-->
Vandaria saga
Half Dragon
Boy
By: Mahfudz Dwipatra
Aku
tak tahu apa yang salah dengan diriku. Begitu berhasil membuka mata,
pandanganku langsung tertumbuk pada pandangan ngeri dan tak suka orang-orang di
sekelilingku. Entah kenapa, mereka saling bergerombol dalam kelompok-kelompok
kecil, saling berbisik, sambil sesekali mengarahkan telunjukknya padaku.
Melihat hal ini aku jadi merasa aneh. Sepertinya mereka sangat ketakutan
melihatku.
“Kau
baik-baik saja Dreig?”
Aku
terkesiap mendengar suara seseorang memanggilku. Suara itu seperti berada di
belakangku.
Menoleh,
aku mendapati ayahku berdiri dengan tegang di belakangku. Raut wajahnya dingin.
Tak seulas senyum pun ia goreskan di wajahnya.
Aku
berbalik. Kebingungan masih melandaku. “Apa yang terjadi denganku?”
“Sebaiknya
kita pulang,” jawabnya dingin. “Ayah akan menceritakannya di rumah.”
“Anggap
saja seperti itu,” jawabnya meraih tanganku dan berbalik, lalu berjalan pergi.
Otomatis aku yang tangannya ia genggam harus ikut jalan bersamanya agar tidak
terseret olehnya. Aku merasakan sedikit ngilu di kakiku saat aku berjalan mengikuti
ayah pergi. Tanpa bicara apapun ayah terus berjalan. Tampaknya ia tengah
mengajakku menuju seekor naga kecoklatan yang berdiri tak jauh di depan kami.
Tepat
seperti dugaanku. Ayahku memang membawaku ke naga itu. Di atas naga itu tengah duduk
dengan gelisah seorang pria yang sudah sangat aku kenal. Dia adalah Elefant,
orang kepercayaan ayahku.
“Antar
Dreig pulang,” perintah ayahku pada Elefant sambil membantuku menaiki naga itu.
“Baik
Tuan Xaverite,” jawabnya menyetujui.
“Apa
ayah tidak ikut pulang?” Tanyaku pada ayahku.
“Ada
beberapa hal yang harus ayah selesaikan. Ayah akan menyusul kalian segera.”
“Baiklah,”
jawabku lemah.
“Kau
siap Dreig?” Tanya Elefant mengkonfirmasi.
Aku
berpegangan pada jubahnya. “Ya, aku siap.”
Elefant
memberikan tanda pada naganya agar segera terbang. Mengepakkan sayap, sang naga
mulai membawa kami terbang. Semakin lama ketinggian kami meningkat. Saat hendak
meninggalkan halaman gedung akademi, tiba-tiba tanpa sengaja aku melihat
keadaan di sekitarku.
Tiba-tiba
seperti ada yang menyumbat tenggorokanku, membuatku sesak. Aku tercekat
menyadari kerusakan yang terjadi di halaman gedung akademi. Aku yakin tadi
belum seperti ini. Dinding-dinding batu gedung tampak hancur dan retak di
beberapa tempat. Sebuah pilar tak lagi berdiri pada tempatnya, pilar itu tumbang
dan patah di beberapa bagian. Dan satu lagi yang terlihat sangat mencolok di
mataku. Dua buah patung naga yang tingginya hampir seukuran dua orang dewasa di
halaman gedung telah hancur. Beberapa tubuh patung naga itu hilang dan
berserakan di tanah.
Walau
aku tak tahu secara pasti penyebabnya, tapi aku merasa sedikit banyak ini ada
hubungannya dengan pandangan ngeri orang-orang terhadapku. Apakah aku yang
menyebabkan semua ini? Ah tak mungkin. Aku sadar seperti apa kekuatanku. Aku
bahkan tak akan mampu memukul retak dinding batu itu.
“Apa
yang sebenarnya terjadi?” tanyaku pada Elefant sambil mengalihkan pandanganku
dari kehancuran di sekitarku.
“Aku
tidak tahu,” jawabnya ragu.
Aku
tahu ia membohongiku, “Kau membohongikukan?”
“Maaf
Dreig, tapi Tuan Xaverite melarangku memberitahumu. Dia tak ingin kau mendengar
kenyataan tentang dirimu dari orang lain. Ia ingin menyampaikannya langsung
padamu.”
“Kenyataan
apa?”
“itu
juga masuk dalam larangannya,” tolaknya lagi.
Merasa
tak mungkin mendapat jawaban dari Elefant, aku mencoba mencari jawabanya
sendiri dengan memutar adegan sebelum kejadian itu. Kejadian saat aku tiba-tiba
kehilangan kesadaranku. Aku pikir tidak ada yang aneh. Hanya saja aku sempat
marah besar dengan Neidr, teman sekelasku, saat ia menjelek-jelekan ayahku.
“Tak
heran jika kau dapat nilai bagus dalam Ilmu Komunikasi Naga,” kata Neidr
tiba-tiba menghampiriku yang sedang berteduh di bawah patung naga di tengah
halaman gedung akademi.
“Apa
maksudmu?” Tanyaku tak mengerti.
“Anak
naga sudah sepantasnya seperti itu,” ujarnya seperti mengejekku. Tapi aku masih
belum mengerti apa yang ia maksud.
“Apa
maksudmu?” ulangku bertanya dengan nada yang sedikit meninggi.
