Langsung ke konten utama

Surga buku


Surga Bukuku

By: Mahfud Asa

Kemana pun arah mataku, pandanganku selalu tertumbuk pada barisan rak penuh buku. Dari lantai kayu ke langit-langit, dari dinding batu ke dinding batu yang lain, yang tampak hanya tumpukan buku yang membuatku semakin bergairah untuk menjamahnya.
Kulangkahkan kakiku menyusuri lorong sempit antar rak. Meninjau satu per satu sampul-sampul tua yang berbaris di sekelilingku. Sesekali kutarik beberapa buku yang tampak menarik. Membacanya sekilas, sebelum memutuskan untuk membawanya ke meja kedamaian di sudut ruangan.
Terus berjalan, mataku kembali nyalang mencari sosok penghibur yang lain. Hijau, biru, hitam, semua warna sampul itu menyerbu mataku, menawarkan pesona imajinasi yang tak terbatas. Walau tertarik, aku mengabaikan mereka. Aku sedang ingin mencari yang lain. Aku pernah membaca mereka. Paling tidak satu atau dua kali.
Setelah beralih lorong, akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Sesosok hitam yang gagah di tepi rak langsung mematri mataku padanya. Aku tertarik oleh tulisan peraknya yang  gemilang di atas kelam tubuhnya. Dragon, sebuah nama mahluk fantasiah yang selalu membuatku tak sabar untuk mengganyang lembar demi lembar buku yang menceritakan mereka. Tanpa membukanya, kujatuhkan pilihanku pada buku ini.
Kini sang naga hitam telah berada dalam genggamanku. Saatnya untuk menikmati hiburan darinya di meja kedalamaian. Aku memposisikan diri senyaman mungkin di kursi busa berlapis beludru. Meja sedada menjadi tumpuan.
Mengelap sampul yang agak berdebu, kemudian mulai membuka halaman pertamanya. kata-kata indah nan profokatif langsung berhamburan ke mataku.

Bergabunglah denganku, maka kau akan merasakan petualangan yang tak akan pernah terlupakan.

