenarnya tidak terkunci. Saat ini, hanya ada satu tempat yang kupikirkan. Kamar Moran. Semoga aku tak terlambat.
Kujeblak pintu kamar Moran, tapi…
“Sayang sekali, nak, kau terlambat.”
Suara itu memupus harapan terakhirku. Sesosok makhluk berkulit hitam dengan tanduk kambing melengkung berdiri pongah di samping tempat tidur Moran. Devoil sudah mengambil Moran dariku.
Aku sudah tak punya harapan lagi. Air mataku luruh seketika. Kudekati Moran, sangat berharap ia akan membuka mata. Kembali memandangku dan mengucapkan namaku. Mengucapkan selamat Natal padaku. Tapi aku sadar harapanku tak akan pernah terpenuhi. Itu tak akan pernah terjadi. Moran telah pergi, ia tak mungkin kembali. Atau…
Aku memandang Devoil yang masih berdiri di tempatnya semula.
“Kau,” kataku pada Devoil. “Maukah kau mengabulkan permintaanku sekali lagi?”
Ia memberiku senyum yang menakutkan. “Tentu saja. Mintalah apa pun yang kau mau.”
Kupandang Moran sekali lagi sebelum aku mengucapkan permintaanku. “Maukah kau mengembalikan adikku?”
Sejenak, ia tampak terkejut sebelum akhirnya memberiku senyum penuh kepuasan. “Pilihan yang bijak, nak. Aku lebih suka budak yang lebih dewasa.”

~selesai~

Note: Cerita ini diikutsertakan dalam CerBul Kasfan Desember 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

SELENDANG NAWANGSIH

Selendang Nawangsih  O leh: Mahfudz Dwipatra Harus aku akui bahwa di sini aku mendapat perlakuan yang cukup baik. Kamar indah dengan makanan lezat yang tak mungkin digoreng dengan minyak jelantah seperti yang kadang aku makan di bumi menjadi jamuanku sehari-hari. Tapi walau bagaimana pun kahyangan bukan tempatku, bumilah tempatku. Aku tak menikmati semua itu. Aku rindu ayahku. Aku rindu hembusan angin yang menerpaku saat bersantai di saung. Aku rindu suara kelebat daun pohon pisang yang terterpa angin. Aku rindu suara cerpelai yang sedang bercinta di bawah saung. Aku rindu semuanya. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, membuyarkan lamunanku. Membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk menebak nama rasi dari gugusan bintang di langit. Sebelum kupersilakan masuk, pintu sudah terkuak. Masuklah seorang dewi cantik bergaun biru laut. Dia ibuku, Nawang Wulan. Walau ia ibuku, tapi wajahnya hanya tampak sedikit lebih tua dariku yang sudah berumur 18 tahun. Kurasa itu k