“Kau
tak tahu ya siapa ayahmu sebenarnya?” Tanyanya retoris. Senyum culas mengembang
lebar di wajahnya, membuat kemarahan tiba-tiba bergemuruh di dadaku. “Ayahmu
adalah Frameless hina,” tambahnya makin tajam menjelek-jelekkan ayahku. Ini
membuat kemarahanku makin tak terkendali. Aku masih mendengarnya mengatakan
bahwa ayahku adalah seekor naga jadi-jadian ketika tiba-tiba tubuhku merasakan
hawa panas yang luar biasa. Aku merasa terbakar, lalu seketika itu aku tak
mampu lagi mengingat apa yang terjadi selanjutnya. Dan saat aku kembali
berhasil membuka mataku, semua telah…
“Dreig,”
panggil Elefant membuyarkan lamunanku. “Kita sudah sampai.”
“Apa?”
tanyaku kebingungan.
“Kita
sudah sampai.”
“Oh,”
dengusku lega. Aku kira ada sesuatu yang berbahaya.
Sebenarnya
aku ingin melompat dari punggung naga ini, tapi sepertinya energiku telah
habis. Hanya rasa lelah yang aku rasakan. Akhirnya aku meminta bantuan Elefant
agar membantuku turun.
Elefant
tengah membantuku, ketika tiba-tiba pintu terkuak. Ibuku keluar dengan muka
cemas. Mata nila dan birunya berkaca-kaca seakan hendak menumpahkan air mata.
Berlari, ia menghampiriku dan memelukku. Aku bingung mau bagaimana meresponnya.
Hanya pelukan balasan yang bisa aku berikan.
“Kau
baik-baik saja kan Dreig?” Tanya ibuku seperti sudah menumpahkan air mata.
“Ya,”
jawabku berbohong. Aku sama sekali tidak baik-baik saja. Sebaliknya aku merasa
dalam keadaan terburuk yang pernah terjadi padaku. Tapi aku hanya bisa
berbohong, karena sejujurnya aku sama sekali tak tahu apa yang membuatku
mengalami keadaan ini. “Aku hanya merasa lelah.”
Ibu
melepas pelukannya, “Ayo ibu antar ke kamarmu.”
Ibu
menuntunku dan aku mengikutinya dengan patuh seperti anak umur lima tahun yang
sedang diantar untuk tidur siang. Walau umurku sudah hampir tiga belas tahun,
tapi untuk saat ini mungkin kejiwaanku tak lebih dari anak umur lima tahun.
Untuk suatu alasan, rasanya kali ini aku memang butuh orang tuaku di sisiku.
Tak
butuh waktu lama untuk mencapai kamarku. Setelah melewati ruang tamu dan sebuah
lorong sempit, maka tibalah kami di tempat paling familier bagiku. Tanpa
memperhatikan apapun lagi aku langsung menuju ke tempat tidurku dan merebahkan
diri di sana. Tanpa disuruh, ibu langsung menyelimutkan selimut ke tubuhku.
“Ibu,”
panggilku padanya begitu ia selesai menyelimutiku. “Apakah ibu tahu sesuatu
tentang ayah yang tidak aku ketahui?” tanyaku teringat perkataan Neidr tadi.
Aku
melihat ekspresi keterkejutan ibu sebelum ia menguasai diri dengan cepat, “ibu
tidak tahu apa-apa. Istirahatlah dulu, mungkin ayahmu bisa menjawab
pertanyaanmu nanti setelah ia pulang.”
Benar
kata ibu, sepertinya aku memang butuh istirahat. Aku merasa sangat kelelahan.“Baiklah.”
***
“Kenapa
ayah mengajakku ke sini?” Tanyaku pada ayah yang kini berjalan di depanku.
Kami
sedang berada di bukit kecil jauh di belakang rumah kami. Aku pernah beberapa
kali pergi ke bukit ini, ternyata keadaannya belum berubah sama sekali. Masih seperti
ketika terakhir aku datang ke tempat ini. Puncak bukit tidak ditumbuhi apa pun
selain rumput setinggi mata kaki. Ukuran padang terbuka ini sebenarnya tidak
terlalu luas, tapi karena tak ada satu benda penghalang pun, maka padang ini
jadi tampak lebih luas dari seharusnya.
Ayah
berhenti. Memandangku tajam dengan kedua bola matanya yang berbeda warna, “ada
sesuatu yang ingin ayah bicarakan denganmu.”
“Apa
ini tentang dikeluarkannya aku dari akademi?” tanyaku.
Ayah
tampak terkejut mendengar pertanyaanku, tapi ia segera mengendalikan dirinya
lagi. “Dari mana kau tahu?”
“Aku
mendengar perbincangan ayah dengan Tuan Eule tadi malam.”
Tadi
malam tanpa sengaja aku mendengar perbincangan antara ayah dengan seorang tamu
yang jika tak salah adalah guru Sejarah Naga di kelasku. Aku memang tak
melihatnya secara langsung, tapi aku mengenal suaranya.
Aku
merasa sudah tidur terlalu lama saat aku terjaga dari istirahatku setelah
peristiwa aneh kemarin. Aku ingin keluar karena ternyata aku kelaparan.
Sebenarnya aku hendak ke dapur, tapi terpaksa aku berhenti di lorong. Aku mendengar
ayahku dan tamunya tengah membicarakanku.
“Apa
tak ada dispensasi untuk Dreig?” Itu jelas suara ayahku. Tak diragukan lagi.
“Maaf
Tuan Xaverite. Ini adalah keputusan bersama. Dan kami pikir ini adalah
keputusan yang terbaik bagi kami, juga bagi Dreig dan keluarga anda.” Walau tak
begitu yakin tapi aku merasa kenal suara itu. Itu adalah suara Tuan Eule, guru
Sejarah Naga-ku.
“Baiklah
kalau begitu,” jawab ayahku pasrah.
“Berarti
dengan ini Dreig resmi dikeluarkan dari akademi,” kata Tuan Eule.