Sedikit banyak aku terpengaruh oleh kalimat itu. Membuka lembar demi lembar. Meresapi setiap kata yang ditorehkan di tubuh sang naga, sampai aku benar-benar larut dalam cerita itu. Semakin lama, aku merasakan sesuatu yang aneh terjadi padaku.
Buku di tanganku berangsur-angsur berubah menjadi lembaran kertas yang sangat lebar. Rangkaian kata berubah menjadi garis-garis yang meliuk-liuk tak teratur. Beberapa diantaranya berubah menjadi simbol-simbol alam, seperti pohon dan gunung. Aku terus memperhatikan kertas itu hingga menyadari bahwa bukuku telah berubah menjadi peta suatu wilayah yang tak aku ketahui.
Jelas ini adalah sesuatu yang aneh, pikirku.
Aku mengalihkan pandanganku dari peta ke tempat lain dan lagi-lagi mataku dikejutkan oleh pemandangan yang telah berubah. Rak penuh buku di perpustakaanku telah lenyap, digantikan oleh tebing-tebing batu curam berwarna coklat. Langit-langit pun hilang, yang tampak hanya langit biru cerah dihiasi oleh sedikit gumpalan awan halus yang beterbangan bebas tertiup angin.
Menggulung peta, aku kembali terperanjat menyadari meja dan kursiku telah berubah bentuk. Kulit kasar seekor naga menggantikan nyamannya busa berbeludru kursiku. Kini aku tengah menunggangi seekor naga berkulit abu-abu yang tengah mengepakkan sayapnya.
Tak hanya lingkunganku yang berubah. Tapi diriku juga berubah. Entah apa yang merubahku. Kostum kasualku berubah menjadi kostum bergaya medieval, lengkap dengan jubah dan logam-logam pelindung tubuh. Oh ya aku tahu. Kalimat tadi benar-benar nyata. Akulah sang tokoh dalam cerita ini sekarang.
Sekarang kemana? Sebuah suara menggema di benakku. Aku sudah mengenali komunikasi semacam ini. Banyak buku sering menggunakan penggambaran komunikasi macam ini. Ini adalah telepati, dan aku yakin naga yang aku tunggangilah sumber suara itu. Kita harus segera menemukan kristal itu sebelum yang lain menemukannya.
Aku bingung, tak tahu harus menjawab apa. Lalu aku teringat dengan peta yang telah tergulung di tanganku. Aku membukanya, lalu menemukan sebuah garis yang lebih tebal dari garis-garis yang lain. Aku berasumsi itu adalah jalur yang tengah kami tempuh. Di mana kita sekarang?
Kita berada di atas lembah Kaldt, jawabnya ringan.
Aku mencari nama itu dalam peta yang terbentang di depanku. Menyusuri garis yang lebih tebal, akhirnya aku menemukan lembah Kaldt. Tak jauh dari lembah Kaldt, sedikit ke arah utara, ada tempat yang diberi tanda silang dalam peta. Itu mungkin tujuan akhir kita. Sebelum mencapai tempat itu ada satu tempat yang harus dilalui, padang pasir Hete.
Kita ke padang pasir Hete, jawabku mantap, tiba-tiba benar-benar menikmati perasaan petualangan yang menggairahkan.
Baik, berpeganglah! Perintahnya sebelum akhirnya terbang membumbung lebih tinggi dalam  kecepatan yang luar biasa. Walaupun sudah berpegangan pada kulit kasar sang naga, aku masih merasakan sentakan yang membuatku semakin keras mencengkeram sang naga.
Semakin ke utara, kondisinya semakin berubah. Hijau dan segarnya lembah berangsur-angsur menghilang digantikan oleh daratan yang semakin mengering. Dataran berumput mulai jarang ditemui. Sampai akhirnya kami berhenti di atas padang pasir yang sangat luas. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah hamparan pasir keemasan. Udara panas nan kering berhembus menerbangkan butir-butir pasir halus.
Kenapa berhenti? Tanyaku pada sang naga.
Inilah padang pasir Hete, jawabnya.
Kalau begitu teruslah ke utara, maka kita akan segera samapai di tempat tujuan.
Kita tak tahu apa yang padang pasir ini siapkan untuk kita.
Apa maksudmu?
Rintangan. Pasti selalu ada rintangan di setiap tempat. Itu adalah prosedur standar yang diterapkan oleh ketua untuk mencari pasangan naga dan pemelihara yang paling kuat. Jika kita bisa melewati semua rintangannya dan bisa mengambil kristal di tempat tujuan, itu artinya kita adalah partner terbaik.
Lalu?
Lihatlah ke depan. Sepertinya rintangan untuk kita sudah datang.
Aku memandang ke depan. Badai pasir super besar tengah bergulung-gulung menyapu padang pasir. Aku tak melihat celah untuk menghindarinya.
Badai itu makin dekat, kami belum melakukan apa-apa. Badai semakin mendekat. Angin semakin kencang berhembus, sampai akhirnya badai benar-benar menyerang kami. Pasir-pasir beterbangan di sekelilingku, membuat pemandanganku kabur. Nafasku sesak. Menghirup napas dalam-dalam malah membuatku semakin sesak. Rasanya paru-paruku mau meledak. Aku yakin paru-paruku telah terisi pasir.
Sang naga mencoba mengepakkan sayapnya, mencoba mengimbangi hempasan badai. Tapi tampaknya ia tidak berhasil. Kami terhempas mengikuti amukan badai. Bergerak-gerak tak tentu. Sang naga masih berusaha. Tapi kekuatannya tak sebanding dengan kekuatan badai ini.
Aku masih melihat sang naga berusaha melawan badai saat aku dilemparkan kembali ke duniaku. Sebuah ketukan di pintu menarikku dari badai pasir. Kini aku telah duduk nyaman di kursi berbeludru.
“Asa! ada temanmu,” teriak ibuku dari luar pintu.
“Iya,” jawabku sambil bangkit dan menutup sang naga. Aku berjalan meninggalkan meja kedamaianku. Saat hampir mencapai pintu, sekilas aku melihat dua buah buku yang tampaknya belum pernah aku baca. Mungkin setelah sang naga selesai aku akan memanggil mereka untuk menghiburku.
A Wizard of Earthsea dan The Tombs of Atuan,” kataku membaca judul buku-buku itu. “Tak lama lagi aku akan berpetualang dengan kalian.”

**********************************************************************************
Note:
  1. Bagiku surga buku adalah tempat di mana kita bisa berpetualang tanpa terbatasi oleh logika. Karena buku adalah wujud imajinasi yang tak terbatas.
  2.  Naskah sepanjang 999 kata ini adalah naskah yang dibuat untuk ikut merayakan ulang tahun blog surgabukuku asuhan Mba’Melmarian. Selamat ulang tahun semoga cerita ini bisa menjadi kado kecil dariku untuk “Surga Bukuku”. Traktirannya paket B (A Wizard of Earthsea & The Tombs of Atuan) aja deh :) hehehe...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah cafĂ©, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

[Review] Immortality of Shadow

Judul                : Immortality of Shadow: Ratapan Kematian di Boonville Penulis              : E. Rows Penerbit            : Diva Press      Tebal               : 263 Halaman Tahun Cetak     : September 2014 3/5 untuk novel ini: ☼☼☼ Ini adalah novel horor pertama yang saya baca. Saya tidak pernah tertarik untuk membaca novel horor, karena saya tergolong orang yang anti horor ( ngaku aja penakut, hehehe. ..). Tapi, karena novel ini adalah oleh-oleh dari ajang #KampusFiksi9, maka tetap saya lahap novel ini, meski bacanya hanya kalau siang hari, hehehe... Untungnya * napas lega * novel ini nggak serem-serem amat :v Secara keseluruhan, premis novel ini sudah sering saya temui di beberapa film horor barat yang sempat saya tonton. Tentang sekeluarga yang pindah ke sebuah rumah angker yang menyimpan masa lalu kelam, dan mulai mendapat teror dari 'penghuni' rumah itu. Ya semacam itulah. Oke, langsung saja kita mulai review nggak jelas ini.