Pada
detik itu aku berhenti menguping. Aku kembali ke kamar, mengurungkan niatku ke
dapur. Rasa lapar yang tadi menyiksa perutku, tiba-tiba hilang. Hanya rasa
kecewa yang kini tumbuh subur di hatiku. Aku tak tahu kenapa aku dikeluarkan?
Apa salahku? Ingin rasanya aku memprotes keputusan itu, tapi aku tak sanggup.
Walau aku tak tahu persis, tapi aku yakin alasanya berhubungan dengan peristiwa
kehilangan kesadaranku.
“Itu
salah satunya,” jawab ayahku membuyarkan pikiranku yang sedang sibuk mengingat-ingat
peristiwa tadi malam.
Berbalik,
ayah berjalan ke tengah padang. Aku mengikutinya dalam diam. Sempat aku
menerka-nerka apa yang akan ayah katakan padaku, tapi aku tak berhasil menerka satu
hal pun yang akan ia sampaikan, kecuali tentang peristiwa kemarin di akademi.
“Dreig,
sebelumnya ayah ingin menunjukkan sesuatu padamu,” katanya setelah kami berada
tepat di tengah padang. “Mundurlah beberapa langkah,” perintahnya.
Aku
tak tahu kenapa, tapi aku tak memprotesnya. Penasaran membuatku mengikuti
perintahnya. Aku melangkah mundur sebanyak lima langkah panjang.
“Cukup?”
tanyaku mengkonfirmasi. Ayah mengangguk menyetujui. Aku diam memperhatikan apa
yang akan ia tunjukkan padaku.
Sepertinya
ayah sudah memulai pertunjukannya. Memejamkan mata sebentar, tiba-tiba tubuhnya
beriak dan membesar. Kulit pucatnya berubah memerah. Tonjolan-tonjolan ganjil
muncul di beberapa bagian tubuhnya. Sepasang sayap, taring, dan cakar tumbuh
satu persatu di tubuh barunya yang mengerikan. Ia sudah berubah menjadi naga
berkulit merah darah.
Tiba-tiba
aku tak yakin dengan kewarasan mataku. Aku lebih yakin sedang bermimpi. Tubuhku
gemetar ketakutan, lututku lemas, sehingga tanpa aku kehendaki tubuhku roboh ke
tanah.
“Ka…kau…ayahku?”
tanyaku terbata-bata karena kaget dan tak percaya. Melihat naga bukan hal yang
menakutkan bagi kami, suku Dol’Amroth, karena naga adalah teman kami. Tapi
melihat Frameless berubah jadi naga sama sekali belum pernah aku alami.
Ya, aku ayahmu. Aku Xaverite, jawab
ayahku menelepatiku. Telepati adalah cara yang digunakan oleh naga untuk
berkomunikasi dengan Frameless.
“Bagaimana
ini bisa terjadi?” Tanyaku lagi masih sedikit gemetar.
Tiba-tiba
dengan cepat naga merah darah itu berubah kembali menjadi wujud ayahku. Ia
berjalan ke arahku yang masih berlutut di tanah. Begitu sampai di depanku, ia
memegang pundakku dan membantuku berdiri. Dengan kaki yang masih agak lemas,
akhirnya aku sanggup berdiri.
Ayah
mengajakku ke salah satu sisi lereng bukit yang cukup landai. Ia mengajakku
duduk di sana. Aku hanya diam, mengikuti kehendak ayahku. Pikiranku sudah
terlalu kacau untuk memikirkan respon terhadap ajakannya.
Kami
duduk. Cukup lama kami diam dalam pikiran masing-masing, hingga tiba-tiba
ayahku angkat bicara, memecah kesunyian yang terjadi.
“Maafkan
ayah Dreig,” ujarnya meminta maaf padaku. “Seharusnya ayah tidak merahasiakan
ini darimu.”
“Apakah
tentang perubahan ayah tadi?” Tanyaku tanpa sedikit pun memandangnya. Aku
menerawang langit yang cerah.
“Ya,”
jawabnya singkat.
“Sejak
kapan ayah mempunyai kemampuan itu?”
“Sejak
sekitar lima ratus tahun yang lalu.”
“Apa?
Lima ratus tahun?!” Kataku memandang tak percaya pada ayah. “Ayah bercandakan?”
“Ayah
tidak berbohong,” jawabnya serius. “Sudahkah kau mendapat ilmu sejarah naga di
akademi?”
“Ya,”
jawabku mengakui.
“Siapa
sajakah tokoh penemu naga yang kamu ketahui?”
“Sind
Dol’Amroth, Brand Dol’Amroth, Jorden Dol’Amroth, Vand Dol’Amroth, Luften
Dol’Amroth, dan kepala suku Dol’Amroth kala itu,” kataku menyebut tokoh-tokoh
yang hanya aku kenal lewat buku. “Tapi aku tak tahu tentang kepala suku itu. Di
buku mana pun tak aku temukan tentangnya.”
“Ayahlah
kepala suku itu,” jawabnya mantap.
“Apa?”
tanyaku masih tak percaya.
“Ayahlah
yang memimpin mereka berlima dalam misi pencarian naga beratus-ratus tahun yang
lalu. Setelah beberapa hari berkeliaran di pulau Lyooth, akhirnya kami menemukan
sarang para naga. Dan kami berhasil membawa mereka ke daratan utama Vandaria.
Tentu dengan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa.”
“Tapi
kenapa tak seorang pun dalam buku sejarah menyebut nama ayah?” Tanyaku masih
kurang percaya bahwa ayah adalah salah satu tokoh penemu naga.
“Karena
ayah ingin menyembunyikan kutukan yang ayah dapat dari misi itu.”
“Kutukan?
Kutukan apa?”
“Apa
yang ayah perlihatkan padamu tadi. Itulah kutukan yang menimpa ayah karena membebaskan
kaum naga dari sihir pengurung di pulau Lyooth.”
“Em,
aku agak sedikit bingung,” ujarku sudah semakin santai. “Terlepas dari
ketakutanku tadi, aku pikir apa yang ayah tunjukkan adalah sesuatu yang luar
biasa. Apakah pantas menyebut hal itu sebagai kutukan?”
“Yah,
untuk saat ini kutukan itu memang tampak seperti kemampuan yang luar biasa,
yang tak dimiliki seorang Frameless pun di Vandaria kecuali ayah. Tapi pada
awalnya sampai sekitar dua ratus berikutnya benar-benar pantas disebut kutukan.
Pada awalnya ayah tidak bisa berubah kembali ke tubuh Frameless seperti tadi, sehingga
selama seratus tahun lebih jiwa ayah terperangkap dalam tubuh naga berkulit
merah darah yang tadi ayah tunjukkan padamu.
“Dan
lebih parahnya lagi umur ayah jadi lebih panjang berkali-kali lipat daripada
Frameless-Frameless lain. Karena umur panjang itu, ayah sampai muak melihat
orang-orang yang ayah sayangi meninggal satu per satu karena menua. Istri ayah
yang pertama, sebelum ibumu, meninggal saat usia ayah sebagai naga belum
mencapai seratus tahun. Sedangkan anak-anak ayah dari istri ayah yang pertama
meninggal saat ayah masih berada dalam bentuk naga.”
“Lalu
bagaimana ayah bisa seperti sekarang ini?” Tanyaku merasa kasihan mendengar
cerita hidup ayah.
“Setelah
ayah kehilangan seluruh anggota keluarga, ayah pergi meninggalkan suku
Dol’Amroth. Ayah mengembara ke seluruh penjuru Vandaria dan pada akhirnya ayah
memilih menetap di sebuah gua di daerah utara daratan utama Vandaria. Ayah
hidup sendiri di sana. Entah kenapa hidup sendiri membuat ayah merasa ingin
mendekatkan diri kepada sang Vanadis. Semakin hari ayah semakin taat pada sang
Vanadis. Ayah sering memanjatkan doa pada-Nya. Dan secara berangsur-angsur doa
ayah terkabul.”
“Ayah
memohon kepada Vanadis agar bisa berubah ke dalam tubuh Frameless lagi,” kataku
menebak.
“Ya,
sekaligus tubuh naga,” jawab ayah menambahkan. “Ayah meminta kedua-duanya.”
“Permintaan
yang bagus,” ujarku sedikit bercanda. “Jadi berapa umur ayah sekarang?”
Ayah
tampak berpikir, lalu tersenyum. “Tak lebih dari lima-ratus-lima-puluh tahun.”
“Berarti
aku lebih pantas menjadi cucu ayah daripada anak,” kataku bercanda lagi.” Ayah
tersenyum. Rasanya aku belum bisa percaya melihat pria di depanku sudah berumur
lebih dari lima abad. Tanda-tanda penuaan sama sekali belum muncul di wajahnya.
“Oh iya ayah,” kataku tiba-tiba ingat akan sesuatu.
“Ada
apa?”
Sebenarnya
aku tidak enak mau menanyakan ini. Aku yakin keceriaan yang sudah tercipta akan
berkurang atau bahkan hilang. Tapi aku harus tahu masalah ini. “Apakah semua
cerita ayah ini ada hubungannya dengan peristiwa di akademi kemarin?”
Ayah
mengangguk ragu. Melihat anggukannya, jantungku tiba-tiba berdetak tak
berirama. “Apa yang terjadi padaku kemarin? Apakah ini juga yang menyebabkan
aku di keluarkan dari akademi?”
“Ya,
peristiwa itulah alasan dikeluarkannya dirimu dari akademi,” jawab ayah
membuatku semakin bertanya-tanya apa sebenarnya yang aku lakukan kemarin. Tapi
sebelum aku sempat menanyakan hal itu, ayah sudah melanjutkan kata-katanya. “Kau
mewarisi darah naga dari tubuhku.”
“Apa
maksud ayah?”
“Kau
bisa berubah menjadi separuh naga. Tapi perubahanmu tidak permanen. Kondisi
emosionalmu adalah kunci perubahanmu.”
“Separuh
naga?” Tanyaku membayangkan betapa buruknya penampilanku saat itu terjadi. “Bagaimana
penampilanku saat itu?”
“Beberapa
anggota tubuhmu berubah menjadi naga. Kau punya sayap, cakar, dan kulit
bersisik keras, tapi kepalamu masih utuh seperti saat ini. Kau juga masih berdiri
dengan kedua kakimu yang bercakar,” jelasnya panjang lebar. “Itulah yang
disebut separuh naga. Kemarin kau mengamuk, memporakporandakan akademi dalam
wujud seperti itu.”
“Apakah
dalam setiap perubahanku aku akan selalu kehilangan kendali akan diriku?” Tanyaku
was-was
“Tidak.
Kau hanya belum bisa mengendalikannya. Tenang saja, ayah akan melatihmu
mengendalikan perubahanmu. Mulai besok…”
GRAHHH…
DUARRR…
Sebuah
suara ledakan dan auman naga terdengar tiba-tiba, memotong kata-kata ayah.
Suara itu berasal dari arah rumah kami.
“Apa
itu?” Tanyaku kaget.
“Sepertinya
hal buruk terjadi dari arah rumah kita,” jawab ayahku tegang. Ia bangkit dan
menarik lenganku. “Ayo Dreig!”
Aku
bangkit, tapi sebelum aku benar-benar bangkit, mataku dikagetkan oleh munculnya
kawanan naga dari arah rumah kami. Sepertinya sedang menuju ke bukit ini.
“Ayah, lihat itu! Apa itu kawanan naga?”
Ayah
memandang mengikuti arah telunjukku yang kini tengah menunjuk kawanan naga di
udara. “Ayah tidak tahu, tapi kita akan segera tahu.”
Semakin
dekat, aku bisa mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya telah terjadi.
Seekor naga berkulit kecoklatan sepertinya tengah dikejar oleh segerombolan
naga, enam ekor naga, yang berkali-kali memuntahkan bola api dari mulutnya. Frameless-Frameless
bertudung menunggangi naga-naga pengejar itu. Aku sama sekali tak mengenali
orang-orang bertudung itu. Lagi pula memang wajah mereka sedikit tertutup.
Terus
memandangi mereka, aku kaget begitu berhasil mengenali penunggang naga
kecoklatan itu. Ada dua orang, Elefant dan Ibu. Aku yakin itu mereka. Tapi ada
apa ini? Kenapa mereka mengejar Elefant dan ibu?
“Apa yang terjadi?” Tanyaku pada ayah. Aku
memandangnya. Raut wajahnya berubah serius. Kemarahan juga tergurat di
wajahnya.
“Ternyata
mereka memutuskannya secepat ini,” kata ayahku dingin tak menjawab
pertanyaanku.
“Apa?”
Tuntutku lagi.
Ia
tak menjawab pertanyaanku. Sebaliknya ia malah memandangku dan memegang
pundakku. Sekarang raut mukanya berubah sedih. Ini aneh. Sebenarnya apa yang
terjadi?
“Dreig,
dengarkan aku,” pintanya padaku. “Ayah akan mencoba menghambat pergerakan
mereka. Nanti begitu naga Elefant mendekat, ikutlah dengan Elefant dan ibumu.
Jangan hiraukan ayahmu lagi. Keselamatan kalian lebih penting.”
“Sebenarnya
apa yang terjadi?” Tanyaku tak mengerti apa yang ayah bicarakan.
“Ikuti
saja perintah ayah,” paksanya. “Elefant dan ibumu pasti akan memberitahukannya
padamu nanti.”
“Tapi
ayah…”
“Tak
ada waktu lagi,” katanya memotong protesku.
Begitu
ia selesai mengucapkan kata terakhirnya, ia langsung bergegas meninggalkanku. Sambil
berlari kencang ke arah datangnya kawanan naga itu, tiba-tiba tubuhnya berubah
menjadi naga berkulit merah darah. Ia terbang. Melesat dengan cepat ke arah
kawanan. Saat berpapasan dengan naga yang ditunggangi Elefant, tampaknya ayah
sempat berkomunikasi dengan Elefant. Aku melihat Elefant mengangguk.
Elefant
terus melajukan naganya ke arahku. Sementara itu ayahku mulai melancarkan
serangan pada naga-naga pengejar Elefant, sambil terus menghindari serangan
lawan. Beberapa kali ia berhasil menyemburkan api pada naga lawan, tapi tak
jarang ia terkena pukulan bola api mereka. Walau tampaknya sangat sulit melawan
enam musuh sekaligus, tapi tampaknya ayah cukup mumpuni untuk pertarungan ini.
“Ayo
Dreig!” Teriak Elefant yang tak aku sadari ternyata sudah berada di dekatku. Ia
menurunkan naganya hampir mendekati tanah, tapi tidak sampai menyentuh tanah.
Elefant mengulurkan tangannya kepadaku. “Bergegaslah Dreig.”
Tanpa
menjawab aku langsung meraih tangan Elefant. Elefant meraih dan menggenggam
tanganku dengan erat. Tepat saat itu sang naga kembali terbang tinggi. Aku
sempat terpontang-panting, karena belum benar-benar berada di atas sang naga.
Elefant membantuku naik, hingga akhirnya aku mendapat tempatku di atas sang
naga. Berada di belakang ibuku.
“Kau
baik-baik saja Dreig?” Tanya ibu cemas sambil menatapku.
“Ya,
aku tidak apa-apa,” jawabku, “Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”
“Tak
ada waktu untuk menceritakannya,” jawab Elefant serius. “Hal terpenting yang
harus kita lakukan adalah segera menemukan tempat persembunyian yang aman.”
“Tempat
persembunyian?”
“Keluarga
kita sedang dalam bahaya,” jawab ibuku sedih. “Ayahmu sedang menghalagi
naga-naga itu agar tidak menyusul kita. Tapi ibu tidak yakin ia akan mampu
menahan mereka dengan jumlah sebanyak itu.”
Sebenarnya
aku masih ingin terus bertanya pada mereka mengenai ketidakjelasan ini, tapi
aku yakin mereka masih tidak akan menjawab pertanyaanku. Selain itu aku juga
penasaran dengan keadaan ayahku. Berbalik, aku mendapati ayahku masih
menghalangi para pengejar.
Berkali-kali
energi sihir dari para Freamless menyerbu ayahku, tapi dengan lihai ayah
berhasil menghindarinya. Serangan api, air, udara, dan tanah berkali-kali
terlihat menggempur ayah, sang naga merah darah. Tapi hanya beberapa serangan
yang berhasil membuat ayah terpental.
Saat
ayah mencoba kembali bersiaga, tiba-tiba dua ekor naga berhasil meloloskan diri
dari kawalannya. Ayah hendak mengejar dua ekor naga tersebut, tapi empat naga
yang lain menyerangnya, sehingga ia merelakan dua ekor naga itu untuk kami. Aku
melihat mereka semakin mendekati kami.
“Elefant,
mereka berhasil lolos dari kawalan ayah!” Teriakku memberitahu.
“Aku
tahu,” jawabnya serius.
“Dreig,
kita tukar posisi,” pinta ibuku tiba-tiba.
“Kenapa?”
Tanyaku bingung.
“Ibu
akan mencoba mencegah mereka mendekat. Ibu akan menghalangi mereka dengan
sihir,” jawabnya mengagetkanku. Tak pernah kubayangkan wanita lembut seperti
ibu bertarung dengan naga.
“Ibu
mau bertarung?” Tanyaku tak percaya.
“Ibu
juga seorang Frameless. Walau bagaimanapun ibu juga memiliki sihir untuk
melawan.”
Ia
benar. Aku mengangguk pasrah dan beralih posisi dengannya. “Aku juga akan
membantu ibu,” janjiku padanya.
Elefant
terus melajukan naganya, sementara aku dan ibuku dengan hati-hati beralih
tempat.
“Baiklah
Elefant,” ujar ibuku begitu kami berhasil beralih tempat dengan selamat. “Lajukanlah
nagamu secepat yang kau bisa. Aku dan Dreig akan mencoba menghalagi dua ekor
naga yang mengejar kita.”
“Ya,”
setuju Elefant pendek. Tiba-tiba aku merasakan hentakkan ketika Elefant
menyuruh naganya mempercepat laju terbangnya.
Naga
pengejar juga tampaknya ikut mempercepat kecepatan terbangnya, karena tak
berselang lama mereka sudah hampir menyusul kami. Dengan cekatan ibu melancarkan
serangan pada kedua naga itu. Badai angin tiba-tiba muncul dan menghantam kedua naga itu. Usaha ibu
menghambat laju kedua naga itu sukses, tapi tak lama berselang mereka kembali
berusaha menyusul. Kali ini mereka tidak hanya menyusul kami, serangan-serangan
sihir juga mulai mereka luncurkan pada kami.
Selain
melancarkan serangan, ibu juga menangkis serangan-serangan mereka. Aku tak
menyangka kalau ibu pandai bertarung. Aku pikir ia hanya wanita lemah penyayang
keluarga. Ternyata ia petarung yang cukup hebat, walau ia langsung berubah
kewalahan begitu serangan dari naga-naga pengejar dan penunggangnya menggila.
Beberapa serangan sempat menghantam tubuh naga kami. Membuatnya sedikit
kehilangan keseimbangan.
Aku
tak tega melihat ibuku yang terus berusaha sendiri, sehingga aku membantunnya. Dengan
kemampuan sihir alami yang aku punya, aku menyerang Frameless-Frameless yang
yang sedang mengejar kami. Semburan api dan bola-bola api aku lemparkan pada
mereka terus menerus, tapi sayangnya tak satu pun yang berhasil mengenai
mereka.
Aku
terus berusaha. Setelah api, aku menggunakan sihir tanah. Menarik tanah, aku
membentuknya menjadi pisau-pisau kecil yang tajam. Puluhan pisau telah berhasil
aku buat dan dengan cepat aku lemparkan pada mereka. Sasaranku bukanlah para
Frameless, tapi naga-naga mereka. Melesat, seranganku berhasil mengenai mereka.
Walau tidak membut mereka terluka parah, tapi cukup untuk membuat naga-naga itu
kalang kabut. Para Frameless yang menungganginya tampak gusar, tak mampu
mengendalikan naganya.
Ibu
memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang mereka. Tombak-tombak batu dengan
cepat tersedia di tangannya. Ia lemparkan, meluncur dengan ganas, akhirnya menancap tepat di dada para
Frameless. Frameless-Frameless itu sempat mengerang sebelum akhirnya jatuh ke
tanah. Kini tinggal dua naga yang harus kami hadapi. Sekali lagi aku kagum
dengan kemampuan tempur ibuku.
Melihat
pemelihara mereka tumbang, naga-naga itu tampak marah. Dengan membabi buta
mereka melontarkan serangan. Semburan api, bola-bola api, dan badai udara
secara terus menerus menggempur kami. Seandainya Elefant tidak pandai
mengendarai naganya, mungkin beberapa serangan itu akan dengan telak menghantam
kami.
Sementara
Elefant terus menghindari serangan para naga, aku mencoba melakukan persiapan
untuk kembali menyerang mereka. Aku mengumpulkan air di udara. Setelah cukup
banyak, aku menciptakan tombak-tombak es yang berujung sangat tajam. Lalu
bergegas melontarkannya ke naga-naga yang semakin menggila. Dari sekian tombak
yang aku luncurkan, hanya satu tombak yang tepat mencapai sasaran. Tombak itu
menancap dalam di pangkal sayap salah satu naga, membuatnya kehilangan
keseimbangan. Pada akhirnya naga itu jatuh karena satu sayapnya tidak berfungsi
lagi.
“Kerja
bagus Dreig,” puji Elefant melihat satu naga telah tumbang.
“Terima
kasih. Sepertinya sayap adalah sasaran yang bagus untuk menghambat pergerakan
mereka,” ujarku mengutarakan teori asal-asalanku.
“Kupikir
kau benar,” setuju ibuku. “Dengan begitu kita tidak perlu membunuh para naga.
Hanya melukai sayapnya.”
“Kurasa
begitu,” jawabku setuju.
“Kita
serang naga itu bersama-sama,” ajak ibuku padaku.
“Ya,”
jawabku pendek langsung mulai mengumpulkan properti untuk memulai serangan.
Kali ini aku menggunakan sihir tanah. Dari tanah aku membuat berbagai senjata.
Pisau, tombak, jarum, dan senjata logam lainnya.
Sementara
itu ibu masih sibuk menangkis serangan naga yang tersisa. Walau sendiri
ternyata naga itu masih cukup merepotkan.
“Kau
siap?” Tanya ibuku padaku.
“Ya,”
jawabku mantap.
“Setelah
hitungan ketiga kita serang naga itu bersama-sama,” katanya memberitahu.
“Satu…dua…tiga.”
Tepat
pada hitungan ketiga, aku mulai meluncurkan semua senjata yang ada di tanganku.
Ibuku juga. Ia langsung menggunakan sihirnya untuk menyerang naga itu. Kali ini
serangan kami telak mengenainya. Membuatnya mengerang kesakitan sebelum jatuh
berdebum di tanah.
“Sekarang
tinggal…Aaaahhh…” jerit ibu tiba-tiba, menghentikan secara paksa apa yang akan
ia katakan.
“Apa
yang…” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku, begitu aku menoleh ke belakang
untuk melihat keadaan ibuku, aku melihat naga lain berada tak jauh di belakang
kami. Tangan Frameless yang menunggangi naga itu terarah pada kami.
Jangan-jangan ia berhasil menyerang ibu dengan sihirnya?
Beralih
memandang ibu, aku kaget melihat ibuku terkulai tak berdaya. Aku menangkapnya
saat posisi duduknya tiba-tiba mulai bergeser. Sepertinya ia sudah kehilangan
kesadarannya. “Elef, bergegaslah. Ada Frameless yang mengejar kita lagi!” Teriakku
pada Elefant, sambil terus mempertahankan posisi duduk ibu.
Aku
sebenarnya ingin beralih posisi duduk lagi, tapi hal itu sekarang lebih sulit
untuk dilakukan. Ibu sama sekali tak bisa
menggerakkan tubuhnya. Sehingga walau dengan susah payah aku tetap
mempertahankan posisi ini.
Sambil
terus memegangi ibuku, aku sedikit memutar posisi dudukku. Aku ingin menyerang
Frameless yang menyerang ibu. Tanganku terarah padanya, siap meluncurkan badai
udara padanya. Tapi sebelum aku mulai meniupkan badai itu, tiba-tiba aku dikejutkan
oleh semburan api yang sangat besar. Api itu muncul dari belakang Frameless
itu. Dalam sekejap tubuh Frameless itu hilang ditelan oleh api dahsyat itu.
Aku
terus memandangi api yang masih membakar sang Frameless dan naganya. Tiba-tiba
kobaran api itu jatuh, mengikuti sang Frameless dan naganya yang juga terjatuh
ke tanah. Di tempat kobaran api tadinya berada, nampak sesosok naga yang aku
rindukan. Naga merah darah. Ayahku. Dia masih hidup dan berhasil menumbangkan
musuh-musuhnya.
“Perpelan
Elef,” perintahku. “Itu ayah. Dia sudah berhasil mengalahkan lawan-lawannya.”
Elefant
memelankan laju naganya, sehingga ayah mampu mengejar kami dengan cepat.
Begitu
mendekat, ayah tiba-tiba memandangku dengan mata besarnya. Lalu beralih ke
Elefant. Ia cukup lama memandang Elefant, Elefant juga memandangnya. Elefant
sesekali mengangguk padanya. Sepertinya mereka sedang berkomunikasi.
“Ayahmu
akan mengajak kita ke gua tempatnya dulu mengasingkan diri,” ujar Elefant
memberitahuku.
***
“Bagi
Dewan Suku, kamu adalah mahluk yang berbahaya,” kata ayahku yang sudah berada
dalam wujud Frameless, menjawab pertanyaanku tentang peristiwa penyerangan
siang tadi. Jujur aku tak suka, kecewa mendengar jawabannya. Begitu teganya Dewan
Suku menganggapku sebagai mahluk yang patut dibenci. “Kau tak terkendali,
setidaknya begitu menurut mereka. Mereka takut kau akan menjadi monster yang
buas nantinya. Mereka takut peristiwa di akademi kemarin hanyalah awal dari
kebuasanmu. Karena itulah mereka mengirim tim pembunuh untuk menghabisi nyawamu.”
Aku
diam, memandangi dinding gua yang remang-remang diterangi oleh api yang ayah
ciptakan dengan sihir. Pikiranku sibuk mencerna kata-kata yang ayah ucapkan
padaku. Berpikir lama tentang kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal tentang
masalah ini, tapi aku tak menemukan satu peristiwa pun yang masuk akal. Sampai
sekarang aku masih tak percaya, masa pra remajaku akan dicemari oleh
peristiwa-peristiwa semengerikan ini.
“Ayah
sudah berusaha mati-matian menolak keinginginan Dewan Suku. Ayah menjanjikan
kepada mereka bahwa ayah akan melatihmu hingga kau mampu mengendalikan
kemampuanmu. Tapi Dewan Suku sama sekali tidak menunjukkan minat. Mereka tetap
bersikukuh pada pendirian mereka, pada anggapan bahwa kau adalah calon monster
buas,” tambahnya tampak bersalah.
“Tak
apa-apa ayah. Ini bukan salah ayah. Justru berkat ayahlah aku dan ibu serta
Elefant masih hidup sampai sekarang. Tak perlulah merasa bersalah. Ayah sudah
sangat banyak berkorban dalam hal ini,” jawabku berusaha menghibur dirinya.
Setelah
ucapanku berakhir, kami kembali terjebak dalam diam. Kesunyian yang tercipta
membuat kami canggung. Cukup lama, hingga akhirnya kesunyian itu terpecah oleh
teriakkan Elefant dari dalam lorong gua.
“Tuan
Xaverite, Dreig,” teriaknya memanggil kami yang sedang duduk di dekat mulut
gua. Nada gusar terdengar dari suaranya yang memantul-mantul di dinding gua.
Spontan kami langsung memandang ke arahnya yang sedang tergopoh-gopoh berlari
ke arah kami.
“Ada
apa Elef?” Tanya ayah panik.
“Nyonya
Eryr. Dia sekarat,” jawab Elefant tak kalah panik. Kekagetan dan kehawatiran
langsung meninju ulu hatiku. “Bergegaslah.” Ia langsung berbalik begitu melihat
kami bangkit dan lari ke arahnya.
Aku
terus berlari, mengikuti ayah dan Elefant yang berlari di depanku. Sebenarnya tak
ada cukup cahaya yang mampu menerangi lantai gua, tapi aku terus berlari cepat.
Kehawatiran akan kehilangan ibu membuatku tak peduli akan keselamatanku.
Tak
lama berlari, akhirnya kami tiba disebuah ruang gua yang agak luas dan lebih
terang. Dalam ruangan itu hanya ada seorang. Seorang itu sedang kejang-kejang
di atas tumpukan dedaunan yang diselimuti jubah. Orang itu adalah ibu. Wajahnya
pucat. Walau Frameless memang cenderung bermuka pucat, tapi aku tidak pernah
melihat seorang Frameless pun sampai sepucat ibu saat ini. Ia terus merintih
kesakitan. Dan napasnya terhembus pendek-pendek.
“Eryr!”
Teriak ayah sambil berlari ke arah ibu. Aku mengikuti ayah dan mengambil tempat
di samping tempat tidur, berseberangan dengan ayah. “Apa yang terjadi dengan
Eryr? Kenapa kau tak berhasil menyembuhkannya?” Tanya ayah pada Elefant yang
tadi menawarkan jasa medis pada ibuku. Sebenarnya memang hanya dia yang mampu
melakukan penyembuhan. Ayah sudah kehilangan sihir itu, sedangkan diriku belum
mampu menggunakan sihir penyembuhan.
“Aku
tak tahu sihir apa yang mengenai Nyonya Eryr. Selama ini aku tidak pernah
menemui sihir seperti itu, sihir yang sangat mematikan menurutku. Mungkin sihir
itu di tujukan untuk Dreig,” jawab Elefant yang sudah berada di sampingku
sekarang.
“Tapi
kau bisa mengusahakan keselamatan ibu kan?” Tanyaku dan langsung was-was
menanti jawaban dari Elefant. Aku takut ia akan menjawab tidak.
Elefant
menggeleng, membuat langit-langit gua seakan runtuh menimpaku. Dengan perasaan
ngilu yang menyakitkan aku beranikan diri menatap ibuku. Kondisinya semakin
memburuk tiap detiknya. Kejang-kejangnya makin hebat.
“Kalau
boleh jujur, Nyonya tidak akan bertahan lama lagi,” katanya lirih. Sekali lagi
runtuhan langit-langit seakan menimpaku.
“Apa
maksudmu?” Tanya ayah seperti membentak.
“Mungkin
tinggal beberapa menit lagi nyawa Nyonya mampu bertahan di raganya,” jawab
Elefant seperti berbisik. Kata-katanya semakin membuatku tak kuat menatap wajah
ibu.
Kami
semua memandang ibu dengan perasaan sedih yang mendalam. Kejangannya semakin
hebat dan matanya melotot tajam, seakan bola matanya hendak keluar dari
rongganya. Aku terus memandang ibu dengan kekhawatiran yang luar biasa.
Detik-detik
berlalu dan apa yang dikatakan Elefant terbukti.
Saat
aku dan ayah sedang berdoa memohon keselamatan untuk ibu kepada sang Vanadis,
tiba-tiba jeritan histeris terdengar. Jeritan itu adalah jeritan ibuku.
Mendengar itu, kami langsung berhenti berdoa dan berlari menghampiri ibu. Tapi
kami terlambat, nafas terakhirnya sudah ia hembuskan sebelum kami berhasil
mencapai tempat tidurnya.
Sebenarnya
aku hendak berteriak. Meneriakkan kesakitanku kehilangan seorang yang aku
sayangi, tapi tak ada apa pun yang keluar dari mulutku. Suaraku seakan tertahan
di tenggorokan. Hanya isakan dan tetesan air mata yang terjadi padaku. Aku
memeluk tubuh ibuku, menagis sejadi-jadinya di atas tubuhnya yang sudah mulai
dingin.
Ingatan-ingatan
masa lalu nan bahagia tiba-tiba berlarian di benakku, membuatku semakin tak
tahan melihat ibuku yang sudah terbujur kaku. Entah karena dorongan apa,
tiba-tiba aku berlari meninggalakan tempat duka. Berlari meninggalkan ayah dan
Elefant yang termenung dalam duka. Aku terus berlari. Terus berlari hingga aku
sampai di mulut gua. Aku berhenti sejenak, lalu melangkah dengan mantap keluar
gua.
Menghirup
udara malam yang dingin, aku meneriakkan kemarahan dan rasa sakit yang aku
alami.
"Dengarlah
ini wahai Dewan Suku. Jangan salahkan aku jika aku menuntut balas atas
perlakuan kalian. Mulai sekarang aku bersumpah demi Vanadis bahwa aku tak sudi
lagi menyandang nama suku di belakang namaku," teriakku marah. "Mulai
sekarang aku bukan lagi Dreig Dol'Amroth."
Aku
terdiam. Menahan kemarahan yang sudah mulai membuncah, lalu melanjutkan
kata-kataku dengan kemarahan yang sudah tak mampu aku tahan lagi.
“Mulai
saat ini aku adalah Dreig Xaverite,”
Setelah
mengucapkan kata itu tiba-tiba kemarahan membakar diriku. Aku merasakan hawa
panas di sekujur tubuhku. Dan tak lama setelah itu aku tak ingat lagi apa yang
terjadi padaku.
The End
Note: naskah ini diikutsertakan dalam Kontes Cerpen Vandaria
Cerpen ini adalah kelanjutan dari cerpen sebelumnya "Secret of The Dragon Era"
Komentar
Posting Komentar